Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Cerita Sylvia Gunawan

Silvia Gunawan tersangka terlibat perkara pencurian mobil milik toyota astra motor, di tahan. Adnan Buyung Nasution, pembelanya, mengurus 4 masalah: peng aniayaan, penghinaan, perampasan & penahanan. (krim)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI Sylvia Gunawan, mahasiswa dan asisten pada Fakultas Sastra juga aktivis demonstran mahasiswa dulu. Hari-hari ini ia sedang berurusan dengan polisi. Kali ini bukan karena tuduhan melanggar larangan demonstrasi. Tapi ia tersangka terlibat perkara pencurian mobil milik Toyota Astra Motor (TAM). Sebetulnya tersangka utama peristiwa pencurian itu suaminya sendiri, unawan Sumedi, pada tanggal 17 pagi bulan lalu di pusat penyaluran TAM di Jalan Jos Sudarso, Jakarta. Tidak lama dua tersangka ini menjadi tahanan polisi di Komwil 72. Mereka segera dilepas dengan 'bantuan' seorang perwira tinggi kepolisian. Namun cerita tentang suami isteri, yang sudah berputera satu ini, masih hangat --karena simpang siurnya. Setidaknya ada dua versi: cerita Sylvia sendiri dan laporan petugas keamanan TAM. Yang boleh disebut pasti -- dibenarkan kedua fihak -- memang ada mobil baru produksi ke-30, milik TAM yang siap lego, yang diparkir di dekat rumah keluarga Gunawan dengan nomor palsu. Sabtu pagi itu Gunawan, karyawan bagian Asuransi Knock Down di pabrik TAM, kelihatan memasuki kompleks TAM. Keperluannya tidak jelas, karena Sabtu itu hari libur. Dan Gunawan dinyatakan tidak sedang kerja lembur. Petugas keamanan ingat: mobil yang dipakai Gunawan itu Toyota Corolla warna hijau apel, tipe ke-20, bernomor polisi B 2537 AA. Tidak begitu lama karyawan ini meninggalkan kantor. Tidak ada kecurigaan apapun. Namun bagi Tommy, karyawan bagian impor yang sedang lembur, adanya sebuah mobil tipe ke-20 berderet bersama mobil-mobil tipe ke-30 -- walaupun warnanya sama: hijau apel -- sangat mencurigakan. Pengusutan singkat yang tidak terlampau sulit segera ketahuan: TAM kehilangan sebuah mobil yang sudah siap dilempar ke agen. Sementara itu Gunawan muncul kembali di pabrik TAM bersama Sylvia yang mengendarai Mini Cooper. Gunawan langsung diperiksa oleh petugas keamanan di sebuah ruangan. Isterinya dicegat oleh petugas lain di pintu keluar. Komandan Regu Jaga, Djoko Sumanto yang bertugas bersama rekannya Paiman, Rahardjo dan Sunaryo bercerita: Sylvia melawan ketika distop dengan baik di pintu. Ketika petugas menyapa dengan sopan, "selamat siang....", Sylvia menurut mereka malah tancap gas hendak kabur. Petugas yang sudah menerima perintah agar menahan Sylvia segera bertindak. Sumanto menggebrak bagian belakang Mini Cooper dengan keras. Sylvia kaget. Sepuluh meter kemudian ia menghentikan mobilnya. Ia marah-marah. Katanya, begitu menurut petugas, tak seorangpun berhak menahannya. Tanpa banyak bicara petugas-petugas itupun berusaha meringkus Sylvia. Jatuh-bangun nyonya ini untuk melepaskan diri dari tangan yang ingin menyeretnya dengan paksa. "Sambil memukuli dan menendangi kami", seperti cerita sang petugas, "Sylvia berteriak: apa kamu ini budak-budak Jepang? Nanti saya telepon Kejaksaan Agung...nanti saya mau surati negara saya...nanti kamu semua akan saya masukkan koran...". Selesai mengurus Sylvia -- sementara Gunawan diperiksa -- petugas menemukan pelat nomor polisi B 2537 AA di dalam Mini Cooper. Mestinya nomor itu menempel di mobil Corolla milik Gunawan. Pengusutan segera saja dilanjutkan ke rumah Gunawan di Jalan Tegalan. Hasilnya: mobil milik TAM yang hilang itu memang nongkrong di dekat sana dan sudan bernomir polisi B 984. Menurut penelitian, nomor itu seharusnya tertera pada sebuah mobil lain, merek Chevrolet tahun 1956 atas nama sebuah CV di Jalan Tegalan itu juga. Untuk sementara fihak TM mempunyai sangkaan: Gunawan sengaja mengeluarkan mobil milik perusahaan dengan cara menempelkan pelat nomor mobilnya sendiri, untuk mengelabui petugas. Inilah yang dilaporkan kepada polisi. Sylvia, kepada TEMPO, punya cerita sendiri. Tanpa tahu sebabnya, katanya, ia diuber petugas TAM sehabis mengantar suaminya. Kaca mobil digedor hingga pecah sembari diteriaki'maling' segala. Ketika ia menolak diajak turun dari mobil, ia diseret dengan paksa. Katanya juga, ia menerima beberapa kali pukulan dan tendangan di pantatnya. Ia merasa dirinya diseret di antara jalan berbatu dan berlumpur -- jatuh bangun tidak keruan. "Padahal saya ketika itu sedang sakit", keluhnya. Ketika ia menolak diseret dan hendak dimasukkan ke sebuah gudang, katanya, seorang petugas memencet biji matanya hingga memecahkan kontak lensa dan melukai matanya. Untuk yang disebutnya sebagai "penganiayaan" ini. Sylvia bertekad untuk memperkarakan melalui bantuan hukum dari LBH. Gunawan sendiri, seperti ceritanya kepada TEMPO, "hanya ingin pinjam mobil itu sementara saja, cuma sampai jam tiga sore saja". Itupun, katanya lagi, bukan untuk keperluan dirinya sendiri. Tapi "akan saya pinjamkan kepada teman akrab saya". Sedianya mobilnya sendiri yang akan dipinjamkannya. Tapi karena mobilnya harus masuk servis, sementara hari itu hari Sabtu, maka Gunawan mengambil kebijaksanaan: pinjam mobil pabrik -- yang baru sama sekali tanpa izin. Dia tampak menyesal: "Niat mau menolong teman, malah saya yang jadi kena perkara begini". Apapun pembelaan Gunawan tampaknya fihak TAM ingin agar perkara itu berjalan terus menurut hukum. Biarlah pengadilan nanti yang menentukan: adakah Gunawan ini bisa disebut sebagai pencuri atau hanya sekedar pinjam tanpa izin saja. Adnan Buyung Nasution SH, pengacara yang dimintai pembelaannya oleh Sylvia, berdiri di samping nyonya ini untuk mengurus empat masalah: "penganiayaan, penghinaan, perampasan kemerdekaan dan penahanan barang milik Sylvia -- mobil, buku dan kaca mata", kata Buyung. Penabanan petugas TAM atas Sylvia -- dari jam 13.00 sampai jam 18.00 -- juga dikecam Buyung sebagai tindakan sewenang-wenang. "Petugas perusahaan itu tak punya kekuasaan polisionil, bukan?" Bukankah kemudian fihak TAM menyerahkan urusan ini ke polisi? Eh, "tapi setelah berapa jam?" kata pengacara ini. Dan perkara harus berjalan terus, agar tidak timbul kesan "perusahaan yang kuat secara finansiil dan cukup fasilitas itu lantas seolah-olah memiliki wilayah kedaulatan sendiri", katanya. Pokoknya, ia tidak ingin ada kekuasaan yang bisa disebut "negara dalam negara".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus