Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) mengatakan satuan anti teror milik Tentara Nasional Indonesia yakni Komando Operasi Khusus (Koopssus) perlu diperhatikan secara khusus. KontraS menilai ada beberapa kerentanan pelanggaran yang dapat dilakukan satuan elit ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KontraS menyoroti beberapa hal dari pembentukan satuan tersebut. Beberapa catatan adalah Terkait keselarasan tugas dan fungsi masing-masing satuan anti teror, sistem peradilan pidana, dan akuntabilitas serta hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KontraS kembali menekankan bahwa pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus mempertimbangkan instrumen, aturan hukum yang terkait,” kata Koordinator KontraS Yati Andriyani dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo Kamis 1 Agustus 2019.
Pada Selasa, 30 Juli 2019, Panglima TNI, Hadi Tjahjanto meresmikan pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI. Pembentukan Tim tersebut di antaranya didasari oleh beberapa peraturan perundang–undangan: UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Perpres Nomor 42 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, Perpang TNI Nomor 19 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tugas Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia.
TNI, kata Yati, bukanlah penegak hukum tetapi alat pertahanan negara, sehingga potensi pendekatan war model oleh Koopssus TNI dalam penanganan terorisme sangat mungkin terjadi.
Oleh karenanya, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme harus dipastikan tunduk pada aturan pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang TNI, Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (2); pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus tetap dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik.
Selain itu Yati mengatakan tanpa pembentukan satuan ini sekalipun, TNI sebelumnya kerap terlibat dalam penanganan terorisme. “Dalam praktiknya, selama ini pun TNI juga sudah terlibat dalam penanganan terorisme di Poso tanpa harus membentuk Koopssus,” kata dia.
Selanjutnya KontraS menyoroti pertimbangan Perpres nomor 42 Tahun 2019 terkait keberadaan satuan ini sebagai upaya menghadapi ancaman dengan eskalasi tinggi. Frasa eskalasi tinggi, menurut Yati, tidak memiliki ukuran yang jelas. Tidak ada penjelasan pula mengenai perbedaan tugas antara Koopssus dan Densus 88 serta BNPT sebagai sesama satuan anti terorisme.
Hal ini, kata dia, menimbulkan pertanyaan mengenai apakah Koopssus TNI nantinya akan bekerja secara otonom tanpa berada di bawah komando Polri sebagai aparat keamanan negara, atau sebaliknya.
TNI dinilai bukanlah penegak hukum yang punya kewenangan menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana terorisme. Sedangkan pelaksanaan UU Tindak Pidana Terorisme harus tunduk pada sistem peradilan pidana. Koopssus dalam hal ini, memiliki kewenangan yang luas tanpa batasan jelas, dan rentan merusak sistem peradilan pidana.
Untuk itu KontraS mendesak DPR RI dan presiden untuk menggunakan kewenangan mengawasi dan mengendalikan TNI. “Untuk mengawasi dan mengendalikan TNI, memastikan mencegah terjadinya kerentanan dan persoalan yang kami sampaikan di atas,” kata Yati.