Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT menyebut konten keagamaan yang tersebar di dunia maya dan biasa diakses masyarakat di Indonesia, 67,7 persen di antaranya merupakan konten keagamaan bernuansa intoleran dan radikal. Namun, kini konten dakwah dari penceramah yang moderat dan toleran mulai banyak bermunculan di dunia maya sehingga menekan pengaruh konten radikal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid mengatakan kehadiran para penceramah dengan materi dakwah yang moderat di dunia maya itu selama pandemi efektif menekan pengaruh radikalisme di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mereka (para penceramah) yang mayoritas moderat cukup mengimbangi konten-konten keagamaan di dunia maya (yang intoleran dan radikal)," kata Nurwakhid dalam diskusi bertajuk Perempuan Teladan, Optimis dan Produktif (TOP) Viralkan Perdamaian dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu, 28 Mei 2022.
Menurut dia pada masa pandemi dan penerapan protokol kesehatan para penceramah moderat mulai muncul di dunia maya.
"Begitu ada pandemi, para kiai, penceramah, maupun pendeta yang selama ini diam, tidak viral tetapi karena ada prokes mereka mau tidak mau menggunakan sarana gadget (untuk dakwah)," kata dia.
Indeks Potensi Radikalisme Turun
Berkat kemauan para penceramah moderat untuk hadir di dunia maya, Nurwakhid menyebut indeks potensi radikalisme di Indonesia berdasarkan hasil survei tahun 2020 turun menjadi 12,2 persen dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 55,2 persen.
Ia menjelaskan indeks potensi radikalisme yang mencapai 12,2 persen tersebut didominasi generasi milenial.
Selain itu, indeks risiko terorisme (IRT) pada 2021 juga telah turun menjadi 52,22 persen atau melampaui target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang sebesar 54,36 persen.
Menurut Nurwakhid, munculnya paham radikal selalu diawali dengan sikap eksklusif dan intoleran terhadap keragaman.
"Radikal atau ekstrem ciri-cirinya biasanya mengkafirkan mereka yang berbeda, tidak hanya beda agama, tapi beda kelompok, beda paham, bahkan sesama agama pun dikafir-kafirkan," ujar dia.
Radikalisme, kata dia, sejatinya adalah fase menuju terorisme sebab radikalisme adalah paham yang menjiwai semua aksi terorisme.
Oleh karena itu, Nurwakhid mengajak semua pihak, khususnya kaum perempuan sebagai soko guru bangsa mampu membentengi keluarga, lingkungan dan masyarakat dari paham radikal.
"Membentengi dari paham-paham asing yang bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Disamping itu memperkuat kecintaan terhadap Tanah Air dan ideologi bangsa yaitu Pancasila," ujar dia.
Sebelumnya, Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar berpendapat, fanatisme dalam konteks kehidupan beragama harus menghormati agama lain. Menurutnya, kebenaran yang diajarkan oleh masing-masing agama tidak perlu dipaksakan.
“Yang terpenting kita tetap harus menghormati kebenaran yang versi agama lain. Kalau kita memaksakan kebenaran kita, sementara agama lain mengajarkan lain, tentu ini berpotensi menimbulkan intoleransi,” katanya saat ditemui di Universitas Bung Karno, Selasa, 24 Mei 2022.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini