Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Meskipun telah mendapat perlindungan dari Undang-undang Pers sejak 1999, banyak Jurnalis masih berada dalam bayang-bayang kekerasan. Sejak 2006, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah merilis dalam kanal advokasi AJI, terdapat 763 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan terdapat 10 wartawan yang terbunuh sejak 1996, itu pun yang tercatat dalam data. Belakangan, dalam Advokasi data AJI juga diketahui telah terjadi lonjakan kasus sejak tahun 2022 lalu, dimana lonjakan cukup drastis terjadi dari tahun 2020 ke 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun 2021, AJI mencatat terdapat sebanyak 41 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini kemudian meningkat pada tahun berikutnya, yakni menjadi 61 kasus kekerasan. Pada tahun ini, hingga bulan September saja sudah ditemukan sebanyak 66 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tentu saja mengingat 2023 masih 3 bulan lagi, angka 66 masih belum final dan berkemungkinan bertambah.
Jenis Kekerasan
Berdasarkan indeks data kekerasan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) diketahui bahwa para jurnalis telah mengalami berbagai jenis kekerasan. Tidak hanya dihalang-halangi, diancam, dan diperlakukan secara buruk, para jurnalis di Indonesia bahkan juga mengalami kekerasan secara fisik. Berikut adalah rincian jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh jurnalis Indonesia dalam rentang waktu tiga tahun terakhir.
1. Kekerasan fisik
Meskipun telah dilindungi undang-undang, bahkan kekerasan fisik masih menjadi indeks kekerasan tertinggi yang dialami jurnalis. Kekerasan fisik bahkan memiliki indeks yang berada jauh diatas daripada kasus kekerasan yang lain, yakni sebanyak 32.
2. Serangan digital
Menempati posisi kedua, serangan digital juga banyak didapat oleh para jurnalis di Indonesia. Mulai dari cacian hingga ujaran kebencian, serangan digital memiliki indeks sebanyak 23.
3. Teror dan intimidasi
Posisi ketiga ditempati oleh kasus teror dan intimidasi. Memiliki angka indeks 16, teror dan intimidasi telah menjadi makanan sehari-hari para wartawan saat melakukan tugas.
Pelaku Kekerasan
Berasakan laman advokasi.aji.or.id. tentu pelaku menjadi penting untuk dibicarakan, sebagai seseorang dibalik banyaknya kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis di Indonesia. Indeks tertinggi dari pelaku kekerasan jurnalis ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal, yakni menempati angka 30.
Meski demikian, beberapa tokoh dan atau golongan lain juga terindikasi memiliki indeks kekerasan terhadap jurnalis yang tinggi.
1. Polisi
Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa jurnalis seringkali berhadapan dengan aparat kepolisian dalam beberapa kondisi. Apalagi saat melakukan liputan peristiwa yang menegangkan seperti demo misalnya, terkadang jurnalis turut menjadi korban kekerasan oleh aparat kepolisian. Indeks yang tertulis dalam bank data AJI menunjukkan angka 29 terhadap pelaku ini, termasuk angka yang cukup tinggi untuk ukuran lembaga yang menyebut dirinya pengayom masyarakat.
2. Warga
Warga masyarakat sebagai elemen terpenting suatu negara menempati posisi kedua sebagai pelaku yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap para jurnalis. Indeks menunjukkan angka yang cukup jauh dibawah indeks kepolisian yakni 20.
3. Aparat pemerintah
Selanjutnya, aparat pemerintah dengan indeks kekerasan berada di angka 15 menempati posisi ketiga.
Kota dengan kasus kekerasan tertinggi
Jakarta pusat menempati posisi pertama dengan kasus kekerasan terhadap jurnalis, dimana Jakpus menempati indeks 24. Angka ini terbilang angka yang memiliki gap paling tinggi dengan kasus-kasus di kota lainnya. Menyusul Jakarta Pusat, Kota Mataram dan Kota Medan menempati posisi kedua dan ketiga dengan masing-masing memiliki indeks kekerasan di angka 7 dan 5.
Sebagai negara demokrasi, realitas tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis ini menjadi sebuah fakta yang tidak masuk akal. Indonesia juga diketahui menempati urutan ke 124 jika dibandingkan dengan negara-negara lain dalam konteks kebebasan pers.
Bahkan dalam 2 pasal di Omnibus Law Rancangan Undang-undang tepatnya pasal 11 dan 18, pemerintah Indonesia kembali menuangkan peraturan yang menyerempet UU Pers yang menjadi satu-satunya payung hukum bagi Jurnalis di Indonesia.