Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Bibit Samad Rianto tampak lesu. Sore Jumat pekan lalu ia mampir ke ruang kerja koleganya, Chandra M. Hamzah, untuk pamit meninggalkan kantor. Setengah tergesa-gesa, pensiunan polisi itu menyorongkan tangannya ke arah Chandra. ”Saya mau istirahat dulu,” ujarnya. Suaranya terdengar parau.
Kendati menyambut uluran tangan Bibit, Chandra meminta pria 65 tahun itu tidak pergi dulu. ”Ada yang penting dibicarakan,” ujar Chandra. Bibit langsung menukas. ”Soal putusan itu kan sudah dibahas panjang-lebar semalam,” ujarnya. Kendati demikian, Bibit memenuhi keinginan Chandra. Keduanya kemudian terlibat pembicaraan serius membahas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diketuk Kamis pekan lalu.
Putusan itu memang menyangkut nasib kedua pemimpin KPK itu. Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Muchtar Ritonga dan beranggotakan I Putu Widnya serta Nasaruddin Tappo menolak banding yang diajukan kejaksaan. Upaya banding yang didaftarkan pada 12 Mei silam ini terkait dengan gugatan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo atas terbitnya surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) Bibit dan Chandra.
Menurut juru bicara Pengadilan Tinggi, Andi Samsan Nganro, putusan lembaganya itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Medio April lalu pengadilan menyatakan surat ketetapan yang dikeluarkan kejaksaan pada 1 Desember tersebut tidak sah. Dengan putusan ini, ujar Andi, perkara Bibit-Chandra yang menyangkut tuduhan penyalahgunaan wewenang dan melakukan tindak pemerasan harus dibawa ke pengadilan. ”Keputusan hakim bulat,” kata Andi.
Pengadilan memang mematahkan memori banding yang diajukan kejaksaan. Soal kedudukan hukum Anggodo, misalnya. Sebelumnya, jaksa tetap menilai Anggodo bukan pihak yang berkepentingan. Dalam kacamata jaksa, justru mestinya yang berhak bekas Ketua KPK Antasari Azhar, sebagai pelapor, dan Anggoro Widjojo, kakak Anggodo, sebagai korban.
Majelis hakim tak sependapat. Menurut Andi, hakim menilai posisi Anggodo sebagai terdakwa kasus tuduhan penyuapan menjadi penguat posisinya sebagai korban kasus pemerasan untuk Bibit dan Chandra. ”Dua kasus itu ada benang merahnya.” Komisi Pemberantasan sendiri, kata Andi, melakukan blunder menuduh Anggodo melakukan penyuapan. Alasan ini yang menjadi satu-satunya pertimbangan majelis untuk menilai Anggodo memang berhak mengajukan praperadilan SKPP Bibit-Chandra.
Adapun untuk konstruksi hukumnya, argumen kejaksaan dianggap mengada-ada. Majelis menilai alasan sosiologis yang dinyatakan kejaksaan sebagai dalih menghentikan perkara ini tidak tepat. Hakim menyimpulkan, tidak ada kekosongan hukum seperti yang disebut kejaksaan, sehingga perlu dikeluarkan SKPP untuk Bibit dan Chandra. ”Ketentuan hukum acaranya sudah jelas, tapi kejaksaan malah membelokkannya,” ujar Andi.
Penghentian perkara itu, kata Andi, mudah dipatahkan karena terjadi pada perkara yang sudah dinyatakan lengkap. Menurut Andi, jika alasannya mempertimbangkan suasana batin saat itu—seperti yang dinyatakan kejaksaan—semestinya opsi yang dipakai kejaksaan adalah deponering atau pengesampingan perkara. ”Kenapa opsi itu yang tidak dipakai?” kata Andi.
Celah upaya hukum memang sudah tertutup dengan putusan pengadilan tinggi itu. Menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan ini memang tak bisa ”naik” lagi ke tingkat lebih atas, kasasi. ”Yang bisa dilakukan sekarang tinggal deponering, saya tidak melihat ada upaya lain,” kata Todung Mulya Lubis, pengacara senior yang juga bekas anggota tim delapan, tim khusus yang dibentuk Presiden untuk memverifikasi kasus Bibit-Chandra lima bulan silam itu.
Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa juga memiliki pendapat sama. Menurut dia, putusan banding untuk praperadilan merupakan putusan final dan mengikat. Kalau saat ini alasan sosiologisnya masih bisa digunakan, ujar Harifin, satu-satunya jalan untuk menghentikan perkara Bibit-Chandra deponering. ”Itu juga tidak bertentangan dengan putusan pengadilan tinggi,” katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menunggu langkah kejaksaan. Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, lembaganya hanya bisa bersikap demikian karena bukan pihak terkait perkara. KPK, ujarnya, siap menghadapi hal terburuk jika, misalnya, Presiden menonaktifkan Bibit dan Chandra atau kasusnya masuk pengadilan. ”Walau jumlah pimpinan tinggal dua, KPK harus tetap jalan.”
Soal berkurangnya jumlah pemimpin KPK inilah yang dicemaskan para aktivis antikorupsi. Mereka waswas, jika pemimpin KPK tinggal dua, ”komposisi” itu rawan dipersoalkan. Ini pernah terjadi ketika Bibit dan Chandra ditahan polisi pada akhir Oktober silam. Dengan alasan tidak efektif, Presiden kemudian membentuk ”tim lima” untuk mencari tiga pelaksana tugas pemimpin KPK. ”Diadilinya dua pemimpin jelas bisa melemahkan institusi,” kata Todung. Indonesia Corruption Watch juga mengkhawatirkan hal yang sama.
Kepada Tempo, Chandra Hamzah mengaku siap menghadapi semua kemungkinan terburuk. ”Karena kami tidak punya pilihan, yang punya institusi lain,” kata dia. Adapun Bibit menyatakan akan mengikuti perkembangan yang ada. ”Ya, harap-harap cemas,” ujarnya. Yang gembira tentu saja Bonaran Situmeang, pengacara Anggodo. Bagi Bonaran, putusan pengadilan itu artinya Bibit dan Chandra harus diadili. ”Perintah hakim, kasus diteruskan, bukan di-deponering,” katanya.
Kendati banyak yang menyarankan opsi deponering sebaiknya diambil kejaksaan untuk perkara ini, sampai kini kejaksaan belum menentukan sikap. Kepada wartawan Tempo, Renny Fitria, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Mohammad Amari menyatakan masih ada opsi lain di luar deponering. ”Bisa kasasi,” ujarnya. Pilihan ini, kata Amari, bisa ditempuh karena ada yurisprudensi kasus Newmont. Saat itu, pada 2004, Mahkamah menerima kasasi yang diajukan Markas Besar Kepolisian sehubungan dengan gugatan praperadilan yang diajukan Direktur Newmont Richard Ness. ”Deponering itu lama, karena harus dengan persetujuan eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” kata Amari.
Kepada Tempo, seorang hakim pengadilan tinggi berbisik. Jika pilihannya jatuh pada kasasi, kejaksaan akan membuat kesalahan kedua kalinya. ”Pilihan itu rawan dipersoalkan karena tak ada dalam hukum acara,” ujarnya.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo