Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984 merupakan salah satu kasus peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada Masa Orde Baru, yang dilakukan aparat pemerintah terhadap warga Tanjung Priok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanjung Priok merupakan sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh dan termasuk salah satu daerah miskin serta kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa mencari penghidupan, supaya mereka dapat tetap hidup di Kota Jakarta. Tempat ini penuh sesak oleh penduduk yang mayoritas bekerja sebagai kuli panggul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga korban peristiwa Tanjung Priok 1984 didampingi aktivis Kontras membacakan tuntutan agar Presiden Joko Widodo menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. TEMPO/Larissa Huda
Kronologi Peristiwa Tanjung Priok 1984
Dalam buku Bencana Umat Islam di Indonesia 1980-2000 oleh Irfan S. Awwas pada 2002 kerusuhan di Tanjung Priok ini bermula dari cekcok antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) setempat dengan warga Tanjung Priok pada 7 September 1984.
Awalnya Babinsa datang ke musala kecil bernama musala As-Sa'adah dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadwal pengajian yang akan datang. Keesokan harinya pada 8 September 1984, seorang oknum ABRI beragama Katholik yaitu Sersan Satu Hermanu, mendatangi musala untuk menyita pamflet yang dinilai berbau SARA.
Namun tindakan Hermanu amat menyinggung perasaan umat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding musala dengan air got, bahkan menginjak Alquran. Tentu saja tindakannya tersebut membuat warga marah dan motor Hermanu dibakar.
Lalu pada 10 September tahun 1984, beberapa anggota jamaah musala berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori musala mereka. Terjadilah cekcok mulut di antara kedua pihak yang akhirnya dilerai oleh Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang Takmir Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat.
Kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir Masjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran tersebut.
Para jamaah yang berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian dibakar.
Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan musala tersebut dan seorang lainnya yang ketika itu berada di tempat kejadian. Salah seorang yang ikut membakar motor bernama Muhammad nur juga turun ditangkap. Akibat penahanan keempat orang itu, kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka yang ditangkap.
Lalu pada 12 September tahun 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, termasuk kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang isinya menyampaikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.
Saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1,500 orang demonstran bergerak menuju Kantor Polsek dan Koramil setempat.
Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, mereka telah dikepung dari dua arah oleh pasukan bersenjata. Massa demonstran berhadapan dengan tentara yang sudah siaga tempur. Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru.
Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru terdengar suara letusan senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah.
Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka ditembak lagi dengan menggunakan bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah berusaha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya. Tentara-tentara lain turut mengusung korban yang telah mati dan luka-luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti.
Semua korban dibawa ke Rumah Sakit Militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan Rumah Sakit lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban.
Satu jam setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal LB Moerdani datang menginspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya, sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut dijadikan daerah operasi militer.
Berdasarkan catatan Komnas HAM yang dimuat dalam kontras.org, setidaknya 79 orang dalam peritsiwa tersebut menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 orang lainnya dinyatakan meninggal dunia. Selain itu puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang lain dinyatakan hilang.
ANNISA FIRDAUSI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.