Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Gerakan Literasi Sekolah Pangesti Wiedarti menyarankan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya tindak kriminal. Ia mengarahkan agar membuat rekam jejak kriminal melalui kartu identitas pribadi. "Agar efektif dan efisien, perlu diusulkan sebaiknya rekam jejak kriminal seseorang dikaitkan dengan e-KTP," katanya dalam keterangan tertulis pada 9 Juni 2019.
Baca: OJK: Literasi dan Inklusi Keuangan Masyarakat Indonesia Rendah
Sebelumnya, sebuah bom bunuh diri meledak di pos polisi Kartasura, pada Senin, 3 Juni 2019 pukul 22.30 WIB. Polisi menduga pelaku bom bunuh diri di pos polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, adalah Rofik Aasharuddin. Rofik belajar merakit bom dari internet. Polisi juga menengarai Rofik belajar paham radikal melalui media yang sama.
Pangesti mengatakan dengan rekam jejak kriminal itu, sejarah kriminal seseorang bisa diketahui langsung dengan cara menginput Nomor Induk Kependudukan ke jaringan kepolisian secara nasional. Pangesti pun menyarankan agar perekaman itu dilakukan sejak masih anak-anak melalui e-kartu pelajar. "Kemungkinan e-kartu pelajar (untuk masyarakat di bawah umur) juga dapat direkap sebab ada sekian kejahatan dilakukan pelajar di bawah umur," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangesti kerap membaca berbagai informasi tentang kejahatan yang terjadi di kalangan pelajar. Ada berita tentang seorang siswa SMA yang melakukan pemerkosaan kepada seorang wanita dewasa di ladang saat memberikan tumpangan. Pemerkosaan antar pelajar juga sudah sering sekali ia baca. Kasus lain ada pula tentang tawuran di berbagai daerah yang dilatarbelakangi berbagai hal. "Ini bisa menjadi bentuk pencegahan agar anak-anak tidak bisa berlaku suka-suka," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta ini mengatakan di Yogyakarta ada klithih yang menyakiti, menodong, dan melakukan tindak kekerasan sebagai uji nyali agar berterima kasih di geng yang diikuti. "Pelaku pemerkosaan oleh siswa SD, SMP, SMA juga ada. Jika mereka tahu sanksi bahwa ulah mereka tercatat di kartu pelajar mereka, maka mereka bakalan takut berbuat jahat," kata Pangesti yang berharap gagasannya bisa mencegah tindak kriminal lebih jauh.
Kata klithih merupakan penggalan dari dua kata bahasa Jawa klithah-klithih. Menurut Kamus Bahasa Jawa karangan SA Mangunsuwito, klithah-klithih artinya 'berjalan bolak-balik agak kebingungan'. Klithih sekarang ini mempunyai konotasi kriminal, bukan sekadar kenakalan remaja. Pada kenyataannya, perbuatan klithih adalah sekelompok remaja yang berkeliling kota atau kabupaten dengan naik motor dan berbuat kriminal kepada pengendara motor lainnya. Mereka berkeliling dengan motor tidak kebingungan, tetapi sudah mempunyai target kejahatan.
Untuk melakukan perekaman jejak kriminal itu, tentu ada banyak yang perlu dipersiapkan. Pertama perlu sekali kartu identitas elektronik siswa dan masyarakat itu terkoneksi. Selain anggaran, big data yang anti retas juga sangat diperlukan.
Pangesti mengatakan bila jejak rekam melekat pada e-KTP atau e-Kartu Pelajar maka masyarakat dapat diingatkan agar berhati-hati dalam bertindak. Selain itu, sosialisasi informasi pun perlu dilakukan tentang sistem ini agar masyarakat berpikir sebelum bertindak jahat dalam bentuk apapun. "Dari sisi hukum, perlu disosialisasikan sanksi hukum bagi tindak pidana atau perdata yang umum terjadi," katanya.
Menurutnya, langkah itu merupakan upaya pendidikan warga agar mereka melek hukum. "Bahwa setiap tindakan kejahatan berdampak sanksi hukum. Maka dari itu, jangan pernah melakukan tindak kejahatan apapun," kata Pangesti yang yakin program ini perlu kerja sama lintas kementerian dan lembaga.
Menurut Pangesti, pengamanan dengan ronda malam di beberapa area saat ini belum tentu berhasil menjaga keamanan. Walau begitu, ia menghargai pihak Kepolisian yang selalu siaga bila diminta bantuan. "Saya telepon 110 ke polisi lokal DIY, sudah dua kali selalu dijawab," kata Pangesti yang pernah menghubungi polisi pada tengah malam dan sore hari.
Literasi, kata Pangesti, memiliki banyak cabang. Salah satu jenis literasi yang perlu diketahui masyarakat adalah literasi kriminal. Literasi ini berkaitan dengan pemahaman terhadap jenis kejahatan dan sanksinya sebagai risiko perbuatan merugikan pihak lain dalam berbagai bentuk ancaman psikologis, penyiksaan, pelecehan, pemerkosaan dan kematian.
Baca: Gerakan Ibu Bangsa Membaca, Ibulah Pegiat Literasi Pertama
Pendidikan literasi kriminal bisa disampaikan dengan bekerja sama antara dinas pendidikan daerah dan kepolisian. Akademisi universitas serta kepala sekolah dan jajarannya pun bisa ikut serta dalam menyampaikan materi literasi kriminal. "Psikolog, akademisi, guru, polisi berpengalaman juga bisa wujudkan aksi literasi kriminal di lapangan," katanya. "Jika hal di atas dalam dilakukan, hal itu dimungkinkan dapat membantu pencegahan tindak kriminal."