Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah perusahaan financial technology (fintech) berbasis pinjam meminjam telah menyelesaikan proses audit laporan keuangan guna memenuhi persyaratan untuk mengurus perizinan di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). CEO PT Mitrausaha Indonesia Grup (Modalku) Reynold Wijaya mengatakan perusahaannya telah menyelesaikan audit dari Ernst & Young dengan hasil wajar tanpa modifikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tidak berkenan menjelaskan hasil laporan keuangan perusahaannya, dia mengakui laba Modalku masih tercatat negatif mengingat industri fintech merupakan industri baru di pasar industri keuangan khususnya untuk lending. “Laba masih oke, tetapi tentu masih negatif. Industri fintech mungkin baru bisa mendapat laba yang positif sekitar 3-5 tahun ke depan,” ujar Reynold, Senin, 9 April 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reynold menyatakan dengan skala penetrasi dan cakupan pasar yang lebih luas, baik di dalam maupun luar negeri, laba perusahaan fintech akan berangsur menjadi positif. Hingga kuartal I tahun 2018, Modalku mencatatkan penyaluran pinjaman sebesar Rp 1,4 triliun kepada UMKM di Indonesia, Singapura, dan Malaysia dengan tingkat default 1,39 persen.
Sementara itu, pada periode Januari-Maret 2018 diperkirakan penyaluran mencapai Rp 200 miliar. Adapun pada tahun ini, Modalku menargetkan penyaluran pinjaman mencapai Rp 1 triliun.
Rencananya, Modalku akan segera memasukkan dokumen laporan keuangan tersebut kepada OJK pada Mei 2018. Hal tersebut sesuai dengan amanat POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Dalam pasal 10 disebutkan bahwa penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak tanggal terdaftar di OJK. Jika lebih dari jangka waktu tersebut, maka surat bukti terdaftar fintech dapat dinyatakan batal.
Dalam kesempatan sebelumnya, Co-Founder dan CEO PT Investree, Radhika Jaya Adrian Gunadi, mengatakan Investree baru saja menyelesaikan proses audit dengan rating audit wajar tanpa pengecualian. Audit tersebut sudah dilakukan pada Januari 2018 dan selesai pada akhir Maret 2018. “Kami sudah menyelesaikan audit kami dengan menunjuk RSM yang mengaudit buku Investree 2016/2017. Ini bagian dari transparansi dan langkah menuju perizinan,” tuturnya.
Kendati enggan membeberkan capaiannya secara detil, Adrian memaparkan bahwa Investree mencatatkan pertumbuhan pendapatan sekitar 14 kali lipat dan menekan pengeluaran hingga 3 kali lipat. “Bisnis kami Business-to-Business (B2B) dan kami tidak main consumer. Sebanyak 70 persen pengeluaran kami justru lebih banyak di gaji karena industri ini investasinya justru di manusia,” ujar Radhika.
Hingga Maret 2018, total fasilitas pinjaman Investree mencapai Rp 730 miliar dengan nilai pinjaman yang sudah tersalurkan mencapai Rp 573 miliar. Sejak berdiri pada 2016, Investree terus mencatatkan pertumbuhan yang relatif cepat hingga naik 10 kali lipat menjadi Rp 500 miliar pada akhir 2017, sedangkan pada Desember 2016 yang masih sekitar Rp 50 miliar.
Pencapaian penyaluran pinjaman ditargetkan mencapai Rp 1 triliun pada tahun ini. Di samping menggenjot penyaluran pinjaman, Investree juga fokus untuk menjaga non performing loan (NPL) yang kini masih 0 persen. Hingga Maret 2018, OJK mencatat terdapat 40 perusahaan penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis fintech peer-to-peer (P2P) lending yang telah resmi terdaftar.