Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi masih muda. Jalan-jalan utama di Ibu Kota masih lengang. Tapi, Ahad pekan lalu itu, keramaian terlihat di sekitar halte di Jalan M.I. Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat. Menjelang pukul 08.00, lebih dari 200 orang sudah berkumpul di dekat Kantor Kementerian Perdagangan di jalan itu. Puluhan rangkaian dan ikatan bunga terlihat berjejer di belakang halte. Spanduk ucapan dukacita pun dibentangkan.
Diawali pidato singkat koordinator massa, acara puncak dimulai. Hadirin larut dalam lantunan tahlil dan zikir. Setengah jam kemudian, acara doa bersama itu berakhir dengan tabur bunga. "Saya ke sini karena bersimpati atas korban tabrakan pekan lalu," kata Steven William, pemain sinetron muda yang turut menaburkan bunga. Seperti Steven, selain keluarga dan tetangga para korban, penduduk yang melintas bergabung dalam aksi Minggu pagi tersebut.
Tujuh hari sebelumnya, kecelakaan maut terjadi di lokasi ini. Saat itu, sebuah mobil Daihatsu Xenia hitam melaju dengan kecepatan tinggi dari arah Stasiun Gambir menuju Tugu Tani. Mendekati halte, mobil terbanting ke kiri, lalu menerabas trotoar. Brak…. Mobil berguling dua kali, lalu menghantam dan melindas belasan pejalan kaki.
Tertahan pagar dan halte, mobil yang dikemudikan Afriyani Susanti, 29 tahun, itu kemudian terhenti. Tubuh berlumuran darah berserakan. Delapan orang meninggal di tempat, termasuk bocah lelaki berumur dua setengah tahun. Satu lagi meninggal setelah dibawa ke rumah sakit.
Perjalanan nahas itu bermula Sabtu malam, 21 Januari lalu. Afriyani memulai malam panjang dengan nongkrong di sebuah kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Produser film ini pergi ke Kemang dengan meminjam mobil bernomor B-2479-XI dari kawannya, Angie.
Dari Kemang, Afriyani bertolak ke Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Dia tiba di hotel itu sekitar pukul 21.45, untuk menghadiri pesta pernikahan. Dari hotel, Afriyani melanjutkan perjalanan ke kafe Upstairs, Cikini, Jakarta Pusat. Di kafe ini, dia biasa melepas penat bersama teman-temannya, sesama alumnus Institut Kesenian Jakarta.
Dari Upstairs, sekitar pukul 02.00, Afriyani menuju Stadium, pusat hiburan malam di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Di sinilah Afriyani bertemu dengan tiga temannya: Denny Mulyana, 30 tahun, Ari Sendi (34), dan Adisti Putri Grani (26). Di Stadium, menurut polisi, Afriyani dan kawan-kawannya menenggak tiga botol bir, tiga botol wiski, dan dua butir ekstasi. Afriyani dan ketiga kawannya baru keluar Ahad pagi, ketika hari terang-benderang.
Sewaktu hendak pulang, Afriyani, yang tinggal di Tanjung Priok, menawarkan diri mengantar ketiga temannya. Saat itu, menurut polisi, ketiga teman Afriyani mengingatkan dia agar tidak mengemudi dalam kondisi mabuk. Mereka pun mengajak Afriyani menumpang taksi. "Tapi Afriyani menolak. Dia bilang masih bisa menyetir," kata Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Dwi Sigit.
Lalu petaka itu pun terjadi. Sekitar pukul 11.15, mobil yang mereka tumpangi menghajar trotoar di sekitar Tugu Tani. Seketika, jerit dan tangis korban berbaur dengan teriakan orang yang berlarian untuk menolong. Di tengah kepanikan itu, Afriyani menyeruak dari balik pintu di samping kemudi. "Kenapa bisa begitu, Bu?" tanya seorang penolong korban berteriak. Afriyani malah menjawab dengan omelan tidak jelas. Kepada polisi, Afriyani mengaku tertidur beberapa detik sebelum mobilnya menghajar trotoar. Dia tidak tahu persis urutan kejadian pada detik-detik nahas tersebut. "Ketika dia bangun, banyak orang bergelimpangan," kata pengacara Afriyani, Efrizal.
Polisi segera membawanya ke kantor polisi. Kemarahan keluarga korban dan masyarakat meledak keesokan harinya, ketika polisi mengumumkan Afriyani mengemudi di bawah pengaruh alkohol dan obat terlarang.
SABAN HARI, selama dua pekan terakhir, tiga tim penyidik bergiliran memeriksa Afriyani dan ketiga kawannya. Mereka berasal dari Direktorat Reserse Narkotik dan Obat Terlarang, Direktorat Lalu Lintas, dan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Penyidik Direktorat Narkoba sudah tiga kali menguji urine dan darah Afriyani di laboratorium. Pada tes pertama, ada tiga unsur narkotik yang diuji, yakni amfetamin, morfin, dan kanabis. Namun tes yang dilakukan tiga jam setelah kecelakaan itu hasilnya negatif.
Kurang yakin, setengah jam kemudian polisi menguji urine yang sama dengan menambahkan unsur metamfetamin. Kali ini, urine Afriyani positif. Urine ketiga teman Afriyani pun positif mengandung metamfetamin.
Berdasarkan pengujian di laboratorium itu, polisi menjerat Afriyani dan kawan-kawan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Mereka dibidik pasal 112 dan 127, tentang penyalahgunaan narkoba, yang ancaman hukuman terberatnya empat tahun penjara.
Dari lapangan, polisi menemukan indikasi kecelakaan terjadi karena faktor tunggal, yakni perilaku pengemudi. Soalnya, sewaktu mobil kehilangan kendali, lalu lintas di Jalan Ridwan Rais terbilang sepi. Sistem rem, roda, dan kemudi mobil pun masih berfungsi. Polisi pun tak menemukan bekas-bekas roda mobil direm mendadak. Berdasarkan rekaman CCTV, Afriyani memacu kendaraan sekitar 80 kilometer per jam.
Semua petunjuk itu meyakinkan polisi untuk menjerat Afriyani dengan Pasal 310 ayat 4 dan Pasal 311 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua pasal ini mengatur kelalaian dan kesengajaan dalam berkendaraan yang menyebabkan kematian. Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara.
Belakangan, polisi membocorkan rencana menjerat Afriyani dengan pasal yang lebih berat. Polisi akan memakai Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan disengaja. Ancaman hukumannya cukup berat, maksimal 15 tahun penjara. Hanya, polisi masih perlu memiliki bukti permulaan unsur kesengajaan ini.
Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda sudah turun tangan untuk mencari bukti tersebut. Tim berusaha mencari hubungan sebab-akibat perbuatan Afriyani mengkonsumsi narkoba dengan kesadaran dan konsentrasi dia saat mengemudi.
Jajang Jamaludin, Ananda Badudu, Ananda Putri, Cornila Desyana
Menjerat Afriyani dengan Dolus Eventualis
AHAD, 6 Maret 1994. Jarum jam menunjuk angka 10.30. Bus metromini rute Semper-Senen melaju kencang di Jalan Laksamana M. Yos Sudarso, Jakarta Utara. Dalam bahasa Batak, sang kernet bus berteriak, "Jangan kencang-kencang, Pir. Banyak anak kecil!"
Tapi si sopir, Ramses Silitonga, terus menggeber bus berpenumpang 46 orang itu dengan kecepatan di atas 80 kilometer per jam. Tiba-tiba sopir "menggoyang" kendaraan ke kanan, menghindari lubang. Lalu mendadak pula ia membanting setir ke kiri. Tapi upaya meluruskan arah setir gagal. Bus melaju tak terkendali, menerjang jalur hijau, melompati parit, lalu mencebur ke sungai Sunter, yang dalamnya sekitar empat meter. Sebanyak 33 penumpang tewas. Ramses kabur. Dia tertangkap enam bulan kemudian di Labuhan Batu, Sumatera Utara.
Polisi dan jaksa menjerat Ramses dengan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan di-sengaja. Hakim pun memvonis dia bersalah dan menghukumnya 15 tahun penjara. Menurut hakim, karena menaikkan penumpang melebih daya tampung, membawa mobil ugal-ugalan, dan mengabaikan peringatan, Ramses sama dengan sengaja membunuh penumpangnya.
Di tingkat banding, Ramses kalah. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung juga mengukuhkan putusan dua pengadilan di bawahnya. Itulah untuk pertama kalinya pasal pembunuhan disengaja dipakai untuk menghukum kasus kecelakaan maut di jalanan.
Kini Kepolisian Daerah Metro Jaya menjadikan putusan Mahkamah Agung itu sebagai rujukan dalam mengusut kecelakaan Xenia yang merenggut sembilan nyawa, 22 Januari lalu. Polisi berencana memakai Pasal 338 KUHP—bersama pasal lain—untuk menjerat sang pengemudi: Afriyani Susanti. Tapi rencana itu langsung memicu pro dan kontra.
Pangkal perdebatannya unsur "kesengajaan". Para pendukung pasal 338 mengacu pada teori dolus eventualis atau "kesengajaan berdasarkan kemungkinan". Indriyanto Seno Adji setuju Afriyani dijerat dengan pasal 338. Menurut guru besar hukum pidana dari Universitas Krisnadwipayana ini, sebelum mengkonsumsi minuman keras dan narkoba, Afriyani seharusnya sadar, bila menyetir, kecelakaan yang menyebabkan kematian orang lain bisa saja terjadi.
Sebaliknya, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana, menentang rencana polisi. Menurut dia, Afriyani hanya sengaja mengemudi tanpa surat izin dan sengaja memacu kendaraan dalam kecepatan tinggi. Tapi Afriyani tak sengaja menabrakkan mobilnya untuk membunuh pejalan kaki.
Ganjar tidak sepakat dengan penerapan teori "kesengajaan berdasarkan kemungkinan" dalam kasus pembunuhan. Menurut dia, teori dolus eventualis itu paling rendah derajatnya dalam penentuan kesengajaan. Dalam kasus pembunuhan, menurut Ganjar, kesengajaan harus berdasarkan tujuan. Artinya: pembunuhan atau terjadinya kematian memang menjadi tujuan si pelaku.
Juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, mengatakan polisi boleh-boleh saja memakai pasal 338 untuk menjerat Afriyani. "Soal pembuktian, nanti di pengadilan." MA sudah tiga kali menerapkan teori "kesengajaan berdasarkan kemungkinan" dalam memutus kecelakaan lalu lintas. "Itu disebut sengaja tak berwarna."
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo