Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hati-hati, kontaminasi bisphenol-A (BPA) berpotensi memicu risiko penyakit katastropik seperti infertilitas atau gangguan kesuburan, autis pada anak, gangguan metabolisme tubuh, hingga kanker. Akademisi dari berbagai latar belakang ilmu pengetahuan pun mengungkap bahaya zat kimia BPA pada kemasan air minum bagi kesehatan konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kebutuhan air minum per orang per hari diperkirakan mencapai 1.146 ml memiliki risiko tinggi, jika air minum yang dikonsumsi terpapar BPA," kata dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan UGM, Diah Ayu Puspandari, dalam agenda Sarasehan Regulasi Pelabelan BPA Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jakarta, Selasa, 7 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil kajian Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada mengungkap kejadian infertilitas berpotensi memicu kerugian materi yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
"Infertilitas merupakan salah satu penyakit yang dipilih dalam kajian tersebut dengan mempertimbangkan besarnya biaya serta layanan. Infertilitas ini tidak masuk dalam paket manfaat BPJS Kesehatan sehingga biaya pelayanan kesehatannya masih menjadi tanggungan pasien secara mandiri," katanya.
Kajian itu dilakukan untuk menghitung beban biaya penyakit sebagai dampak dari kandungan BPA yang turut berkontribusi dalam peningkatan biaya kesehatan. Ia mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan BPA berkontribusi 4,5 kali lebih besar memicu infertilitas. Data tersebut kemudian digunakan untuk menghitung total beban biaya infertilitas terkait paparan BPA dalam AMDK galon dengan perhitungan yang menghasilkan kisaran biaya perawatan antara Rp 16-30,6 triliun dalam satu siklus.
"Jumlah biaya yang cukup besar dan tentunya menjadi beban masyarakat yang harus ditanggung secara mandiri. Di sisi lain infertilitas dalam tatanan masyarakat memiliki masalah dan menjadi beban sosial yang cukup kompleks," ujarnya.
Ahli Biomedik Farmasi dan Farmakologi dari Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Junaidi Khotib mengatakan kehadiran akademisi diharapkan mampu memberikan data berbasis sains untuk mendukung kebijakan pemerintah yang berpihak pada masyarakat luas.
"Kami terbuka dan mendorong penelitian yang bermanfaat. Ini bagian tugas kami menyediakan data berbasis sains untuk digunakan bagi dukungan kebijakan yang berpihak pada masyarakat demi kemajuan bangsa," jelasnya.
Seemntara itu, Kepala BPOM RI, Penny Lukito, mengatakan kebijakan untuk mencantumkan label bahaya BPA pada kemasan air minum masih berproses setelah lebih dari setahun bergulir. Menurutnya, agenda sarasehan tersebut diharapkan bisa mengedukasi masyarakat tentang berbagai risiko yang dikaitkan dengan pencemaran BPA dalam kandungan air minum.