Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni lukis oe sudah ada

Salah seorang pelukis indonesia yang disebut-sebut begitu orisinil, yang meloncat dari satu gaya ke gaya yang lain. pameran retrospektif oesman effendi (almarhum) di jakarta, pekan ini.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU saat, di awal 1970-an, ia menyatakan pendapat yang menghebohkan. Seni lukis Indonesia belum ada, kata Oesman Effendi. Yang lebih menghebohkan, dan membuat para perupa dan pengamat seni rupa Indonesia geregetan, ia tak menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksudkannya. Maka, polemik pun berlangsung dan lahirlah berbagai tulisan yang menanggapi pernyataan itu. Tapi, hingga Oesman Effendi meninggal, tahun 1985, tak pernah jelas apa sebenarnya yang dimaksudkannya. Siapa tahu, dari pameran retrospeksi Oesman Effendi kali ini, yang diselenggarakan oleh Taman Ismail Marzuki dan Yayasan Jaya Raya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 18-31 Agustus, bisa diduga maksud pernyataan itu. Yang segera terasa dalam pameran ini adalah adanya proses ''mencari'' dari seorang Oesman Effendi, selama kurang lebih 25 tahun. Puluhan bahkan lebih dari seratus karya lukis yang dibuat dari tahun 1950-an hingga awal tahun 1980-an dengan berbagai medium: pastel, cat poster, akrilik, tinta cina, kanvas, dan kertas dipasang berderet. Sayang, penyusunan karya dalam pameran kurang menolong untuk lebih memahami sebuah proses pencarian yang konsisten. Pada mulanya adalah titik. Karya OE begitu ia lebih dikenal kemudian menyiratkan berbagai nuansa, kadang menjadi garis- garis yang beringas dengan warna hijau, merah, biru yang menantang, kadang membentuk bidang-bidang datar dengan warna- warna permen yang lembut, atau komposisi yang ''cerdas'' dari keduanya. Dalam menghadirkan bentuk objek, OE terasa begitu bebas. Kadang objek itu terlihat jelas: seperti mesjid, perahu, sawah ladang, perbukitan, dan perkampungan. Namun, pada karya lainnya lagi tak terlihat sama sekali bentuk objeknya. Hanya ada garis sebagai garis, bentuk sebagai bentuk, dan warna sebagai warna. Pada karyanya yang dibuat akhir tahun 1950-an, OE masih memperlihatkan kecenderungan meletakkan bentuk kongkret, misalnya perkampungan, atau alam pedesaan sebagai landasan berpijak secara tegas, dengan warna dan garis-garis yang amat tajam dan riuh. Meskipun dalam periode ini ia menghasilkan banyak karya yang cukup mencolok, kecenderungan itu sepertinya bukan merupakan titik berangkat OE. Soalnya, menilik karya-karya tahun sebelumnya, pertengahan tahun 1950-an, ia telah memberikan otonomi bagi elemen rupa, seperti titik, garis, ataupun warna dalam karya-karyanya. Kemudian menginjak awal hingga pertengahan tahun 1960-an, ia seperti mencoba berbagai ragam gaya. Mulai dengan pengurangan garis dan warna yang menjadi sangat minimal, seperti pada seri Perahu-perahu, masuknya unsur-unsur konstruktivisme, lalu babak pola geometris. Memang agak mengagetkan ketika di pertengahan tahun 1960-an ia, yang sepertinya telah memulai babak baru dengan memilih gaya minimal-geometris dan ''bersih'', tiba-tiba kembali mengeksploitasi garis putus-putus dan bentuk-bentuk terpiuh yang kadang tersamar oleh keriuhan garis-garis warna kontras. Sebagian lagi itu terbentuk dengan memotong-motong bidang objek menjadi bidang-bidang kecil dengan garis. Pada ''kubu'' Bandung, gaya ini menjadi cikal-bakal tumbuhnya seni nonfiguratif. Pada OE, yang bebas itu, gayanya itu tak menyebabkannya berjalan ke seni nonfiguratif, karena sebelumnya ia telah melahirkan karya-karya nonfiguratif. Sampai di sini memang agak sulit menemukan arah perkembangan Oesman Effendi, bila yang dimaksud adalah perkembangan linier. ''Saya tak dapat bekerja kalau tidak ada sesuatu yang baru yang hendak saya kerjakan,'' begitu ia pernah mengatakan. Yang tak jelas: apa maksud ''baru'' di situ sebagaimana pernyataannya ''seni lukis Indonesia belum ada.'' Yang bisa diduga, perjalanan kreativitas OE menyiratkan perpaduan antara proses rasa, rasio, dan daya imajinasi yang kait-mengait. Dan itu didorong oleh kesadaran akan pencarian, sehingga ia membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bisa dibentuk oleh garis dan warna seluas mungkin. Dan seperti terlihat dalam pameran retrospeksi ini, pencarian tak selalu berarti maju ke depan. Bisa saja maju di situ ternyata berputar, dan lahirlah gaya lukisan seperti yang pernah dibuat beberapa tahun lampau. Tapi, tentu saja, ada bedanya: mungkin lebih intens, lebih matang dalam teknik, dan sebagainya. Dan mungkin itulah jawaban OE atas pernyataan yang ia lontarkan sendiri dan pernah membuat heboh dunia seni rupa kita. Yakni pernyataannya bahwa seni lukis Indonesia belum ada. Boleh jadi yang dimaksudkannya dengan identitas seni rupa Indonesia tidaklah menunjuk pada suatu konsep atau bentuk tertentu, melainkan lebih pada suatu proses pencarian yang terus-menerus. Bila demikian, ia konsekuen. Dan karyanya di dunia seni rupa Indonesia tergolong unik boleh dibilang orisinil. S. Malela Mahargasarie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus