Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Alasan masuk lorong remang

Kaum wanita yang terperosok ke dunia pelacuran, ada yang diantar orang tuanya sendiri ke daerah lokalisasi, dan ada pula yang seizin sang suami. ini hasil penelitian mutakhir di bandung.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JULUKAN Bandung sebagai kota kembang agaknya belum kelewat pudar, meski kali ini baunya tidaklah semerbak wangi. Misalnya, bagi mereka yang suka menyusup lorong remang, niscaya kenal nama Black Sari alias Saritem. Gang yang memotong Jalan Gardujati, masuk Kelurahan Kebun Jeruk, Kecamatan Andir, ini sepintas mirip permukiman biasa saja. Namun, di kawasan padat inilah terdapat sebuah lokalisasi pelacuran tertua di ibu kota Provinsi Jawa Barat itu, khususnya bagi hidung belang kelas rendah. Perumahan di Saritem memang baur dengan rumah penduduk. Dari sejumlah jajaran rumah itu terdapat 45 rumah yang menjadi sarang pelesiran kilat. Para calo berkeliaran menggaet peminat, bukan hanya malam, tapi juga siang di antaranya ada anak-anak yang kabarnya sedang latihan dan kelak meneruskan estafet percaloan. Dan untuk kelas sangat rendah terdapat di Jalan Dewi Sartika dan Ciateul, yang bertarif Rp 10 ribu sekali tembak. Di Saritem antara Rp 10 ribu dan Rp 35 ribu. Setingkat di atasnya adalah di Jalan Pasirkaliki, Rp 50 ribuRp 75 ribu. Kemudian di Cikawao, Cihampelas, Pajajaran, Rp 100 ribuRp 150 ribu, dan paling top di Jalan Setiabudhi, bertarif di atas Rp 300 ribu. Ragam tarif itu tergantung usia si pelacur dan kondisi tempatnya. Sedangkan yang benar-benar dinikmati sang penjual tubuh itu dalam sebulan, netto 39,3%. Atau dalam nilai uang berkisar mulai Rp 100 ribu sampai Rp 3 juta lebih per bulan. Ini tentunya setelah dipotong komisi si calo serta setoran kepada mucikari atau germo. Begitulah sebagian hasil penelitian tim Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, dipimpin Psikolog Dra. Carolina Nitimiharjo. Stafnya adalah Ir. Harry Hikmat, Dra. Kanya Eka Santi, Drs. Mukarto Siswoyo, serta Drs. Jumayar Marbun. Mereka meneliti selama tiga bulan Januari sampai Maret 1993, dengan responden 77 pelacur dan 24 germo. Yang digali adalah mulai dari latar belakang responden, motivasi, pekerjaan orang tua, penghasilan, sampai pada aneka perangai para tamu. Hasil penelitian ini kemudian disajikan di kampus perguruan tinggi milik Departemen Sosial tersebut, akhir Juli lampau. Proses mereka sampai tiba di dunia hitam itu, 57,14% dibawa langkah sendiri, terutama di lokalisasi kelas rendah dan sangat rendah. Kemudian ada yang dibawa kawan, 27,27%. Ada yang ikut saudara, 5,19%, dan ada yang dijebak orang tak dikenal, 3,90%. Sebagian besar responden, 81,82%, berstatus janda cerai. Sebagian bahkan kawin-cerai sampai empat kali. Musabab cerai juga terungkap, antara lain, himpitan ekonomi, suami serong, cekcok melulu, suami kawin lagi, ditinggal suami tanpa hek-hok, akibat kawin paksa oleh orang tua, atau didesak cerai oleh orang tua, dan sebagai janda kembang bisa diobjekkan menjadi pelacur. Rendahnya faktor pendidikan merupakan pangkal bala. Yang hanya kenal SD meliputi 66,23% dan tak mengenyam sekolah sama sekali 5,21%. Menurut Carolina kepada Asikin dari TEMPO, selain itu, juga didorong kondisi ekonomi orang tua serta akibat budaya mengawinkan anak terlalu dini. Di antara responden ada yang sudah dinikahkan saat berusia di bawah 15 tahun. Mereka yang menjalani praktek obral badan ini berusia antara 18 dan 36 tahun. Tamu yang dilayani terdiri dari aneka umur, jenis pekerjaan, serta asal-usulnya. Sebagian besar atau 93,51% tamu berusia 20-39 tahun. Ada mahasiswa, sopir, kuli, dosen, guru, pengusaha, sarjana, pegawai negeri atau swasta, dan sebagainya. Kelakuan mereka pun meriah. Ada yang sadistis (40,26%), ada yang doyan main bertiga (14,29%), ada yang eksibisionistis (11,69%), dan ada pula yang impoten (24,68%). Meski mereka mengaku targetnya cuma uang, tak berarti makin banyak tamu kian menyenangkan. Justru sebaliknya. Dari ragam kelainan perangai tadi, bisa dimaklumi jika lebih dari separuh responden melenguh ketika kebanjiran tamu. Dengan sadar menyediakan diri jatuh bangun di pangkuan aneka hidung belang, sasarannya selain untuk sesuap nasi, ya, mungkin mengejar secangkir berlian. Yang mengaku tulen mencari uang, 98,10%. Dan sebagian kecil menyatakan ingin menghapus masa lalu yang suram. Sekitar tiga perempat masih punya orang tua yang bekerja sebagai petani di kampungnya. Mereka umumnya berasal dari luar Bandung (93,51%), yakni dari berbagai kota di Jawa Barat sendiri, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta. Rata-rata pulang kampung sekali sebulan atau, jika tak sempat, mereka mengirim uang saja. Baik untuk keperluan hidup keluarganya atau untuk membangun rumah baru. Menurut pengakuan sebagian responden, orang tua mereka ada yang mengetahui jenis mata pencaharian mereka. Itu sebabnya 33,77% merasa biasa-biasa saja ketika pulang ke kampung. Malah 29% merasa bangga dengan pekerjaannya karena dianggap mengangkat derajat ekonomi keluarga. Yang mungkin mengejutkan dalam temuan kali ini adalah ternyata ada pelacur yang terperosok masuk lokalisasi justru atas kehendak orang tua mereka, yang diantar sendiri oleh orang tuanya mendaftar di situ. Jumlah mereka 6,49% dari seluruh responden. Sedangkan 5,19% mengaku masih bersuami, dan sebagian menyatakan suami mereka tahu dan mengizinkannya jadi pelacur. Rasa-rasanya jenis orang tua serta model suami yang disebut tadi niscaya menarik pula dijadikan objek penelitian. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus