Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ruangan bertembok bata merah dipenuhi jejeran rak buku, di jalan Dr Cipto Nomor 22, Surabaya. Rak kanan khusus buku biografi, seni, film, dan di kiri terdiri dari buku novel dan sastra. Di antara 7.000 buku terselip sebuah buku bersampul merah dengan judul Madilog karangan Tan Malaka. Bagi perpustakaan C20 buku ini memberikan sebuah kenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delapan tahun silam Yayasan Pustaka Obor berencana menggelar diskusi buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia di perpustakaan C20. Tanpa diprediksi tiba-tiba sekelompok orang mendatangi perpustakaan yang saat itu masih berada di jalan Dr. Cipto Nomor 20. Mereka meminta diskusi tersebut dihentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada waktu itu buku-buku seperti Tan Malaka masih diawasi pemerintah,” Kata Julianah, salah satu pengelola perpustakaan C20 kepada Tempo.co, pada Selasa, 4 Juli 2023.
Ia juga mengatakan, pada saat itu telah dilakukan negosiasi antara pihak yang melarang dan penyelenggara. Namun tidak menemukan titik tengah sehingga penyelenggara memutuskan untuk menghentikan diskusi tersebut demi menjaga keamanan.
Tantangan itu tak membuat C20 ciut, kini perpustakaan yang berdiri sejak 2008 semakin berdaya. Jumlah buku terus bertambah, pengunjung semakin banyak, dan bangunan perpustakaan juga semakin luas.
Tak hanya menyediakan buku-buku untuk dibaca, perpustakaan ini juga menyediakan tempat untuk bekerja atau hanya sekadar membaca. Tak ketinggalan sebuah dapur kecil untuk pengunjung yang ingin memesan minuman atau makanan.
C20 diambil dari nama jalan perpustakaan ini, Jalan Dr Cipto Nomor 20. Alasannya sederhana, agar memudahkan pengunjung mengingat tempat dan nama perpustakaan. Kathleen Azali adalah orang dibalik berdirinya perpustakaan independen ini.
Kathleen yang berprofesi sebagai peneliti merasa resah karena susah mengakses buku-buku di perpustakaan yang ada pada saat itu. Sehingga ia berinisiatif mendirikan perpustakaan dengan ongkos pribadinya. Perpustakaan ini mengusung tema, buku yang bisa dibaca secara berkelanjutan. Tidak hanya sekali baca, tetapi isi buku bisa digunakan dalam jangka panjang.
C20 menyediakan berbagai genre buku, mulai dari kajian sosial, budaya, politik, novel, komik, koran, dan majalah. Tak hanya buku berbahasa Indonesia, buku terbitan luar negeri juga tersedia. Pengunjung bisa membaca di tempat atau meminjamnya dengan mendaftar keanggotaan di C20.
Menurut Julianah, tantangan terbesar C20 adalah ketika pandemi Covid-19. Perpustakaan sama sekali tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Banyak orang beralih ke buku digital. “Kita total gak ada aktivitas, kayak kita bisa bernapas tapi sesak gitu,” kata dia.
Pandemi juga memberikan dampak ke buku-buku yang dimiliki C20. Karena tidak ada aktivitas di perpustakaan, buku yang ditinggal sekitar hampir tiga tahun sejak pandemi mengalami pudar dan rapuh pada bagian sampul. Kini perlahan, mereka memperbaikinya sedikit demi sedikit.
Perpustakaan C20 memiliki beberapa koleksi buku yang belum dipajang karena keterbatasan tempat. Julianah berharap perpustakaan ini bisa terus berkembang dan semakin luas sehingga bisa menampung buku-buku baru.
Pilihan Editor: Diskusi Buku Tan Malaka Diganggu Ormas di Surabaya