Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABRAHAM Samad terkesiap mendengar pertanyaan yang tidak dia duga. Sesaat, kandidat pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi itu terdiam. "Ya, saya membacanya," Abraham menjawab singkat saat dicecar di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu. Tapi sang penguji, Benny K. Harman, tidak puas. Ketua Komisi Hukum itu mengulangi pertanyaannya. "Apakah Saudara meneliti semua berkas ketika mengisinya?" Kali ini, jawaban Abraham lebih panjang. "Saya membaca, meneliti, dan memastikan laporan saya benar."
Benny lantas meminta Abraham maju ke meja pemimpin sidang. Politikus Partai Demokrat itu menunjukkan kejanggalan pada surat kuasa bagi pemimpin KPK untuk mengumumkan harta Abraham. Yang tertera bukan nama pemimpin KPK saat ini, melainkan pemimpin KPK periode sebelumnya. Kegaduhan pun merebak. Para anggota Komisi Hukum langsung berebut untuk interupsi. Anggota Fraksi Gerindra, Desmon J. Mahesa, segera meminta acara itu diskors. Pendapat itu disetujui rekan-rekannya sesama anggota Komisi Hukum.
Kekisruhan itu ternyata masih berlanjut esok harinya. Kali ini Komisi Hukum menolak kehadiran Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin. Ternyata yang diinginkan DPR adalah mantan Menteri Hukum Patrialis Akbar, yang juga Ketua Panitia Seleksi Pemimpin KPK. Awalnya, Patrialis dipanggil hanya untuk menjelaskan kesalahan berkas calon pemimpin KPK. Tapi agenda tambahan segera menempel. Para politikus mengungkit-ungkit keputusan Panitia Seleksi pada Agustus lalu. "Kami ingin tahu mengapa Panitia Seleksi membuat ranking calon," kata Benny.
Sebelumnya, Panitia Seleksi memang mengurutkan calon berdasarkan nilainya. Mereka adalah Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, Handoyo Sudrajat, Abraham Samad, Zulkarnaen, Adnan Pandu Praja, dan Aryanto Sutadi.
Ketika Patrialis datang Rabu pekan lalu, kegarangan politikus tak muncul lagi. Apalagi setelah anggota Panitia Seleksi, Imam Prasodjo, menjelaskan perihal berkas laporan kekayaan yang sebelumnya dipermasalahkan Dewan. Menurut Imam, kekeliruan berkas laporan itu terjadi tidak sengaja. "Itu bisa diperbaiki," ujarnya.
Rapat Komisi Hukum DPR dengan Panitia Seleksi memang lantas berakhir cair. Tapi ada yang lain. Fraksi-fraksi di DPR, kecuali Demokrat, berkukuh menolak memilih calon berdasarkan peringkat yang disodorkan Panitia Seleksi. Nah, jika peringkat diabaikan, posisi calon di urutan empat besar bakal tak aman lagi. Tak ada jaminan bagi mereka melenggang ke gedung KPK. Sebaliknya, peluang calon di papan bawah kembali terbuka.
Tampaknya itulah yang membuat sejumlah calon kini getol melakukan lobi ke DPR. Kepada Tempo, misalnya, seorang calon yang masuk "empat besar" berterus terang mengaku telah mendekati sejumlah pemimpin partai, pemimpin fraksi, hingga tokoh partai yang sudah lengser. "Semua saya hampiri, kecuali yang pakai argo," katanya. Argo yang ia maksudkan tak lain duit.
Untuk menembus Partai Golkar, misalnya, si calon mengaku menggunakan jaringan Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. Tapi orang di sekitar tiga tokoh itu menyarankan, lebih baik mendekati Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto. "Di lapangan, dia sangat menentukan," ujar si calon menunjuk Setya. Saat mencoba merengkuh dukungan Fraksi PDI Perjuangan, ia mengaku sudah mendekati dua figur sentral partai tersebut: Megawati Soekarnoputri dan Taufiq Kiemas. Hasilnya? "Sampai sekarang belum ada sinyal positif," katanya.
Perihal pemimpin KPK, sejak awal Fraksi PDI Perjuangan mendukung kandidat yang berlatar belakang polisi dan jaksa. Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, unsur polisi dan jaksa diperlukan untuk memperkuat fungsi pencegahan KPK. Selama ini, kata Eva, KPK lebih berat ke arah penindakan. Padahal, ujarnya, pemberantasan korupsi tak cukup hanya dengan menangkapi koruptor. "Perbaikan di hulu, pada sistemnya, itu sangat penting," ujar Eva.
Kendati jeblok di peringkat Panitia Seleksi, di DPR ranking calon asal kejaksaan, Zulkarnaen, dan kepolisian, Aryanto Sutadi, memang naik. Menurut sumber Tempo, kini hampir semua fraksi menghendaki pemimpin KPK ada unsur polisi atau jaksa. Eva mengakui soal ini. Tapi, ujarnya, lantaran latar belakang polisi dan jaksa sampai kini masih jadi kontroversi, sejumlah partai memilih berdiam diri. "Mereka menumpang agenda kami," ujar Eva.
Sumber Tempo lain bercerita, kendati mayoritas fraksi setuju unsur polisi masuk, tak otomatis yang bakal mereka pilih Aryanto Sutadi. Penyebabnya, banyak laporan minor mengenai Aryanto yang masuk ke Dewan. Itu, antara lain, menyangkut kekayaannya, kebiasaannya menerima hadiah, dan dugaan keterlibatannya dalam sebuah kasus sengketa tanah.
Dari sinilah, ujar sumber itu, angin dukungan lantas bertiup ke ranking ketujuh, Adnan Pandu Praja, yang pernah menjadi anggota Komisi Kepolisian Nasional. Kepada majalah ini, seorang tokoh PDI Perjuangan mengaku suara mereka bisa jadi kelak diarahkan ke Adnan. "Dia bisa menjadi titik kompromi," ujar seorang sumber.
Di luar polisi dan jaksa, nama yang berkibar adalah Bambang Widjojanto. Sejumlah politikus dari tiga fraksi kakap, Golkar, Demokrat, dan PDI Perjuangan, menyebut advokat senior itu berpeluang besar memimpin KPK. Bambang menjadi favorit bukan hanya karena dia menempati peringkat tertinggi dalam daftar versi Panitia Seleksi, tapi juga lantaran harapan Bambang kelak bisa menuntaskan kasus Bank Century.
Adapun untuk calon ranking kedua, Yunus Husein, sejauh ini yang terlihat mendukung baru Fraksi Demokrat. Anggota Komisi Hukum dari Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan fraksinya terpikat kepiawaian bekas Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tersebut melacak dan menganalisis kasus pidana pencucian uang. "Kompetensi dia mumpuni, dan itu sangat diperlukan di KPK," ujar Didi.
Ini berbeda dengan pendapat Fraksi Golkar dan Fraksi PDI Perjuangan. "Kami tidak bahagia bila dia sampai lolos," kata seorang politikus PDI Perjuangan. Keberatan kedua fraksi itu berpangkal pada kegagalan Panitia Angket DPR membongkar aspek pidana kebijakan penyelamatan Bank Century. Sejumlah pentolan Panitia Angket yang kini duduk di Komisi Hukum menunjuk Yunus tak serius melacak aliran dana penyelamatan Century. Di luar itu, menurut sumber Tempo lainnya, Golkar dan PDI Perjuangan kecewa dengan sepak terjang Yunus selama menjadi anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Bagi mereka, Yunus terlalu dekat dengan lingkaran Istana.
Yunus sudah menyiapkan jawaban jika ia "ditembak" dengan kasus Century. Dia menyatakan telah memaparkan semua transaksi di atas Rp 2 miliar kepada Panitia Angket. Transaksi yang lebih kecil pun dilampirkan dalam laporan. Ihwal kedekatan dengan Istana, kata Yunus, itu terjadi karena posisi PPATK dan Satuan Tugas Mafia Hukum berada langsung di bawah Presiden. "Apa yang salah bila saya menjaga komunikasi?" katanya.
Menduduki urutan ketiga di daftar Panitia Seleksi, nama Abdullah Hehamahua makin jarang terdengar. Sesekali, nama penasihat KPK ini disebut Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Tapi dukungan dari partai lain, termasuk partai Islam, makin lemah. "Sejak awal, kami tidak mengusung Abdullah," kata sumber di Partai Keadilan Sejahtera.
Dukungan bagi calon peringkat keempat, Handoyo Sudrajat, juga bisa disebut "nyaris tak terdengar". Bekal pengalamannya sebagai Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK seperti tak bergema di Senayan. Tapi sumber-sumber di Komisi Hukum menyebutkan, nama Handoyo bisa saja melejit di tikungan akhir bila lobi Demokrat memuluskan jalan Yunus Husein buntu.
Popularitas Handoyo malah tersalip calon peringkat kelima, Abraham Samad. Golkar dan PDI Perjuangan memasukkan Abraham dalam "paket sementara" empat calon pemimpin KPK. Abraham dianggap mewakili unsur calon luar Jakarta dan Indonesia timur. Lewat sisa-sisa jaringan Jusuf Kalla di Golkar, aktivis antikorupsi Makassar pun gencar mempromosikan Abraham.
Di PDI Perjuangan, pintu bagi Abraham pelan-pelan terbuka. Awalnya, sebagian politikus keberatan dengan rekam jejak Abraham yang kerap membela aktivis Islam garis keras. "Dia terlalu kanan," ujar seorang politikus. Tapi, belakangan, lewat Puan Maharani, demikian kata sumber Tempo, Abraham diterima PDI Perjuangan. Itu lantaran diketahui bapaknya adalah politikus Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia yang ikut meneken deklarasi penggabungan lima partai menjadi Partai Demokrasi Indonesia pada 1973.
Memang semuanya masih bisa bergeser dan berputar hingga detik-detik akhir pemilihan yang akan dimulai pekan ini. Menurut seorang anggota Komisi Hukum, semua tergantung lobi yang terus berjalan. Yang pasti, jika lobi antarfraksi partai besar gagal, suara fraksi menengah dan kecil akan muncul sebagai penentu. Di luar itu, yang juga bisa mengubah semuanya adalah jika ada yang bermain duit. "Kalau ini terjadi, skenario awal bisa langsung buyar semua," kata anggota Dewan ini lagi.
Jajang Jamaludin, Setri Yasra, Febriyan, Mahardika S. Hadi
Delapan Menunggu Senayan
Delapan nama calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi tengah bersaing di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Inilah peringkat mereka versi Panitia Seleksi, yang bisa jadi sangat berbeda dengan pilihan Dewan.
Peringkat 1
Bambang Widjojanto
(51 tahun)
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Pernah melawan putusan Mahkamah Agung dan menghambat eksekusi aset Universitas Trisakti dengan alasan itu aset negara.
Peringkat 2
Yunus Husein (54 tahun)
Kekayaan (2011):
Rp 679 juta dan US$ 34.796
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Sebagai anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dianggap terlalu dekat dengan Istana dan dikhawatirkan independensinya.
Peringkat 3
Abdullah Hehamahua
(62 tahun)
Kekayaan (2009):
Rp 460 juta
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Pernah tiga kali dipenjara tanpa proses hukum pada era 1970-an.
Peringkat 4
Handoyo Sudrajat
(55 tahun)
Kekayaan (2010):
Rp 360 juta
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Tidak menindaklanjuti sejumlah laporan kasus ke KPK, seperti kasus ijazah palsu dan pungutan liar di penjara.
Peringkat 5
Abraham Samad
(44 tahun)
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Pernah membela kelompok Islam garis keras di Makassar.
Peringkat 6
Zulkarnaen (60 tahun)
Kekayaan (2009):
Rp 1,55 miliar
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Berperan dalam penghentian penyidikan kasus lumpur Lapindo, Sidoarjo, saat menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Zulkarnain dua kali mengembalikan berkas Lapindo ke polisi.
Peringkat 7
Adnan Pandu Praja
(51 tahun)
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Kerap menggunakan dana studi banding ke luar negeri saat aktif di Police Watch UI, tapi tidak melaporkan hasilnya.
Peringkat 8
Aryanto Sutadi
(60 tahun)
Kekayaan (2011):
Rp 4,44 miliar
Aktivitas:
Catatan Panitia Seleksi:
Terlacak tidak melaporkan semua kekayaannya kepada KPK. Misalnya, satu rekening atas nama sendiri dan tujuh rekening atas nama istri dengan total saldo sekitar Rp 4 miliar dan US$ 852.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo