Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jika Anda mendengar tentang gaya hidup hedonisme, apa yang Anda bayangkan? Kumpulan orang yang sedang party, bersenang-senang di jet pribadi, resor mewah, atau kapal pesiar? Atau seorang wanita sedang berbelanja barang-barang fashion dari desainer mahal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana kalau ternyata gaya hidup hedonisme tidak selalu berkaitan dengan gaya hidup kelas atas? Menikmati cerahnya langit atau rebahan nikmat sepulang kerja di hari yang panjang, ternyata juga bisa disebut gaya hidup hedonisme. Kok bisa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hedonisme dewasa ini selalu dikaitkan dengan gaya hidup yang tidak bertanggung jawab dan hanya berorientasi kepada materi serta kesenangan hidup. Padahal jika menilik dari akarnya, nilai dari paham ini lebih sederhana dari penilaian tersebut.
Berawal dari dua filsuf Yunani bernama Epicurus dan Aristippus, istilah hedonisme ini muncul. Hedone artinya kenikmatan atau kegembiraan, sedangkan hedonisme adalah gaya hidup yang menjadikan kenikmatan atau kegembiraan sebagai tujuan hidup dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak atau menyakitkan.
Untuk memahami hedonisme kita harus mengenali dulu apa sebenarnya kesenangan itu. Kesenangan adalah suatu hal yang subjektif dan memiliki pemahaman luas, tetapi mudah untuk kita temukan dalam keseharian. Bisa jadi kesenangan adalah pelukan hangat dari orang terkasih atau alunan musik yang memberi semangat pada hari Anda.
Jadi, tak harus melulu soal uang berlimpah dan barang-barang mewah, pengalaman setiap orang akan kesenangan tentu saja bisa berbeda. Tidak ada jenis kesenangan dengan respons yang sama persis pada setiap orang. Berbagai hal dapat menjadi rangsangan yang mungkin akan Anda respons sebagai kesenangan. Interaksi itulah yang dicari dalam prinsip hedonisme, apa pun bentuknya selama Anda merasa senang.
Seorang psikolog bernama Warburton mengungkapkan bahwa sejatinya mengejar kesenangan bagi manusia adalah hal alami yang tidak bisa diabaikan. Pola pikir tersebut juga berpengaruh pada pandangan hedonis dalam menghadapi masalah dan tekanan dalam hidupnya. Warburton percaya bahwa hedonisme dapat mengurangi tingkat stres seseorang dan dengan begitu kesehatannya dapat lebih terjaga.
Dalam buku How to Be an Epicurean: The Ancient Art of Living Well yang ditulis oleh seorang profesor filosofi, Catherine Wilson, diungkapkan bahwa manusia modern yang mengejar kesuksesan sering melupakan kebahagiaan mereka.
Dengan menerapkan teori Epicurus akan hedonisme yang sesungguhnya, orang-orang harusnya bisa menyeimbangkan hidupnya. Contohnya, berfoya-foya menghabiskan uang dalam satu malam adalah hal yang tidak baik untuk kehidupan jangka panjang. Tapi juga terlalu khawatir akan masa depan sehingga selalu menahan diri untuk merasakan kegembiraan pun bisa berbahaya pada kesehatan. Epicurus percaya bahwa kesenangan saat ini dan di masa depan adalah hal yang sama pentingnya.
Ahli psikologi lainnya pun berpendapat bahwa memaksimalkan kesenangan di keseharian kita, dapat menjadi investasi yang baik dalam menghindari depresi. Hal ini dibuktikan dalam suatu penelitian tentang anak-anak sekolah yang diminta untuk menuliskan peristiwa menyenangkan yang terjadi dalam keseharian mereka. Setelah menuliskan dan membacanya, hal itu terbukti dapat mengurangi kecenderungan depresi, bahkan efeknya masih terasa hingga 3 bulan kemudian.
Sementara dalam penelitian lainnya yang diterbitkan Science Direct, diungkapkan bahwa emosi yang menyenangkan dari rasa gembira yang terpenuhi diasosiasikan dengan pemikiran yang lebih luas dan kreatif serta dampak-dampak positif lainnya, seperti lebih tangguh dalam menghadapi tantangan hidup, sehat secara fisik, dan berumur panjang.
SEHATQ