Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Tidur Berdiri Pemandangan Biasa di Commuter Line

Sesungguhnya, tidur berdiri sambil tangan bergelantungan di commuter line, sudah biasa saya lihat.

4 Februari 2019 | 10.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penumpang menaiki KRL Commuter Line tujuan Jakarta di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta, 12 Juni 2018. Belum terjadi penurunan jumlah penumpang yang membuat KRL Commuter Line lengang. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aku dan beberapa orang menatap seorang ibu yang berdiri menggantung, tengah tidur di dalam gerbong commuter line. Tangan kanannya kokoh memegang gantungan. Tangan kirinya memeluk tas. Seorang mbak-mbak menyentuh sekitar lututnya. “Bu, Ibu!” katanya. Beberapa orang mendengar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itu kali ke 68 aku naik kereta. Hari Jumat di bulan Agustus. Hari di mana lelah seminggu bersatu mencapai puncak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di hari Jumat, aku punya pola tingkah yang berbeda sebagai anak kereta. Pulang kantor tak perlu buru-buru. Kalau biasa jam enam sore sudah cus dari kantor, di hari Jumat aku beranjak jam tujuh atau delapan.

Orang-orang pinggiran kota, seperti dari Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok yang indekos di Jakarta–yang tidak sanggup pulang pergi setiap hari–akan pulang di hari Jumat. Mereka ini membuat kereta sesak mulai jam enam sore hingga sepuluh malam. Selain hari Jumat, biasanya di atas jam sembilan penumpang kereta sudah mulai renggang meski tetap ramai.

Sehingga di hari Jumat aku lebih memasrahkan diri. Tak perlu buru-buru. Yang penting dapat ruang di gerbong. Cukup.

Malam itu, dari Stasiun Manggarai ke Bekasi aku kebagian ruang di gerbong lima. Jam 21.35.

Aku menempel di antara tubuh-tubuh yang lebih besar. Menghadap ke dinding kereta sebelah kiri dari arah laju kereta. Di depanku ada orang berdiri kokoh menggantungkan tangan. Di depan orang itu kursi panjang diduduki lima perempuan dan tiga laki-laki.

Di sini terasa nikmat berbadan tak setinggi orang lain. Aku berdiri memeluk tas ransel. Santai. Menutup mata. Tak mungkin aku jatuh meski kereta mengerem mendadak. Sesekali kubuka mata. Mengawas situasi atau kalau kereta berhenti di stasiun-stasiun pemberhentian.

Lalu terdengar pangumuman. “Sesaat lagi kereta Anda akan tiba di stasiun Klender Baru.” Orang di depanku grasak grusuk. Dia sedang mencari celah bergerak ke arah pintu. Dia akan turun di stasiun Klender Baru. Aku bergerak berusaha melonggarkan ruang.

Tepat di depanku sebelah kanan, berjarak dua orang, seorang mbak-mbak juga sedang berusaha beranjak dari tempat duduknya. Tampak dia juga akan turun.

Di hadapannya seorang ibu berdiri. Memegang gantungan tangan dengan kokoh. Tangan kirinya memeluk tas.

Si Mbak coba memberi kode ke orang-orang yang berdiri di depannya. Tapi tak ada yang tanggap. Ia pun terlihat enggan menyentuh.

Kereta semakin melambat. Si Mbak makin tak sabar. Takut tak sempat turun jika kereta berhenti. Karena rata-rata pemberhentian di stasiun kecil tak lebih dari setengah menit.

Kali ini ia memberanikan diri. Ia coba menyentuh si ibu di depannya. “Bu, Ibu,” katanya sambil menyentuh sekitar lutut si Ibu. Beberapa orang mendengarnya. Termasuk aku. Mataku dan beberapa orang lain menatap si ibu.

Dalam situasi tidur berdiri. Orang di samping si ibu membantu membangunkannya. Sesungguhnya, tidur berdiri sambil tangan bergelantungan di commuter line, sudah biasa saya lihat. 

 

Tulisan ini sudah tayang di Martinrambe

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus