Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bocah-bocah penghuni penjara

PN Bogor mengirim dua anak di bawah umur ke penjara dewasa LP Paledang, Bogor. Pertimbangan hakim Sulastri, agar orang tua memperhatikan anaknya. pemerintah sedang mempelajari ruu peradilan.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua anak di bawah umur di Bogor dikirim ke penjara dewasa. Karena undang-undang peradilan anak tak kunjung lahir? DIAM-diam anak Indonesia terus saja dikirim ke penjara dewasa. Hanya dalam tempo seminggu, pada pekan lalu, Hakim Sulastri dari Pengadilan Negeri Bogor mengirim dua anak di bawah umur, usia 11 tahun, ke penjara dewasa LP Paledang, Bogor. Salah seorang di antaranya, Unang (nama samaran) dengan hukuman 4 bulan penjara karena pencurian. Yang lain, Ajan -- juga bukan nama sebenarnya -- dihukum 7 bulan karena main "dokter-dokteran" dengan tiga gadis cilik. Hakim wanita itu mengaku sengaja tak memilih vonis alternatif, yang dimungkinkan pasal 45 KUHP, yaitu mengembalikan anak pada orangtuanya, atau memasukkan terhukum ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak. Ia, katanya, langsung menjebloskan anak-anak itu, "untuk memberi pelajaran bagi orangtua si anak agar bisa mendidik anaknya di hari kemudian". Unang, yang divonis pada Rabu pekan lalu, menurut Sulastri, terbukti mencuri antena CB di mobil yang sedang diparkir. Sementara itu, Ajan, murid kelas V SD di Bogor, terbukti melakukan percobaan perkosaan. Korbannya tiga gadis cilik tetangganya, Atik (8 tahun), Ana (7 tahun), dan Eni (5 tahun), semuanya nama palsu. Tiga gadis kencur ini terbujuk main dokter-dokteran, di rumah kosong milik nenek Ajan di Kampung Kebon Pedes, Bogor, setelah diberi kue dan makanan Chiki. Satu per satu korban diperiksa "dokter" Ajan. Menurut kesaksian para korban, saat pemeriksaan itulah Ajan melaksanakan hajatnya secara paksa dengan ancaman akan men ghajar mereka. Namun, berdasarkan pemeriksaan dokter di Rumah Sakit PMI Bogor, selaput dara tiga korban itu masih utuh. Mereka hanya menemukan tanda-tanda percobaan persetubuhan. Kendati begitu, Hakim Sulastri memvonis Ajan 7 bulan penjara. Jaksa sebelumnya menuntut satu tahun penjara. Begitu selesai sidang, Ajan kembali dibawa lagi ke LP Paledang, yang sudah dihuninya sejak Juni lalu, dengan status tahanan. Sumber TEMPO menyebut, sejak perkara itu tersiar, Ajan amat terpukul. Ia murung, tak mau sekolah lagi, bahkan jatuh sakit. Pukulan mental begitu menimpa hampir semua terdakwa anak-anak sebelumnya. Misalnya, kakak beradik Abdillah dan Ubaidillah, yang tiba-tiba menjadi pemurung setelah menjalani hukuman penjara. Pada 1984, dua bocah berusia 10 dan 9 tahun itu divonis Pengadilan Negeri Denpasar 2 tahun penjara karena terbukti membunuh temannya, Nur Diah Wahidah. Kasus tersebut, ketika itu, merebak menjadi diskusi hangat. Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Bidang Hukum), ketika itu, Albert Hasibuan menyesalkan hakim yang memvonis kedua bocah itu dengan hukuman penjara. Ia menyebut tindak pidana yang dilakukan anak-anak tergolong juvenile delinquency (kenakalan anak-anak yang menjurus kejahatan) yang belum perlu divonis penjara. Albert mengingatkan perlunya segera dibuat Undang-Undang Peradilan Anak. Kalangan akademisi dan sejumlah advokat ikut mendukung. Ali Said, S.H., bekas Menteri Kehakiman yang baru dilantik menjadi Ketua Mahkamah Agung, ketika itu, menanggapi serius. "UU Peradilan Anak bukan hanya prioritas, tapi termasuk prioritas utama." Bahkan, katanya, ia sudah siap dengan RUU itu. Toh sampai kini RUU prioritas utama itu belum juga sampai ke DPR. Ahli Hukum Pidana UGM Prof. Bambang Poernomo menyesalkan, RUU yang dahulu hampir masak itu kini mentah lagi. "Sudah saatnya dipikirkan lembaga khusus untuk menyelenggarakan peradilan anak-anak." Sebagai perbandingan, Bambang menunjuk contoh di Belanda. Di sana ada yang disebut probation officer, yang bertugas mengadili anak-anak tanpa memasukkan mereka ke penjara. Lembaga musyawarah itu terdiri dari hakim, jaksa, pembela khusus anak-anak dan melibatkan pula pekerja sosial. Model itu, katanya, bisa diterapkan di Indonesia. Sementara itu, hakim agung yang khusus menangani peradilan anak, Martina Notowidagdo, mengaku bahwa selama ini tak menemui hambatan apa pun kendati tak ada UU Peradilan Anak. Alasannya, pegangan untuk itu sudah jelas, yakni: pasal 45, 46, dan 47 KUHP. Walau begitu, ia mendukung perlunya UU Peradilan Anak, "Agar before, during dan after trial si anak dapat terjamin". Menteri Kehakiman Ismail Saleh bukannya tidak tanggap terhadap suara-suara itu. Departemen ini, sebenarnya, juga sudah menyiapkan konsepnya. "Kini RUU Peradilan Anak itu sedang dipelajari Sekneg," katanya kepada Andy Reza Rohadian dari TEMPO. Biarpun UU Peradilan Anak belum ada, Departemen Kehakiman sudah menelurkan perangkat lain yang bisa dijadikan pedoman bawahannya. Pada 1983, ia mengeluarkan surat keputusan yang mewajibkan hakim dalam mengadili terdakwa anak-anak memperhatikan pertimbangan Bispa (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak), lembaga yang bertugas membuat evaluasi terdakwa anak-anak. Tujuannya agar putusan yang diambil hakim benar-benar obyektif. Ketika menanggapi vonis Pengadilan Bogor yang memerintahkan anak-anak masuk LP dewasa, Ismail Saleh mengatakan hanya bersifat sementara. "Sekarang kita sudah punya LP Anak Tangerang, nantinya pasti dikirim ke sana," katanya. Bagaimana dengan daerah-daerah yang belum punya LP Anak-anak? Aries Margono, R. Fadjri (Yogya), dan Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus