Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati perkara penghinaan terhadap presiden dapat diselesaikan melalui restorative justice (RJ) dalam RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun ketentuan ini merupakan perbaikan terhadap Pasal 77. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, sebelumnya DPR telah mempublikasikan RUU KUHAP. Dalam draf tersebut, DPR menyantumkan penghinaan terhadap presiden sebagai pengecualian perkara yang dapat diproses secara restorative justice.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada kesalahan redaksi dari draft yang kami publikasikan di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, pada Senin, 24 Maret 2025.
Habiburokhman menyatakan, seluruh fraksi sepakat bahwa perkara penghinaan presiden menjadi pasal yang paling penting harus diselesaikan dengan restorative justice. “Dapat dipastikan hal tersebut tidak akan berubah saat pembahasan dan pengesahan,” tutur Habiburokhman.
Politikus Partai Gerindra itu menyatakan telah mengirimkan draf perbaikan RUU KUHAP kepada pemerintah.
DPR sudah memutuskan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP menjadi RUU usul inisiatif Parlemen. Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, 18 Februari 2025.
Sejak memasuki masa sidang setelah reses awal 2025, Komisi III DPR RI mulai melakukan pembicaraan mengenai RUU KUHAP dengan mengundang berbagai narasumber, di antaranya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
RUU KUHAP pun masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi III DPR RI. Komisi III DPR RI menyatakan bahwa RUU KUHAP urgen untuk segera dibahas karena UU KUHP yang baru akan berlaku pada 2 Januari 2026. Pengesahan KUHAP dinilai penting karena menjadi hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiil.
Majalah Tempo edisi 9 Februari 2025 menulis, selama 44 tahun, sistem peradilan pidana Indonesia mengacu pada KUHAP 1981, yang masih menganut crime control model berlandaskan azas praduga bersalah. Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej menyebutkan tidak ada satu pun pasal KUHAP saat ini yang menganut asas praduga tak bersalah.
“Crime Control Model merupakan warisan rezim Orde Baru,” kata Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati.
KUHP baru kemudian muncul dengan pendekatan keadilan restoratif. Seiring dengan itu, berbagai kelompok masyarakat pun menuntut KUHAP baru lebih berorientasi pada due process model yang berlandaskan hak individu dan asas praduga tak bersalah.