Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan Indonesia dan Program Pembangunan PBB (UNDP), bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bekerja sama untuk mempromosikan sistem kesehatan yang tahan terhadap perubahan iklim, berkelanjutan, dan rendah karbon. Kerja sama ini merupakan kolaborasi proyek yang didanai oleh Green Climate Fund (GCF).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek di Indonesia akan dirancang untuk meningkatkan ketahanan iklim layanan kesehatan melalui solusi adaptasi dan mitigasi iklim. Komponen adaptasi melibatkan penguatan dan integrasi sistem peringatan dini untuk penyakit terkait iklim. Di bawah mitigasi, inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari fasilitas kesehatan. Setiap negara akan melaksanakan proyek sesuai dengan keadaan uniknya, memastikan pendekatan yang disesuaikan dengan konteks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, proyek ini bertujuan untuk membentuk sistem kesehatan nasional yang tahan terhadap perubahan iklim dan berkelanjutan, mengurangi emisi gas rumah kaca dari sistem kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Proyek ini juga diharapkan bisa meningkatkan pendanaan untuk tindakan transformatif terhadap risiko kesehatan terkait iklim. Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim, dan mempromosikan sistem kesehatan yang tahan terhadap perubahan iklim dan rendah karbon yang berkelanjutan.
Officer in Charge of UNDP Indonesia Sujala Pant mengatakan timnya memiliki portofolio program iklim yang paling besar, dengan dukungan terhadap aksi iklim di hampir 150 negara berkembang. "72 persen dari program kami di Indonesia juga berfokus pada ketahanan perubahan iklim dan bencana alam," katanya.
Sujala perubahan iklim memiliki isu yang memiliki hubungan dengan banyak aspek. Ia dan tim pun terus mencari tahu cara mengembangkannya dan mencari solusi yang mampu memberikan respon terbaik terhadap dampak perubahan iklim di masa mendatang. "Oleh karena itu, kolaborasi ini sangat penting bagi kami,” kata Sujala.
Dalam hal kesehatan, perubahan iklim mempengaruhi penyakit dengan mengubah variabel-variabel iklim seperti curah hujan, suhu, dan kelembaban, yang memengaruhi dinamika penyebaran penyakit. Perubahan pola iklim regional juga mempengaruhi agroekosistem dan ketersediaan air, menyebabkan kelangkaan dan peningkatan penyakit terkait air dan makanan seperti gizi buruk dan diare. Sebagai contoh, penurunan curah hujan dan suhu di Maluku meningkatkan kasus pneumonia sebesar 96 persen dan kasus diare sebesar 19 persen. Lebih lanjut, suhu yang lebih tinggi dan curah hujan yang lebih tinggi meningkatkan kasus demam berdarah sebesar 227 persen di Bali-Nusa Tenggara, dan kasus malaria di Papua sebesar 66 persen.
Selain itu, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian ekonomi sebesar 1,86 persen (sekitar Rp 21,6 miliar) akibat dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan. Di sisi lain, laporan Bank Dunia menyatakan bahwa dampak perubahan iklim pada sektor air dapat menyebabkan kerugian ekonomi sekitar 7,3 persen pada 2045. Jika dibiarkan tanpa pengawasan, perubahan iklim juga akan mempengaruhi profil kesehatan generasi saat ini dan masa depan, menjadi beban bagi sistem kesehatan, dan menghambat upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan cakupan kesehatan universal.
“Perubahan iklim adalah ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi umat manusia, dan WHO berkomitmen untuk meresponsnya,” kata Dr. N. Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia. “Peluncuran inisiatif ini menandai langkah maju yang berani bagi Indonesia - yang sangat rentan terhadap dampak kesehatan perubahan iklim - dan akan mempercepat kemajuan di sini, seperti di seluruh dunia, menuju masa depan yang lebih sehat, lebih hijau, lebih tangguh, dan lebih berkelanjutan bagi semua orang.”
Menteri Kesehatan Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengatakan Kementerian Kesehatan akan berkomitmen untuk mendukung energi dan sumber daya yang diperlukan untuk memimpin proyek ini. "Untuk mencapai hasil yang diharapkan bersama, kerja sama yang luas dari berbagai kementerian akan diperlukan," katanya.
Pada proposal proyek GCF ini, Kemenkes, UNDP, serta WHO akan berkolaborasi untuk mencapai serangkaian tujuan, terutama dalam mengurangi kerentanan Indonesia terhadap penyakit yang terkait dengan iklim dan gangguan pada layanan kesehatan, termasuk meningkatkan hasil kesehatan bagi populasi rentan dan kurang beruntung, yang secara tidak proporsional terkena risiko kesehatan iklim.
Proyek ini akan melibatkan kolaborasi yang luas dengan pemangku kepentingan utama, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mulai dari pemilihan lokasi hingga sinkronisasi tujuan proyek dengan strategi pembangunan nasional Indonesia yang menyeluruh. Selain itu, proyek ini akan melibatkan Kementerian Keuangan, yang bertindak sebagai otoritas nasional yang ditunjuk untuk Dana Iklim Hijau. Mereka akan menyetujui No Objection Letter (NOL) untuk proposal proyek GCF yang spesifik untuk negara dari Indonesia.