Ganti rugi tanah per meter hanya dihargai Rp 3. Kepala desa dan camat ikut mendorong rakyat agar menerima uang. HARGA tanah kian membubung di Jakarta. Namun, di Muaraenim, Sumatera Selatan, hanya tiga perak per meter persegi. Harga supermurah itulah yang dibayarkan PT Bunga Mas Laksana kepada 144 kepala keluarga Desa Gumai dan Putak III, Kecamatan Gelumbang. Perusahaan ini memang akan membuka perkebunan kelapa hibrida seluas 500 hektare di sana. Harga patokan Pemda yang ditetapkan sekitar 25 kali harga obral itu. Maka, penduduk pun mengadu ke Bupati Muaraenim lewat pengacaranya, Bambang Hariyanto dari LBH Palembang, 28 Agustus lalu. Mereka menuntut agar Bupati segera menyetop kegiatan PT Bunga Mas. Setidaknya, sampai persoalan ganti rugi tanah penduduk dikatrol ke harga yang pantas. Maklum, PT Bunga Mas telah membuka investasinya dengan me mbuka jalan menuju lokasi perkebunan itu. Runyamnya, penduduk sempat terjebak bak ikan masuk bubu. Uang ganti rugi sudah sempat mereka terima. Mereka juga terlanjur meneken surat tak keberatan pada kecilnya ganti rugi itu. Penduduk terpaksa menandatangani surat itu setelah disuruh Camat Gelumbang, Farhan Efendi. Namun, setelah sadar, mereka pun bingung. Sampai-sampai mereka ramai-ramai minta bantuan LBH Palembang. Lagi pula, untuk mengembalikan duit pun tak mungkin. Mata pencarian sebagian besar mereka menyadap karet. Harganya juga lagi apes, Rp 200 per kilo. Apalagi kini harga beras pun sudah Rp 700 sekilonya. Tak heran jika Muhammad Kaluh, 60 tahun, seorang penerima ganti rugi itu, sempat pingsan dua kali. Soalnya, begitu ia membuka amplop, hanya terselip duit Rp 88.000. Padahal, ia punya tanah tiga hektare ditanami karet dan buah-buahan. Yang juga ikut mendorong penduduk menerima ganti rugi itu adalah Kepala Desa Gumai, Hasanusi Y.S. Menurut penduduk, ia tampil bak juru bicara PT Bunga Mas. Ia, misalnya, pernah berpidato sebelum salat Jumat pada 19 April lalu. "Barang siapa yang tak mengambil ganti ruginya, maka duit itu akan masuk kas desa," kata Pak Kades. Penduduk menyahut dengan teriak, "Kami datang untuk salat Jumat, bukan ceramah soal tanah." Ketidaksukaan masyarakat terhadap Kepala Desa pun meningkat. Kepala desa itu ikut memangkas uang ganti rugi itu. Mestinya tiap penduduk yang rata-rata punya tanah satu hektare itu menerima ganti rugi Rp 50.000 atau Rp 5 per meter. Namun, dengan dalih 10 persen untuk panitia ganti rugi, potongan kredit Bimas, dan tunggakan PBB, mereka hanya menerima Rp 30.000. Hasanusi enteng saja menjawab. "Itu perintah atasan," katanya. Ketua DPRD Muaraenim, H. Dachlan, juga terkesan tak peduli. Kepada TEMPO ia menyayangkan rakyat mau meneken surat pernyataan dan kuitansi kosong itu. Akibatnya, rakyat sendiri yang repot. "Mau mengembalikan uang tak bisa karena sudah habis terpakai," katanya. DPRD tampak cuek. "Yah, terserah Pak Bupati," kata Dachlan. Untunglah, Bupati Muaraenim, Hasan Zen, bersikap lunak. Selain mengaku telah menurunkan tim untuk mengusut kasus itu, ia juga berprinsip agar rakyat tak dirugikan dan kepentingan investor tak dikesampingkan. Namun, ia melihat kemelut itu terjadi tak lain karena Pemda sama sekali tak dilibatkan. "Besarnya ganti rugi itu hanya ditentukan PT Bunga Mas dan penduduk," katanya. Direktur PT Bunga Mas, Yusuf Jemat, membantah pihaknya hanya membayar tiga perak per meter. "Itu jelas tak manusiawi," katanya pada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Karena itu, ia menganggap isu itu hanya fitnah. "Mungkin ada orang yang menungganginya," kilahnya. Berapa, sih, harga yang sebenarnya? Yusuf sendiri kagok dan tak bisa menjawab. Kilah belaka? Bersihar Lubis (Jakarta) dan Aina Rumiyati Azis (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini