Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI balik jeruji besi Kepolisian Resor Semarang, Jawa Tengah, perempuan itu duduk tercenung. Asap kretek mengepul dari mulutnya. Di sampingnya terletak sebungkus roti, sebotol air mineral, dan sebuah buku berjudul Fadoilul ’Amal.
Rambutnya pendek: Sri Uminingsih, 56 tahun. Dituduh menjual bayi, polisi menggelandangnya ke dalam sel 4 x 5 meter persegi sejak Kamis dua pekan lalu. ”Astaga, saya kok disebut sindikat penjualan bayi,” katanya. ”Padahal saya hanya menolong orang.”
Sri mengaku memang sering membantu wanita melahirkan. Kegiatannya mirip bidan, tapi tak ada ijazah padanya. Kadang orang menyebutnya dukun beranak. ”Saya bisa karena keturunan,” kata ibu tiga anak itu. Dulu ia jadi tangan kanan neneknya, yang memang paraji. Akhirnya ia sendiri bisa menolong orang melahirkan.
Sejak 1977, dia pun membuka prak-tek di rumahnya di Seneng, Kretek, Ambarawa, Semarang. Ia juga menawarkan pemasangan susuk untuk kecantikan atau ketampanan—entah dari mana ilmunya. ”Biayanya cuma Rp 100 ribu,” kata Sri, yang mengaku lulusan SMA Persamaan di Tegowanuh, Grobogan, Jawa Tengah.
Pada mulanya praktek Sri biasa-biasa saja. Urusan baru ”menikung” ketika tempatnya dikunjungi perempuan hamil di luar nikah. ”Mereka malu,” katanya. Akhirnya, nenek empat cucu ini menampung anak yang tak jelas ayahnya itu.
Kemudian, nah, Sri menjual bayi itu ke pasangan yang ingin punya anak. Satu bayi dilegonya dengan harga Rp 1,5–2,5 juta. ”Buat ongkos ibunya berobat dan perawatannya,” ia berdalih.
Sri mengaku transaksi penjualan bayi dilakukan sejak 2000. Perempuan yang sudah empat kali berganti suami itu mengatakan, kegiatan jual-beli anak berjalan tanpa direncanakan. ”Saya juga tidak tahu kenapa bisa begitu,” katanya.
Untuk melancarkan kegiatannya, Sri memakai beberapa tenaga yang bertugas mencari pasangan yang butuh anak. Misalnya Dewi, 53 tahun, dan Slamet, 40 tahun. ”Hingga kini sudah ada 20 bayi yang saya jual,” ia berterus terang.
RINI—sebut saja begitu—lima tahun silam meninggalkan kampung kelahirannya di Meliyan, Sidorejo, Temanggung, Jawa Tengah. Dia baru tamat SMA ketika itu, dan bertekad merantau mencari rezeki. Nasib membawa perempuan berkulit cokelat itu ke Batam, Kepulauan Riau. Di sana pula kegadisannya hilang.
Pada awal 2006, dia pulang kampung. Perempuan bertubuh mungil itu lalu bekerja menjadi tenaga administrasi di sebuah toko onderdil dan bengkel motor. Pacaran dengan seorang pria, tak lama kemudian ia berbadan dua. ”Karena bapak bayi ini tidak jelas, saya tidak berani melahirkan di rumah,” katanya.
Dari beberapa ”petunjuk”, dia terdampar ke rumah bersalin Sri Umuningsih pada 14 Desember 2006. Begitu Rini masuk, Sri meminta biaya administrasi Rp 300 ribu. Sejak itu ia berada di rumah Sri hingga tiba masa melahirkan, 6 Januari lalu. ”Ketika itu sekitar pukul sembilan malam, pas kebetulan lampu se-Jawa Tengah mati,” ia mengenang.
Proses kelahiran lancar. Bayi perempuan itu diberi nama Mita Tilamsari, karena kelahirannya pada saat lampu mati (tilam). Rini mengaku setiap hari harus mengeluarkan biaya perawatan bayi. ”Biayanya tidak tentu,” katanya.
Pada 13 Januari, Rini pulang ke rumahnya. Malu pada tetangga, bayinya ditinggalkan di rumah Sri. Rencananya mencari rumah kontrakan agar bisa merawat anaknya. Selang dua hari, Rini kembali ke tempat Sri untuk mengambil Mita. Apa lacur, si buah hati raib sudah.
Sri dengan enteng mengatakan telah menjual Mita. Rini marah dan mengancam akan melaporkan dia ke polisi. ”Silakan, bayimu malah tidak ketemu,” kata Sri sebagaimana diceritakan Rini.
Semula, Rini berusaha mencari sendiri anaknya. Berbulan-bulan ke sana kemari, namun tak ada hasil. Akhirnya dia melaporkan Sri ke Polres Semarang, awal April lalu. Sejak itu penyidik menyelidiki rumah Sri di Ambarawa. ”Kemudian datang dua polisi ke rumah saya, pura-pura hendak membeli bayi,” tutur Sri.
Sri percaya saja. Kebetulan, di rumahnya ada tiga bayi yang memang siap untuk dijual. Karena itu, dia menerima panjar yang diberikan polisi yang menyamar itu sebesar Rp 2,25 juta. Itu harga untuk satu bayi. ”Eh, nggak tahunya saya malah ditangkap,” katanya.
Kepada polisi, dia menyebut nama Dewi sebagai orang yang menjual bayi Rini. Hari itu juga polisi menangkap Dewi. Dari sini diperoleh nama Titik, 60 tahun, yang bermukim di Solo. Ketika ditelusuri, ternyata Tilam sudah beralih tangan ke Agustin, 35 tahun, di Karanganyar. Di sini pun si bayi sudah tak ada.
Ternyata, Mita jatuh ke tangan pasangan suami-istri Habib dan Ernawati, warga Durenan, Gemarang, Madiun, Jawa Timur. Habib mengaku berniat mengadopsi bayi. ”Selama empat tahun menikah, istri saya empat kali keguguran,” katanya.
Tak mengherankan jika ia rela mengeluarkan Rp 5 juta untuk memperoleh Mita Tilamsari. ”Dia sudah saya anggap anak sendiri,” kata Habib. Namun, pasangan ini hanya bisa memomong Tilam selama tiga bulan. Polisi mengambil bayi itu dan mengembalikannya pada Rini, Senin pekan lalu.
KEPALA Kepolisian Resor Kabupa-ten Semarang, Ajun Komisaris Besar Polisi Hariono, menyatakan Sri dijerat dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. ”Bukti-bukti yang kami siapkan sangat kuat,” katanya. Sri terancam hukum-an 15 tahun penjara. Namun, Hariono belum yakin Sri masuk dalam sindikat jual-beli anak yang besar. ”Hanya lokal Jawa Tengah,” katanya.
Kini, rumah Sri dengan halaman penuh bunga itu terlihat sepi. Tiga bayi yang hendak dijual Sri juga sudah diungsikan oleh polisi ke dua rumah bersalin di Semarang seraya menelusuri orang tua mereka. Di rumah itu, selama ini, Sri tinggal bersama dua putranya. Adapun dengan suaminya, Abdul Rokhim, Sri sudah pisah ranjang sejak empat tahun lalu. ”Dia menghamili pasien saya,” kata Sri.
Nurlis E. Meuko, Rofiuddin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo