MENGENAKAN stelan safari berwarna biru langit, Menteri Muda
Urusan Koperasi Bustanil Arifin membanggakan bajunya siang itu.
"Ini, saya sengaja pakai baju baru karena akan diinterpiu oleh
wartawan," katanya kepada Fikri Jufri dan Saur Hutabarat dari
TEMPO. Agaknya ada lagi yang baru pada Menmud Bustanil: Ia
mulai menyukai koperasi dan beranggapan bentuk usaha itulah yang
merupakan kunci sukses bagi orang banyak. "Sekarang setelah tahu
tentang koperasi saya yakin betul," katanya.
Didampingi beberapa staf ahli, Bustanil Arifin banyak bicara
tentang bidang yang belum lama digumulinya itu, persis sehari
sebelum hari ulang tahun Koperasi, 12 Juli. Beberapa petikan
dari wawancara tersebut.
Kalau koperasi bisa disebutkan salah satu sektor ekonomi, maka
di Indonesia ini ada sektor Pemerintah, Swasta dan Koperasi.
Adalah maksud pemerintah untuk mensejajarkan ketiga sektor ini.
Bagaimana caranya agar koperasi itu bisa mengejar sektor yang
lain, misalnya swasta?
Tak ada maksud kejar-mengejar. Memang yang sekarang terbelakang
itu adalah usaha koperasi. Karena itulah dalam Pelita II - ini
pemerintah meningkatkan kegiatan-kegiatan koperasi. Dulu
pemerintah sibuk dengan stabilisasi dan pertumbuhan. Sekarang
sibuk dengan pemerataan. Kami di koperasi berpendapat, tak ada
jalan lain untuk mencapai pemerataan selain dengan koperasi.
Apa pengertian pemerataan itu sendiri menurut bapak? Apakah itu
berarti meningkatkan taraf hidup yang miskin dengan mengurangi
porsi dari mereka yang lebih kaya? Atau bagaimana?
Saya kira yang sudah berada di atas tak perlu dikebawahkan. Itu
tak berarti bahwa yang kaya dibiarkan menjadi kaya raya, dan
yang masih miskin dibantu untuk mengejar yang sudah kaya. Tapi
setiap kali ada kesempatan yang bisa diberikan kepada yang
miskin, ya diberikan. Ambil contoh pabrik susu PMA di Jakarta.
Bagi mereka tentu lebih murah mengimpor susu bubuk dari luar
daripada membeli susu perah. Nah, di sini muncul peranan
pemerintah untuk membantu "si miskin": meminta pabrik-pabrik itu
membeli dari para petani susu. Harganya memang lebih tinggi
dibandingkan susu bubuk impor. Tapi itu bukan karena kita
sengaja membuat harga yang tinggi. Di situ ada bahaya hidup, ada
unsur pengembalian kredit, ada pula unsur biaya makanan ternak.
Nah, di sini kelihatan bahwa keuntungan pabrik sedikit
dikurangi, untuk memperkecil jurang antara kaya-miskin.
Citra koperasi sampai sekarang masih merupakan usaha dari kaum
lemah. Sedang PN dan PT itu kesannya bermodal kuat. Apakah
tujuan pemerintah ingin membuat koperasi itu sekuat misalnya PT
Garuda atau PT Timah misalnya atau setaraf dengan swasta yang
kuat? Atau membatasi taraf peningkatan itu sampai waktu tingkat
tertentu.
Koperasi merupan kunci utama untuk melepaskan rakyat dari
kemiskinan. Jadi, seperti kata Presiden Soeharto, koperasi sama
sekali tak ingin meIihat para anggotanya miskin terus. Nyatanya
kini banyak sudah koperasi yang maju, dengan omset jutaan sampai
milyaran rupiah. Jadi tak perlu dikhawatirkan kalau koperasi itu
sekali waktu tampil menjadi usaha-usaha raksasa.
Cukupkah dukungan dari departemen dan instansi lain?
Untuk itu sudah ada Inpres No. 2 tahun 1978: agar departemen
lain memberi dukungan dan partisipasi. Misalnya Departemen
Keuangan, yang memberikan jamminan kredit lewat Lembaga Jaminan
Kredit Koperasi. Lembaga tersebut nantinya akan menjadi Petum
Pengembangan Keuangan Koperasi. Itulah yang mem-back semua
kredit koperasi.
Apakah dengan begitu kredit yang akan mengalir ke
koperasi-koperasi itu sama besarnya dengan yang setiap tahun
dinikmati usaha-usaha Bimas itu?
Itu betul. Kredit kepada koperasi akan sangat meningkat. Sebab,
berbeda dengan sistem Bimas, maka penyaluran kredit itu nanti
tak melalui perorangan. Tapi disalurkan kepada koperasi, dalam
hal ini Koperasi, Unit Desa (KUD) Bisa dibayangkan lagi usaha
KUD itu akan terlibat dengan urusan kredit yang puluhan milyar
rupiah.
Berapa besar beras Bulog yang disalurkan lewat koperasi?
Antara 15 - 20%. Bagian yang terbesar masih tetap disalurkan
melalui swasta. Tapi jumlah penyadur swasta itu tak akan
bertambah. Jadi kalau ada tambahan permintaan, agaknya akan kita
salurkan melalui koperasi.
Bapak mengatakan lebih banyak KUD yang sukses dibandingkan
dengan yang gagal. Bahkan KUD Nugraha, yang menang No. 1 tahun
lalu, sudah beromset sampai Rp 8 milyar. Tapi omong-omong,
apakah anggota KUD itu ikut merasakan hasilnya sehingga lebih
baik rumahtangganya? Atau rezeki itu lebih banyak dinikmati
para pengurusnya?
Coba saja saudara periksa sendiri. Beberapa waktu setelah
koperasi masuk desa biasanya tak ada lagi rumah gubuk. Padahal
image rumah di desa itu kan gubuk. Ambil contoh di Pengalengan,
Jawa Barat. Tiga tahun itu rumah-rumah penduduk di sana
berhimpitan dengan kandang-kandang ternak. Sekarang di daerah
koperasi susu itu rumah-rumah sudah jauh lebih bagus. Banyak
yang menggunakan tripleks sebagai pelapis dindingnya. Dan itu
kandang-kandang sudah dipindahkan, berjejer di tepi danau
Cileunca.
Jadi bapak ini benar-benar sudah sreg dengan koperasi, rupanya.
Ya, begitulah. Dulu, sebelum menjadi Menteri Muda Koperasi, saya
memang skeptis terhadap koperasi. Setiap ada yang datang minta
jatah untuk koperasi, selalu saya tolak dengan berbagai alasan.
Tapi sekarang, rasanya semuanya ingin saya salurkan lewat
koperasi. Bukankah efeknya jauh lebih besar kalau saya berikan
kepada KUD dibandingkan dengan pribadi-pribadi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini