Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Stasiun Manggarai jadi Sentral, Pengamat: Perlu Dikaji Lagi

Pemindahan fungsi naik turunnya penumpang Kereta Api atau KA jarak jauh dari Stasiun Gambir ke Stasiun Manggarai perlu dikaji ulang.

10 Oktober 2019 | 09.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Calon penumpang KRL Commuter Line menunggu kereta yang tertahan akibat mogoknya KRL di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Jumat malam, 22 Februari 2019. Tempo/Ali Anwar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Transportasi Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang mengatakan pemindahan fungsi naik turunnya penumpang Kereta Api atau KA jarak jauh dari Stasiun Gambir ke Stasiun Manggarai perlu dikaji ulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deddy menjelaskan pengkajian terutama dari sisi akses, moda transportasi pendukung, serta aspek sosial di sekitar Stasiun Manggarai. “Memang telah ada studi dari JICA tahun 1985 dan 1991 untuk menjadikan Manggarai sebagai terminal/stasiun terpadu atau hub besar berbasis rel. Namun karena eksekusi nya terlalu lama 25 tahun setelahnya, maka perubahan mind set transportasi tidak diprediksikan pada tahun studi JICA itu,” ujar Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 10 Oktober 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menuturkan saat itu tidak diprediksikan lonjakan perubahan kepadatan kendaraan pribadi, saat itu pengguna kendaraan umum di DKI masih sekitar 50-60 persen (data diolah dari JUTPI), kini pengguna kendaraan umum sebesar 23 persen – 25 persen.

Sementara itu, jaringan jalan dari dulu hingga sekarang juga tidak ada perubahan yang signifikan karena pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen tahun bila dibandingkan kendaraan baru 12 -16 persen per tahun.

Di sisi lain, lanjut dia, saat itu juga tidak diprediksikan akan booming transportasi online (private bukan mass transport), akibatnya akses menuju ke Stasiun Manggarai tidak berbentuk dan tidak tertata seperti sekarang ini.

“Susah payah terjebak kemacaten bila kita memaksa menggunakan kendaraan menuju Manggarai. Bisa kita katakan bahwa desain Stasiun Manggarai baru saat ini megah dan indah, namun apabila tidak didukung oleh sistem aksesblilitas menuju stasiun, nampaknya sulit seperti harapan,” katanya.

Untuk referensi, lanjur dia, Bandara Kertajati di Jawa Barat yang merupakan bandara baru nan megah bila tidak didukung oleh infrastruktur akses menuju bandara, okupansi bandara juga sulit mencapai ideal sesuai load-factor yang diinginkan.

“Kembali kepada Stasiun Manggarai bila tahun 2021 akan menjadi Station Central (inter-city connection), di sana akan terjadi transit antara kereta antar-kota, KA Bandara dan Kereta Commuter Line. Konsepnya pola desain mungkin mengambil dari Stasiun Waterloo, London, bedanya di Manggarai tidak parkir basement, di bawah stasiun,” ujarnya.

Ada 726 perjalanan kereta api setiap hari di Manggarai, apabila dengan KA Bandara akan bertambah 40 perjalanan KA tiap hari.

Total ada 766 perjalanan KA, sangat sibuk secara grafis, namun terlalu kecil  untuk akses dan feeder untuk moda daratnya.  Ia tidak terlalu yakin dalam waktu dua tahun bisa membangun infrastruktur jalan sesuai tingkat keterisian Manggarai.

Di sinilah, menurut Deddy, pembangunan perkeretaapian oleh Pemerintah pusat (DJKA) yang tidak diimbang dengan pembangunan jalan oleh Kementerian PUPR atau Dinas PU DKI Jakarta.

“Infrastruktur kereta api sudah dibangun kapasitas baru, namun tidak pararel pembangunan infrastruktur jalan. Akhirnya kelak masyarakat pengguna yang akan kesulitan dalam aksesbilitas menuju Stasiun Manggarai,” katanya.

Saat ini di Stasiun Manggarai ada lebih dari 100.000 penumpang transit per hari, kalau ditambah dengan penumpang KA antar-kota akan lebih besar lagi yang transit. Memang integrasi fisik dengan angkutan massal bus Metrotrans (TJ) telah ada, saat ini pun sangat minim okupansinya.

Bus metrotrans ini pun lebih tepat untuk pengguna kereta komuter yang minim bawaan, sebaliknya pengguna kereta api bandara atau kereta api antarkota niscaya membawa barang bawaan banyak akan enggan menggunakan bus Metrotrans TJ tersebut.

Pengguna kereta api bandara atau kereta api antarkota pasti akan memilih diantar jemput mobil pribadi atau taksi. Saat ini pun belum ada ruang parkir (park and ride ) dan ruang antar drop off ( kiss and ride).“Sebaiknya dikaji ulang untuk rencana pemindahan fungsi stasiun ini sebelum akses jalannya siap," katanya.

Belum lagi, lanjut Deddy, kawasan Manggarai rawan sosial terkait kerap terjadi tawuran massal antar-kelompok warga yang mengganggu perjalanan kereta. Stasiun besar umumnya berada di jalan-jalan protocol bukan jalan kecil seperti akses di Manggarai ini. Lebih baik, menurut dia, barangkali Stasiun Gambir ditambah dua jalur lagi, khusus untuk kereta komuter.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus