Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari Internasional Tanpa Toleransi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (International Day Zero of Tolerance for Female Genital Mutilation) diperingati setiap tanggal 6 Februari. Peringatan ini ditengarai bahwa Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan merupakan praktik yang melibatkan penghilangan sebagian alat kelamin perempuan tanpa indikasi medis. Banyak negara dunia, seperti kawasan Timur Tengah, Afrika masih melanggengkan praktik ini. Di Indonesia, praktik ini masih dilakukan bahkan hingga beberapa tahun lalu.
Data dari UNICEF tahun 2016 mencatat lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan. Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan angka sunat perempuan tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia. Lebih lanjut lagi, WHO menyebutkan setiap tahun diperkirakan 3 juta anak perempuan berisiko mengalami sunat yang dilakukan sebelum berusia 15 tahun.
Baca: Sunat perempuan, praktik yang masih sering terjadi: "Saya Menjerit Kesakitan"
Laman resmi WHO juga menjelaskan bahwa praktik ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi anak perempuan dan perempuan serta sebagai bentuk dari diskriminasi gender. Hal ini sebab sunat perempuan dilakukan pada perempuan tanpa persetujuan. Sunat perempuan juga melanggar hak seseorang atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup ketika prosedur tersebut mengakibatkan kematian. Komunitas global menetapkan target untuk meninggalkan praktik sunat perempuan pada tahun 2030.
Melansir laman Kementrian Kesehatan, sunat perempuan adalah prosedur atau tindakan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan atau tindakan melukai lainnya terhadap organ genital perempuan baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan lainnya tanpa indikasi medis. Kementrian Kesehatan sepakat menolak sunat perempuan. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1636 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan dicabut pada 6 Februari 2014. Salah satu pertimbangannya adalah bahwa sunat perempuan lebih didasari oleh pertimbangan adat dan agama, bukan merupakan tindakan medis.
Asal Usul Sunat Perempuan
Menurut laman publikasi Universitas Islam Negeri Banten, belum ada sejarah pasti soal asal usul praktek sunat perempuan. Praktik itu meluas di Mesir kuno sehingga diperkiran pertama kali dilakukan di negeri Mesir. Penelitian bertajuk Tradisi Sunat Perempuan di Banten dan Implikasinya Terhadap Gender, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi itu juga menjelaskan bahwa praktik ini diperkirakan terkenal pada masa pra-Islam di daerah Mesir, Arabia dan daerah tepi laut merah.
Sedangkan di Indonesia, kemungkinan praktik sunat dilakukan jauh sebelum masjid, gereja, dan kerajaan Jawa ada. Tidak ada dokumentasi bagaimana praktek sunat dilakukan di masa lampau sehingga asal usulnya sulit untuk diketahui. Namun sunat dianggap sebagai praktik animisme-dinamisme yang diindikasi adanya mitologi Jawa. Penyunatan pada perempuan menggambarkan sebagai ritual yang menyimbolkan pembebasan diri dari Betara Kala, dewa pemuja manusia.
NOVITA ANDRIAN
Baca: Penyesalan Seorang Ayah di Jawa Barat yang Mengkhitankan Putrinya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini