KEKUASAAN absolut menjuruskan orang pada kesewenang-wenangan, sementara kemakmuran mengarahkan manusia pada kesantaian. Yang disebut terakhir ini nyata terlihat di kalangan tenaga kerja di Jepang. Orang-orang Jepang yang terkenal sebagai pekerja keras itu kini sangat enggan melakukan kerja kasar. Apalagi kerja yang mengandung mara bahaya. Kondisi semacam itu membuka peluang bagi buruh asing tak terkecuali dari Indonesia untuk bekerja di Negeri Matahari Terbit. Sejak bulan Mei lalu, misalnya, sebanyak 420 remaja pria lulusan SMA dan sarjana diterbangkan ke sana. Mereka, yang mengantongi berbagai disiplin ilmu, disebar ke 152 perusahaan yang berskala menengah dan kecil. Ada yang menjadi buruh bangunan, ada pula yang terjun ke sektor permebelan. Pengiriman tenaga kerja ini dipaketkan sebagai program magang. Pemuda Indonesia itu bekerja dalam waktu relatif pendek dua tahun saja. Sekembali ke Tanah Air, menurut Ismail Soemaryo, mereka diharapkan bersedia menerapkan kebolehannya yang didapat selama di Jepang. ''Terutama supaya mereka punya jiwa wirausaha dan etos kerja,'' kata Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja ini. Proyek pengiriman tenaga magang tersebut merupakan hasil kerja sama antara Departemen Tenaga Kerja dan IMM Japan (Association for International Manpower Development of Medium and Small Enterprises). Semula, tahun ini ditargetkan pengiriman 5.000 tenaga magang. Angka itu rupanya sulit dicapai sehingga maksimal yang akan terkirim antara 1.000 dan 1.200 orang. Menurut brosur yang disebarkan, sasaran program magang yang dikendalikan IMM Japan ini adalah mendorong pertukaran teknologi, sekaligus pertukaran sumber daya manusia. Tujuan pertama itu agaknya terlalu muluk karena bukan saja Jepang enggan mentransferkan keunggulan teknologinya ke bangsa lain, tapi, dengan kerja kasar yang ditawarkannya, teknologi apa yang bisa dialihkan kepada kita? Satu hal pasti, Jepang memerlukan buruh kasar, dan tenaga Indonesia butuh lapangan kerja. Untuk itulah sebenarnya program magang itu diadakan. Memang, ada unsur memperdaya dalam pemakaian istilah magang tersebut. Apa boleh buat. Sebelum perusahaan Jepang merekrut tenaga kerja dari Indonesia, mereka harus menjadi anggota IMM Japan. Setiap perusahaan harus membayar 300 ribu yen, plus iuran bulanan 10 ribu yen. Di pihak Indonesia, pengadaan tenaga diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja. Menurut Ismail, mereka yang direkrut terutama yang pernah digembleng di Balai Latihan Kerja. Setelah lolos seleksi, mereka mendapat training tiga bulan, khusus mengenai bahasa dan kebudayaan Jepang. Kemudian, pelatihan dilanjutkan di Jepang selama sebulan. Sesudah itu, barulah mereka dikirim ke tempat kerja sebenarnya. Sebagian besar terjun di bidang konstruksi dan manufaktur. Ada yang bekerja sebagai tukang pipa dan panel beton, menjadi tukang bubut kayu untuk mebel, atau bekerja di percetakan. Salah satu contoh adalah perusahaan Kyodo Business Forum (KBF), yang telah mempekerjakan tiga orang magang dari Indonesia sejak Juni lalu. Sesuai dengan bidangnya, pekerja di sini tangan dan bajunya akan selalu berlepotan dengan bahan percetakan. ''Orang Jepang tak tahan lama bekerja di sini. Sebaliknya, pekerja dari Indonesia tak peduli,'' kata Tetsuo Miyata, Kepala Pabrik KBF. Hanya saja, soal bahasa masih menjadi hambatan. Salah seorang magang, Asep Harja, 21 tahun, yang berasal dari Sukabumi, kelihatan betah bekerja di KBF. ''Saya senang dengan jenis pekerjaan ini, apalagi ada kemungkinan besar saya akan ditunjuk sebagai pembimbing apabila Cabang KBF akan dibuka di Indonesia,'' kata lulusan SMA yang mengaku tinggal bersama dua rekannya di apartemen yang terletak dekat pabrik itu. Para magang biasanya bekerja selama 24 bulan. Pada 10 bulan pertama, mereka dibayar 90 ribu yen per bulan sebagai upah oleh perusahaan lewat IMM Japan. Namun, sejak bulan ke-11 sampai pulang ke Tanah Air, mereka menerima 107 ribu yen per bulan. Mereka juga boleh bekerja lembur jika ingin memperoleh gaji tambahan. Sementara itu, perusahaan yang menggunakan tenaga magang dari Indonesia ini harus membayar 180 ribu yen tiap magang per bulan kepada IMM Japan. Sebab, IMM Japan menanggung biaya transpor IndonesiaJepang pulang-pergi dan biaya asuransi. Bahkan, biaya latihan selama di Indonesia, sebelum mereka bertolak ke Jepang, ditanggung IMM Japan. Kabarnya, IMM menyediakan 60 ribu yen untuk setiap tenaga magang. Setelah dipotong makan, sekitar 60 ribu yen (Rp 1,2 juta) diperkirakan dapat dibawa pulang per bulan oleh pemuda Indonesia itu. Mereka tak perlu mengeluarkan uang untuk asrama. Jika mereka tahan, selama dua tahun mereka bisa mengumpulkan bonus 480 ribu yen. Tapi fulus yang mengalir ke kantong pekerja Indonesia ini, kabarnya, masih tergolong kecil. Soalnya, standar upah minimum pekerja kasar di Jepang, konon, lebih dari 300 ribu yen per bulan. Ini pun pas-pasan mengingat harga kebutuhan pokok sehari-hari di negara industri itu juga sangat tinggi. Sebenarnya, program magang seperti itu sudah lebih dulu diterapkan di Taiwan. Sejak tahun lalu, ada sekitar 4.000 pekerja Indonesia yang dikirim ke sana. Malah, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) pernah juga menerapkan program serupa, tapi hanya untuk magang setahun. Bagaimana setelah mereka pulang? Menurut Ismail, mereka akan diserahkan ke kantor Departemen Tenaga Kerja di daerah. Seperti diketahui, kini Departemen Tenaga Kerja mempunyai lembaga yang bernama clearing house, yaitu lembaga kerja sama antara pengusaha dan Departemen Tenaga Kerja. Lembaga kliring inilah yang ditugasi melakukan pembinaan. Gatot Triyanto, Andy Reza, dan Seiichi Okawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini