Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERGANTIAN Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI sudah diperkirakan sejumlah anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi, Tubagus Soenman-djaja, misalnya, sudah mendengar desas-desus pergantian tersebut pada Desember tahun lalu. “Kabarnya sudah kami dengar. Tapi sementara belum ada pengumuman resmi, ya diam saja,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, Jumat pekan lalu.
Penyebabnya, menurut sejumlah anggota Komisi Hukum, terjadi perang dingin di tubuh kepolisian. Sebagai mitra kerja Polri, Komisi Hukum mendapatkan informasi bahwa hubungan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto tak harmonis setelah skandal “buku merah” mencuat. Sejak itu, kata Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Erma Ranik, keduanya berjarak.
Pada Oktober 2018, konsorsium media yang tergabung dalam IndonesiaLeaks mempublikasikan laporan investigasi soal perusakan catatan keuangan pengusaha impor daging, Basuki Hariman, oleh dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang berasal dari Polri. Buku bersampul merah yang disita KPK itu memuat nama “Kapolda”, yang diasosiasikan sebagai Tito, sebagai salah seorang yang ditengarai menerima duit Basuki. “Arief lambat merespons kasus buku merah,” ucap Erma.
Maksudnya, Arief dituduh membiarkan isu tersebut membesar. Menurut anggota Komisi Hukum yang lain, Masinton Pasaribu, seharusnya ketika kabar itu menyeruak, Arief segera membilasnya. “Arief malah membiarkan isu itu jadi bola liar,” kata Masinton. Ketika skandal buku merah mencuat, Masinton menuduh ada jenderal bintang tiga yang ingin menjatuhkan Tito.
Melalui surat telegram Kapolri ST/188/I/KEP/2019 tertanggal 22 Januari 2019 yang ditandatangani oleh Asisten Sumber Daya Manusia Polri Inspektur Jenderal Eko Indra Heri, Tito Karnavian merotasi sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah. Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Komisaris Jenderal Lutfi Lubihanto digantikan oleh Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri Komisaris Jenderal Unggung Cah-yono. Jabatan yang ditinggalkan Unggung diisi Arief Sulistyanto. Kepala Polda Metro Jaya Idham Azis naik pangkat menjadi Kepala Bareskrim menggantikan Arief, yang baru lima bulan mengisi posisi -tersebut.
Ketidakkompakan Tito dan Arief sebenarnya terjadi sejak hari pertama Arief menjabat TB-3 atau Tri Brata-3—sebutan tidak resmi Kepala Bareskrim. Arief disebut tak setuju dengan keberadaan sejumlah satuan tugas di Polri yang dibentuk Tito, teman seangkatannya di Akademi Kepolisian. Satgas bekerja di luar struktur Bareskrim dan bertanggung jawab langsung kepada Tito. Dengan kata lain, adanya satgas malah membuat Bareskrim, yang tugasnya menindak kejahatan, tidak optimal.
Tito membentuk Satuan Tugas Pangan pada Mei 2017 untuk menindak kartel bahan kebutuhan pokok. Ia menunjuk Inspektur Jenderal Setyo Wasisto sebagai ketuanya. Anggotanya polisi dari berbagai satuan dan tidak hanya dari Markas Besar. Beberapa bulan sebelumnya, Tito membentuk Satuan Tugas Merah Putih. Satgas ini pernah membongkar penyelundupan 1,6 ton sabu di perairan Anambas, Kepulauan Riau.
Dalam rapat kerja dengan Polri, anggota Komisi Hukum, Herman Herry, sempat mengatakan bahwa adanya Satuan Tugas Merah Putih bisa membuat Polri tak solid karena satgas tersebut eksklusif dan hanya beranggotakan polisi yang satu “klik”. Menurut Tito waktu itu, satgas ini justru membuat Polri lebih berfokus dalam menangani suatu kasus. Awalnya satgas yang dibentuk pada akhir 2016 tersebut bertugas mendekati sejumlah ulama demi mendinginkan situasi yang memanas akibat riuhnya tuntutan agar Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, dipenjara karena dituduh menodai Al-Quran.
Akhir tahun lalu, setelah Arief menjabat Kepala Bareskrim, Tito juga membentuk Satuan Tugas Anti-Mafia Bola guna mengusut pengaturan laga di Liga Indonesia. Kepala Biro Provos Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Brigadir Jenderal Hendro Pandowo ditunjuk sebagai ketuanya.
Sepekan sebelum telegram pergantian pejabat Polri terbit, Tito ditengarai membentuk satgas baru yang diberi nama Satuan Tugas Kasus-kasus atas Atensi Pimpinan Dalam dan Luar Negeri. Sesuai dengan namanya, tim ini bertugas menangani kasus yang menjadi perhatian pemimpin Polri. Idham Azis, yang waktu itu menjabat Kepala Polda Metro, ditunjuk sebagai ketuanya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal membantah keberadaan Satgas Atensi Pimpinan. Iqbal mengatakan berbagai satuan tugas yang dibentuk oleh Kepala Polri tak menumpulkan peran Bareskrim. “Pak Tito punya sistem empowerment yang luar biasa. Semua pejabat utama diberi kewenangan sesuai dengan porsi masing-masing,” katanya.
Menurut Iqbal, rotasi Arief ke Lembaga Pendidikan sesuai dengan keahlian jenderal bintang tiga itu di bidang sumber daya manusia. “Beliau itu polisi serba bisa,” ujar Iqbal.
Toh, Bareskrim seolah-olah tak bergigi. Tak terdengar lembaga tersebut menangani kasus besar yang bermuara di pengadilan setelah berbagai satgas itu terbentuk.
Sarifuddin Sudding, anggota Komisi Hukum yang bertugas hingga Desember lalu, mengatakan karier Arief sebenarnya cemerlang. Sudding menganggap Arief berhasil memperbaiki sistem perekrutan taruna Akademi Kepolisian dengan meniadakan calon titipan saat menjabat Asisten Sumber Daya Manusia Kapolri. Arief juga menolak memutasi atau mempromosikan polisi atas pesanan sejumlah anggota Komisi Hukum. “Orang ini tidak berkompromi,” ujar Sudding.
Prestasi lulusan Akademi Kepolisian 1987 itu juga diakui oleh Komisi Kepolisian Nasional. Anggota Komisi Kepolisian, Poengky Indarti, mengatakan proses rekrutmen pada masa Arief lebih baik dari sebelumnya. “Misalnya saat tes, skornya bisa langsung dilihat. Sebelumnya enggak ada,” katanya.
Poengky menilai wajar bila Tito memilih Idham sebagai Kepala Bareskrim yang baru. Selain banyak berkecimpung di reserse, Idham dikenal sebagai perwira Detasemen Khusus 88 Antiteror, seperti halnya Tito. Lulusan Akademi Kepolisian 1988 itu pernah bertugas bersama-sama Tito menangani sejumlah kasus terorisme. Pada 2010, saat Tito menjabat Kepala Detasemen Khusus, Idham adalah wakilnya.
Lima bulan lalu, ketika Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin diangkat menjadi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tito sebenarnya mengusulkan Idham naik pangkat menjadi bintang tiga sebagai wakilnya. Tapi saat itu Istana lebih condong ke Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto. Pensiunnya Lutfi Lubihanto menjadi momentum untuk merotasi sejumlah perwira tinggi.
Jenderal Tito membantah isu ketidakharmonisan di instansinya. “Polri solid,” ujar Tito. Rotasi, ia melanjutkan, telah melalui proses yang matang. “Polri bukan hanya milik satu orang, apalagi Kapolri. Kami memiliki sistem yang sudah baku, yang sudah standar. Salah satunya mekanisme.”
Adapun Arief ogah merespons kabar retaknya hubungan dia dengan Tito. “Tanyakan saja kepada yang membuat isu itu,” katanya. Ia mengatakan tak jadi masalah pindah ke Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri. “Tidak ada yang aneh.”
DEVY ERNIS, HUSEIN ABRI DONGORAN, ANDITA RAHMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo