Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K), menyebut beberapa syarat anak dengan autisme bisa belajar di sekolah inklusif. Ia mengatakan syarat pertama yang harus diperhatikan ialah intelligence quotien (IQ) atau tingkat kecerdasan intelektual di atas 70.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nomor satu IQ dia mesti cukup untuk masuk ke sekolah inklusif, IQ-nya itu perlu di atas 70,” katanya dalam diskusi tentang autisme di Jakarta, Kamis, 25 april 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apabila IQ anak autisme kurang dari 70 maka dia bisa disebut disabilitas intelektual, yaitu fungsi adaptif anak berkurang, yang bisa menyebabkan kesulitan bertemu atau berbaur dengan banyak orang. Kondisi tersebut membuat anak disarankan masuk ke sekolah khusus dibanding sekolah inklusif supaya mendapat bimbingan dan materi belajar yang lebih tepat.
Syarat kedua yakni anak autisme mempunyai perilaku baik sesuai kriteria yang sudah ditetapkan sekolah. Misalnya, anak tidak berperilaku kasar dan memiliki kemauan belajar yang tinggi.
“Anak harus berperilaku bagus, bisa adaptasi dengan lingkungan. Tidak memukul, menggigit, atau menusuk teman-temannya. Kalau tidak, sekolah enggak ada yang mau menerima anak itu nanti,” ujar Hardiono.
Bisa berkomunikasi
Anak dengan autisme diharapkan bisa berbicara dengan bahasa yang jelas meski hanya sedikit dan bisa berkomunikasi dengan teman-teman di sekolah agar pembelajaran dapat berjalan lebih nyaman bagi kedua pihak. Hardiono menekankan sekolah tidak boleh mengabaikan atau memberikan perilaku yang tidak adil terhadap murid dengan kebutuhan khusus maupun autisme. Apabila ada kekurangan, para guru dapat dengan sabar menciptakan ruang belajar yang baik untuk anak-anak.
“Masuk sekolah itu seperti anak biasa saja. Kalau dia ada yang kurang, misal anak sekarang nilai matematikanya kurang, guru bisa kasih mereka bantuan les, atau mungkin anaknya tiba-tiba mau jalan-jalan, dibawa saja keluar dulu main trampolin sebentar,” sarannya.
Sebagai bentuk pendampingan pada anak autisme maupun berkebutuhan khusus, dia tidak menyarankan sekolah menggunakan konsep shadow teacher, yakni guru yang selalu berada di sisi anak untuk menjaganya. Dia khawatir apabila sekolah berlarut menerapkan ini maka minat anak untuk belajar akan berkurang, demikian pula dengan guru yang memiliki kewajiban untuk mengajar.
“Hanya boleh di awal, kalau anak tidak bisa duduk diam di kelas boleh pakai shadow,” jelasnya.
Hardiono juga meminta setiap pihak untuk tidak membedakan sekolah inklusif maupun sekolah reguler. Menurutnya, semua tipe sekolah setara dan perlu memberikan pelayanan pendidikan yang baik bagi murid-muridnya.