DI halaman pabrik komponen jam PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo, Jawa Timur, pagi itu beberapa orang berambut pendek tampak sedang mondar-mandir. Mereka menggenggam handy talky (HT). ''Gelagatnya mereka aparat keamanan,'' kata seorang buruh di CPS. Kemudian terdengar jeritan Nyonya Muntiari. ''Tidak mau. Bukan saya yang salah, Pak,'' teriak kepala bagian personalia PT CPS itu. Ia diseret keluar oleh orang ber-HT tadi. Karena melawan, Muntiari ditampar, sebelum didorong keras masuk ke dalam mobil. Ayib, kepala produksi PT CSP, juga dihajar karena mokong. Plaak! ''Kepala Pak Ayib malah diketok gagang pistol,'' kata saksi mata. Entah dari kesatuan mana, petugas tadi menangkap Yudi Astono, Direktur PT CSP, Bambang, staf pengawas umum, Widayat, kepala bagian sentral listrik, dan satpam pabrik: Suwono, Prayogi, Agus, dan Sugianto. Aksi pada 1 Oktober pagi itu jadi tontonan buruh. Selain yang disebut tadi, dari rumahnya masing-masing aparat menciduk Suprapto, karyawan bagian kontrol, dan Yudi Susanto, direktur di PT CPS pabrik Rungkut. Sorenya, Agus dan Sugianto dikembalikan ke pabrik. Mungkin tidak berperan. Sisanya, hingga Rabu pekan lalu, belum dibebaskan. Pencidukan tersebut berkaitan dengan tewasnya Marsinah. Aktivis buruh itu, 4 Mei silam, melakukan unjuk rasa memperjuangkan nasib buruh di PT CPS perusahaannya tempat bekerja. Marsinah menuntut agar perusahaan memberi tunjangan tetap Rp 550 setiap hari pada buruh, baik masuk maupun absen. Dan besoknya, gadis berusia 23 tahun itu lenyap. Lima hari kemudian mayatnya ditemukan di Nganjuk, 200 km dari tempat kerjanya itu. Suprapto diciduk karena beberapa waktu lalu ia diperiksa polisi di Nganjuk. Ia datang ke kota itu, setelah pamit dari istrinya. Ia dianggap tahu mengenai hilangnya Marsinah. Sebelum meninggal Marsinah mengirim surat kepada kepala bagian administrasi pabrik melalui Suprapto. Keluarganya menilai penangkapan atas Suprapto, 22 tahun, itu kelewatan, apalagi tanpa surat penahanan. ''Suami saya tidak diberi waktu mengganti pakaian atau mengambil dompetnya di lemari. Caranya kasar sekali ketika ia diseret ke mobil,'' kata Tini, istri Suprapto, yang sedang hamil 8 bulan. Ayah Suprapto, Matasim, juga melihat perlakuan kasar tersebut. ''Anak saya apa salahnya?'' teriak Matasim. Tapi petugas tidak menggubrisnya. Warga di Desa Plataran Sewu, Sidoarjo, yang menjadi tetangga Suprapto kemudian ikut ribut. Diambilnya Yudi Susanto (tak ada hubungan keluarga dengan Yudi Astono) dari rumahnya di Rungkut juga membuat istrinya bingung. ''Nyonya Yudi sudah pergi ke Polda dan ke Kodam, tapi suaminya tidak ditemukan,'' kata Pieter Talaway, S.H., pengacara Yudi. Pieter juga sudah mengecek ke beberapa tempat. Hasilnya nihil. ''Mau omong apa lagi. Kalau ada surat penahanan, kan enak,'' ujarnya. Semula tewasnya Marsinah masih gelap. Tapi KSUM (Komite Solidaritas Untuk Marsinah) menganggap kematiannya memang ada apa-apanya. Maka, dengan gigih KSUM mendesak aparat menyelidikinya. Pamflet dan poster disebarkan untuk menggugah agar aparat pemerintah tidak menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan kasus perselisihan perburuhan. Selain itu, KSUM melakukan tabur bunga di kubur Marsinah, 4 Juni lalu. Malah, direncanakan menyelenggarakan pameran seni rupa mengenang kematiannya di galeri Dewan Kesenian Surabaya. Tapi, sebelum pameran itu digelar September lalu, datang pihak keamanan melarang. ''Padahal, semua itu kami lakukan agar kasus Marsinah tidak dilupakan begitu saja,'' kata Yudha, aktivis KSUM. Adakah bos dan karyawan PT CPS ditangkap karena terlibat pembunuhan atas Marsinah? Kapolda Jawa Timur, Mayor Jenderal Emon Rivai Arganata, yang ditemui TEMPO menyuruh bersabar. ''Tunggulah saatnya nanti, pasti kami ekspose,'' katanya. Polda memang telah memeriksa 142 saksi, 42 orang di antaranya dicatat dalam berita acara pemeriksaan. ''Tapi Polda sama sekali tidak memeriksa, apalagi menahan Direktur PT CPS,'' kata Letnan Kolonel Ahmad Rifai, Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Di tengah suasana nasib bos PT CPS yang tak menentu itu, wartawan TEMPO Widjajanto melongok ke pabrik PT CPS, Rabu lalu. Ternyata, buruh di sana santai kendati proses produksi berjalan normal. ''Seharian tadi, saya dan teman-teman hanya duduk-duduk saja. Karena yang ditakuti memang tidak ada,'' kata seorang buruh. Yang dimaksud buruh ini adalah satpam Suwono. Pensiunan angkatan laut ini dianggap oleh mereka ringan tangan dan mulut. Malah, pada saat buruh mogok, 4 Mei lalu, ia memakai seragam angkatannya untuk menakut-nakuti buruh. Dan yang menyakitkan mereka, setelah Marsinah tewas seperti dikutip seorang buruh yang mendengarnya Suwono enak saja berucap, ''Kapok, kon. Saiki Marsinah wis matek (Rasain, kamu. Sekarang Marsinah sudah mati).'' Kini, misteri kematian Marsinah mendekati titik terang. Apalagi aparat dari Pusat sudah terjun ke Jawa Timur untuk menyelidiki secara intensif. Tewasnya Marsinah itu sudah menjadi isu internasional, setelah disiarkan pers asing. Ada yang lebih penting lagi. ''Ini tugas manusiawi,'' kata sumber TEMPO di Bakorstanasda. Jadi, yang datang menciduk ke PT CPS pada pagi Jumat dua pekan lalu itu memang benar ''tamu'' dari Jakarta? Widi Yarmanto dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini