Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Bungkus Sampahmu di Kereta, Seperti Mengantongi Permen

Membuang sampah pada tempatnya adalah hal paling sederhana.

30 Januari 2019 | 17.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penumpang bersiap menaiki gerbong kereta di Stasiun Bekasi Timur yang baru beroperasi, di Bekasi, 8 Oktober 2017. Stasiun ini beroperasi berbarengan dengan rute kereta baru Jakarta Kota - Cikarang. Tempo/Fakhri Hermansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kita sering mendengar seruan agar membuang sampah pada tempatnya. Tapi entah kenapa, seruan itu bak peraturan yang dibikin untuk dilanggar. Masih banyak yang membuang sampah sembarangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin perlu kita ingatkan kejadian yang baru saja lewat, sepekan lalu. Nenek Nurjannah Djalil meninggal dunia setelah sempat selamat dari banjir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis pekan lalu. Nenek yang berusia 70 tahun ini sempat viral di media sosial. Fotonya tersebar sedang menggendong cucunya sambil memeluk batang pohon yang digenangi air. Pertolongan baru datang setelah tiga jam kemudian. Ia tak selamat meski telah mendapat penanganan medis. Air kotor telah terlalu banyak mengisi perutnya.

Tiap tahun media menyuguhi kita berita duka banjir. Rumah papan hanyut tanpa sisa. Orang hilang dibawa arus. Nyawa melayang disapu air. Tangis pilu kehilangan orang yang dikasihi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banjir adalah bencana alam yang niscaya. Tapi, kita bisa meminimalisir dampaknya.

Penyebab banjir memang kompleks. Faktor alam biarlah menjadi hak prerogatif alam semesta. Tapi faktor manusia bisa diminimalkan.

Membuang sampah pada tempatnya adalah hal paling sederhana. Meski begitu, kesadaran itu belum merata di kita.

Akuilah.

Di jalan raya, ada orang dari dalam mobil yang membuka kaca lalu melempar bungkus chitato ke jalanan.

Di parkiran atau halaman supermarket, ada orang memasukkan uang kembalian ke dompet dan membuang struk belanjaan sembarangan.

Di angkot, ada orang membuang puntung rokok dari jendela kaca atau pintu begitu saja.

Di gereja, permen karet yang sudah tak berasa ditempel di bawah kursi dan bungkusnya dibuang di lantai.

Di lapangan, bungkus plastik bertebaran.

Dua tahun lalu aku ke Pontianak, Kalimantan Barat, untuk pekerjaan kantor. Di sana aku pergi ke rumah salah seorang teman. Di jalan Uray Bawadi, Pontianak Kota.

Meski masih berada di sekitaran pusat kota, kompleks perumahan itu tampak kumuh. Air selokan di depan rumah sejajar dengan teras. Tidak mengalir. Warnanya hitam berlumut bercampur plastik-plastik kecil, seperti bungkus permen. Air menggenangi tengah-tengah jalan yang tidak rata.

Aku sempat protes kepada temanku itu. Kenapa mereka tidak gotong royong membersihkan selokan dan membuang sampah pada tempatnya? Aku tidak habis pikir bagaimana penghuni rumah membuka pintu melihat air selokan sama tingginya dengan keramik teras.

Tahun 2013 lalu, beberapa titik sentral Jakarta lumpuh karena banjir. Bundaran Hotel Indonesia berubah jadi ‘lautan’. Menurut hasil simulasi peneliti Indonesia, Abdul Muhari dan tim di International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), Tohoku University, salah satu penyebab banjir itu adalah penumpukan sampah. Tumpukan sampah itu menutup tiga dari empat pintu air di Karet.

Bagaimana banjir tidak gampang terjadi atau semakin parah jika aliran air tersumbat? Benda-benda yang dibuang sembarangan akan bersatu. Apakah di selokan, sungai, atau laut.

Padahal, bungkus chitato bisa ditaruh dulu di dalam mobil sebelum tiba di tempat tujuan dan membuangnya di bak sampah. Struk belanjaan juga bisa langsung dibuang di tong sampah supermarket. Atau kantongi dulu kalau sudah sempat jauh dari tong sampah. Puntung rokok pun bisa dipegang dulu atau taruh di bungkus rokok sebelum ketemu tempat pembuangan. Apalagi cuma bungkus permen? Kantongi saja dulu.

Kalau hanya belanja pepsodent di alfamart tak usahlah pakai plastik. Taruh saja di kantong, atau jok motor, atau laci mobil. Apalagi kalau anak kos yang jarak alfamart ke kosan cuma secuil, dipegang pun tak apa. Lebih baik lagi menyiapkan tas belanja di dalam mobil atau jok motor.

Sesederhana itu.

Kita mulai dari diri sendiri. Pemerintah memang harus menata wilayah. Mengeruk aliran sungai. Membangun waduk. Mengelola daerah aliran sungai. Memberi izin pendirian bangunan hanya bagi mereka yang memenuhi analisis dampak lingkungan.

Tapi, sembari pemerintah bekerja. Atau sembari kita menuntut pemerintah bekerja, kita mulai dari diri kita. Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan. Mudah-mudahan cerita Nenek Nurjannah Djalil tidak terulang. 

Mulailah bijak terhadap alam. Mulailah dengan tidak membuang sampah sembarangan. 

 

Tulisan ini sudah tayang di Martinrambe

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus