Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koes Plus lahir dari kecintaan bermusik anak-anak pasangan Koeswoyo dan Atmini. Lahir di Tuban, Koesdjono atau John bersama saudara-saudaranya, Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, dan Nomo Koeswoyo, pindah ke Jakarta. Dari sana perjalanan Koes Plus dimulai.
Baca: Yon Koeswoyo, Musikus Legendaris Koes Plus, Meninggal
Yon Koeswoyo menjadi vokalis dan gitaris Koes Plus. Yon terkenang dengan beberapa tempat bersejarah bagi Koes Plus. Berikut cerita Yon yang pernah ditulis Majalah Tempo pada rubrik Memoar edisi 10 Mei 2010.
1. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta pada 1952, kami tinggal di Jalan Mendawai III/14, Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rumah ini adalah istana kecil yang melahirkan band Koes Bersaudara hingga berganti nama menjadi Koes Plus.
Mas John (Koesdjono) yang pertama membelikan gitar akustik untuk Mas Tonny (Koestono). Mas John kami sebut sebagai sponsor utama Koes Bersaudara dan Koes Plus. Bermodalkan gitar itu, Mas Tonny setiap hari membawakan lagu-lagu Everly Brothers, Neil Sedaka, Paul Anka, Skeeter Davis, Ricky Nelson, Pat Boone, dan Cliff Richard. Lagu-lagu mereka menjadi santapan kami setiap hari di rumah, dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi.
Musik tambahan datang dari suara radio kecil kami yang membuat saya, Mas John, dan Yok (Koesroyo) tertarik ikut genjrengan. Terbayang riuhnya kamar berukuran 3 x 4 meter itu. Di sinilah karier musik kami mulai tumbuh. Jiwa seni Mas Tonny mampu membius kami.
Kami pun membentuk Koes Bross dari kata Koes Brothers pada 1958. Band ini terdiri atas mas John pada bas betot, Mas Tonny pada gitar melodi dan keyboard, saya di vokal dan gitar rhythm, serta Yok pada vokal dan bas. Dengan moto Missa Solemnis yang, menurut Mas Tonny, artinya dari hati kiranya mendapat tempat di hati pula, kami pun mulai memenuhi panggilan hati kami. Serius bermusik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2. Kebun Raya Bogor
Saya teringat saat Bapak mengajak kami tamasya ke Kebun Raya Bogor dengan mobil sewaan. Sepanjang perjalanan Bapak bertutur mengenai kebesaran Tuhan, sang pencipta langit dan bumi. ”Coba lihat siapa yang telah menciptakan pohon-pohon ini?” Katanya.
Sadar atau tidak, kami merasa ajaran Bapak di Kebun Raya Bogor itu telah menumbuhkan kecintaan kami terhadap Tanah Air. Dan semuanya itu kami tuangkan dalam karya-karya band Koes Bersaudara hingga Koes Plus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
3. Cikini
Band ini pun tampil di keriaan atau pesta apa saja, mulai pesta pernikahan, ulang tahun, hingga sunatan. Honor menjadi urusan nomor dua. Hasilnya, kemampuan bermusik kami semakin terasah. Saya dan Yok digembleng mati-matian latihan vokal dan memetik gitar agar tak salah saat rekaman. Akhirnya lagu berjudul Terpesona dan Wenny dibawa ke perusahaan rekaman Irama, yang terletak di daerah Cikini, Jakarta Pusat, sekitar 1961.
Lagu-lagu pertama yang direkam adalah Pagi yang Indah, Bis Sekolah, Senja, Telaga Sunyi, Kuduslah Cintamu, dan beberapa lagu lain. Saat itu tegang sekali. Saya dan Yok nyanyi dalam satu mikrofon. Karena alat rekaman yang masih sederhana, kami tak boleh sekali pun melakukan kesalahan, baik vokal maupun musik. Jika salah, kami mengulang dari awal.
Rekaman berlanjut hingga 12 lagu terekam dalam piringan long play. Beberapa lagu itu di antaranya Dara Manisku, Jangan Bersedih, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi yang Indah, Telaga Sunyi, Angin Laut, dan Senja. Gambar saya dan Yok bertolak belakang sambil memegang gitar menghiasi sampul piringan hitam. Di sampul belakang tertulis nama Mas John pada gitar bas dan Mas Tonny pada gitar melodi serta Mas Nomo pada drum.
Seiring dengan munculnya rekaman pada 1963, kami sepakat mengganti nama Koes Bross menjadi Koes Bersaudara. Koes Bersaudara semakin solid dengan empat personel: Tonny, Nomo (Koesnomo), saya, dan Yok. Berempat kami show dari daerah ke daerah mengumpulkan uang untuk melengkapi alat musik kami.
4. Penjara Glodok
Pertengahan 1965, tanpa disangka kami berempat diciduk oleh aparat keamanan dan ditahan di Kejaksaan Tinggi di Jalan Gadjah Mada, Jakarta. Kami diinterogasi selama tiga hari hingga dipindahkan ke penjara Glodok.
Dari seorang aparat keamanan kami tahu, rupanya kami dituduh tak mengindahkan Instruksi Presiden Soekarno. Indonesia tengah menggelorakan semangat anti-Barat dan membanggakan kepribadian Indonesia. Saat itu kami memang menggandrungi musik The Beatles dan Rolling Stones dan sering menyelipkan lagu mereka saat pentas. Kami ditangkap saat tampil di rumah seorang kolonel yang dihadiri oleh salah seorang diplomat dari Kedutaan Amerika Serikat.
"Hidup Koes Bersaudara!" teriakan itu menyambut kami saat menginjak sel. Saya pun menyadari para penghuni sel itu mengenal kami. Selama tiga bulan kami berempat merasakan tidur berimpitan dan beralaskan tikar dengan tiga tahanan lainnya.
Beberapa lagu tercipta selama kami di bui. Misalnya Balada Kamar Lima Belas, To the So Called the Guilties, Jadikan Aku Dombamu, dan Di Dalam Bui. Semua lagu itu mencerminkan kepasrahan kepada Tuhan pada masa-masa sulit di dalam penjara. Lagu-lagu ungkapan hati selama di dalam bui ternyata meledak di pasar melalui perusahaan rekaman Dimita Moulding Company dengan label Mesra.
Dua album yang berisi 20 lagu ciptaan Mas Tonny, di antaranya Balada Kamar 15, Jadikan Aku Dombamu, Mengapa Hari Telah Gelap, Lonceng yang Kecil, Di Dalam Bui, To the So Called the Guilties, dan satu lagu ciptaan saya berjudul Rasa Hatiku, berhasil menembus pasar meski pengaruh musik The Beatles masih kentara. 29 September 1965, kami dibebaskan dari penjara.
Setelah Juni 1967, permintaan pentas mengalir deras. Hingga kami berhasil mengumpulkan uang untuk membeli rumah yang lebih besar di Jalan Pawan 2 di Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
5. Gelanggang Olahraga Bogor dan Istora Senayan
Tahun 1970-an menjadi tahunnya Koes Plus. Hampir semua kota sudah kami singgahi. Dalam setiap konser, pasti penonton membeludak. Kejadian yang tidak terlupakan ketika show di Gelanggang Olahraga Bogor pada 1974. Gelanggang itu hancur lebur karena banyaknya penonton dan akibat ulah nakal penjual tiket gelap.
Peristiwa serupa terjadi di Istora Senayan. Jeruji besi dibobol penonton. Yang paling tragis sewaktu di Taman Ria Senayan, ada tiga penonton yang meninggal. Kami pun sempat dicekal agar vakum sementara dari kegiatan manggung.
6. Sampit
Malam itu, 10 April 2010, untuk pertama kalinya kami pentas di Sampit. Kota kecil ini mesti kami tempuh empat jam perjalanan darat dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Penat yang menumpuk seketika sirna ketika kami bertemu dengan ibu-ibu dan penggemar setia Koes Plus di tempat yang tak pernah terpikir akan kami sambangi ini. Bersama tiga anak muda, Danang (gitar melodi dan keyboard), Soni (bas), dan Seno (drum), saya unjuk gigi di panggung yang sederhana.
Tak terasa, selama dua jam tanpa henti dua puluh lima lagu sudah kami dendangkan. Semangat saya untuk terus berkarya dan berkiprah di dunia musik tak berkurang meski tampil dengan Koes Plus formasi baru. Saya memang telah bertekad terus bermusik hingga tetes darah penghabisan. Seperti kata (almarhum) Mas Tonny yang selalu berujar, hidup dan matiku untuk musik.
Meski satu per satu personel Koes Plus pergi, saya memilih terus melanjutkan grup band ini hingga akhir hayat. Selepas Yok dan Murry mengundurkan diri, silih berganti orang menemani saya tampil di atas panggung. Meski saya dikelilingi anak-anak muda dari generasi berbeda, saya tetap menemukan jiwa Koes Plus pada mereka. Beberapa orang mengatakan mereka itu jelmaan dari Koes Plus sesungguhnya.
Lihat saja Danang dengan pembawaannya yang mirip sekali dengan Mas Tonny, baik dari sosok maupun penampilannya di panggung. Soni bak duplikat Yok. Saat menyaksikan wajah dan gayanya di panggung, banyak orang mengira Soni itu anak Yok. Seno pun tak kalah gesit dan energetik saat menggebuk drum. Sama seperti Murry semasa muda.
Pengamat musik Denny Sakrie yang menulis tentang grup yang digawangi John Koeswoyo, Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, dan Nomo Koeswoyo ini mengatakan karisma kelompok ini memang tak lekang oleh zaman. Meski berkali-kali ganti pemain, Koes Plus, yang diawali oleh Koes Bersaudara, tetap menjadi fenomena tersendiri di Tanah Air. Sebutan The Beatles-nya Indonesia sangat tepat untuk band ini.