Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Pohon Zaitun Tertua di Dunia Ini, Jadi Saksi Perkembangan 3 Agama

Salah Abu Ali warga Palestina menjaga pohon zaitun yang usianya ribuan tahun. Pohon itu menjadi saksi sejarah tiga agama.

8 Maret 2020 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah Abu Ali pemilik pohon zaitun atau pohon Al Badawi tertua di dunia. Foto: Jason Ruffin/Atlas Obscura

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pohon Al Badawi di Desa Al Walaja adalah salah satu dari segelintir pohon zaitun di Mediterania timur yang berusia lebih dari 2.000 tahun. Mungkin sulit untuk memastikan umur pohon itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinukil dari Atlas Obscura, pada 2010, dua tim: satu dari Italia dan satu lagi dari Jepang, meneliti tanggal karbon pada pohon Al-Badawi. Usianya, ternyata jauh lebih tua pada kisaran 3.000 hingga 5.500 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terlepas dari itu, pohon itu memiliki makna agama, sejarah, dan budaya bagi penduduk desa, wisatawan mancanegara kerap mengunjungi Pohon Al Badawi, “Mereka yang tahu sejarah pohon ini, datanglah,” kata Salah Abu Ali pemilik kebun pohon zaitun, tempat pohon Al Badawi.

Pohon zaitu di desanya itu, dinamai Al Badawi menurut Ali, karena dulunya pohon itu menjadi tempat ziarah bagi para sufi. Salah satu sufi yang beristirahat di bawah pohon zaitun tua itu adalah Sheik Ahmad al-Badawi, seorang sufi Mesir.

Ia menghabiskan banyak waktunya di bawah rindangnya pohon zaitun. Pohon zaitun juga berulang kali disebutkan dalam Alkitab dan Alquran, dan cabang-cabangnya telah menjadi simbol perdamaian universal.

Namun pohon zaitun Al Walaja telah menjadi sesuatu yang lain bagi warga Desa Al Walaja. Pohon itu tak sekadar meneguhkan kebenaran ayat-ayat dalam Taurat, Injil, dan Alquran, tapi menjadi  simbol perlawanan.

Dikutip dari The Guardian, Desa Al Walaja memang merasakan langsung getirnya pendudukan Israel. Sebagian besar penduduk desa terpaksa mengungsi dari rumah mereka di tengah pertempuran sengit selama perang Arab-Israel 1948.

Warga desa mengungsi di sekitar pohon itu, dan dari ketinggian bukit di perkebunan zaitun, mereka menyaksikan tentara Israel berlatih perang di dasar bukit. Setelah Perang Arab-Israel berhenti, Desa Al Walaja telah kehilangan 70 persen wilayahnya.

 

Desa Al Walaja yang dikitari tembok pemisah yang dibangun Israel. Foto: Quique Kierszenbaum/The Guardian

Kota itu semakin terkikis setelah Israel merebut Tepi Barat selama Perang Enam Hari pada tahun 1967. Israel kemudian memperluas Kota Yerusalem, menganeksasi sekitar setengah dari wilayah desa yang tersisa.

Kala Israel membangun tembok pemisah, Desa Al Walaja kembali terancam terbagi dua. Namun warga memenangkan pertempuran di pengadilan, dan tembok pemisah pun akhirnya memutari pinggiran desa. Dinding itu sekarang berdiri tepat di bawah kebun keluarga Ali, memisahkan desa baru dari situs lama, tepat di seberang lembah sempit.

Meskipun menang di pengadilan, puluhan rumah telah dibuldoser untuk memberi jalan bagi Kota Yerusalem. Al Walaja masih terisolasi, dikelilingi oleh dinding pemisah Israel dan tidak lagi dapat mengakses lahan pertanian dan mata air.

Kini tak banyak yang dilakukan oleh Ali dan keluarganya dalam bertani. Kegiatan utamanya kini merawat pohon Al Badawi, yang berada dalam kebun keluarganya. Putra-putranya membantu, dan sering tidur di bawah pohon. Ia jadi teringat, pada masa kanak-kanak ia melakukan hal yang sama. Usai membantu ayahnya, ia tertidur di bawah pohon Al Badawi.

Otoritas Palestina sekarang membayar sejumlah kecil uang bulanan kepada Ali untuk menjaganya. Otoritas Palestina mengkhawatirkan, para pemukim dan tentara Israel membakar dan menebang pohon-pohon zaitun kuno di bagian lain Tepi Barat. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 45 persen lahan pertanian di Tepi Barat dan Jalur Gaza berisi pohon zaitun, memberikan penghasilan bagi sekitar 100.000 keluarga.

 

Kebun pohon zaitun selama ribuan tahun menjadi sumber makanan dan minyak bagi warga Palestina. Foto: Jason Ruffin/Atlas Obscura

"Orang-orang Palestina melekat pada pohon zaitun," kata Ali. “Pohon zaitun adalah bagian dari perlawanan kami dan bagian dari agama kami. Dengan pohon zaitun kami hidup, dan tanpanya kami tidak hidup. "

Pohon zaitun memiliki kemampuan untuk bertahan hidup melebihi pohon-pohon lainnya. Ia bisa hidup pada lanskap Levant – wilayah Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yordania -- yang berbatu dan terjal. Pohon ini hanya butuh sedikit air dan perawatan. Dan selama berabad-abad, orang-orang telah bergantung pada pohon zaitun untuk makanan dan minyak, bahkan sejak 

8.000 tahun yang lalu. Namun, pohon sebesar Al Badawi membutuhkan perhatian khusus dan lebih banyak air. Suasan kian sulit, karena wilayah itu curah hujan menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Lima tahun terakhir sangat sulit, kata Ali, ketika ia bangun untuk memeriksa selang yang ia gunakan untuk memompa air dari mata air yang dangkal di atas. Pernah satu tahun, pohon itu gundul dan tidak menghasilkan apa-apa.

Tahun lalu, dengan bantuan musim hujan yang sehat, Ali mampu memanen 400 kilogram, atau hampir 900 pon zaitun. “Padahal 20 tahun yang lalu, ada lebih banyak hujan dan menghasilkan 600 kilogram secara teratur,” katanya.

Suasana di Desa Al Walaja yang luasnya kian menyempit karena pendudukan Israel. Foto: Quique Kierszenbaum/The Guardian

Meskipun demikian, Ali yakin pohon itu akan terus hidup. Meskipun tanah tempat pohon zaitun itu berdiri terus diperebutkan, namun orang-orang akan terus merawat pohon zaitun sepanjang Yudaisme, Kristen, dan Islam masih ada. “Jika pohon Al Badawi tidak dirawat oleh keluarganya, tugas itu pasti akan diambil oleh yang lain,” kata Ali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus