INI Sylvia Gunawan, mahasiswa dan asisten pada Fakultas
Sastra juga aktivis demonstran mahasiswa dulu. Hari-hari ini ia
sedang berurusan dengan polisi. Kali ini bukan karena tuduhan
melanggar larangan demonstrasi. Tapi ia tersangka terlibat
perkara pencurian mobil milik Toyota Astra Motor (TAM).
Sebetulnya tersangka utama peristiwa pencurian itu suaminya
sendiri, unawan Sumedi, pada tanggal 17 pagi bulan lalu di
pusat penyaluran TAM di Jalan Jos Sudarso, Jakarta. Tidak lama
dua tersangka ini menjadi tahanan polisi di Komwil 72. Mereka
segera dilepas dengan 'bantuan' seorang perwira tinggi
kepolisian. Namun cerita tentang suami isteri, yang sudah
berputera satu ini, masih hangat --karena simpang siurnya.
Setidaknya ada dua versi: cerita Sylvia sendiri dan laporan
petugas keamanan TAM. Yang boleh disebut pasti -- dibenarkan
kedua fihak -- memang ada mobil baru produksi ke-30, milik TAM
yang siap lego, yang diparkir di dekat rumah keluarga Gunawan
dengan nomor palsu.
Sabtu pagi itu Gunawan, karyawan bagian Asuransi Knock Down di
pabrik TAM, kelihatan memasuki kompleks TAM. Keperluannya tidak
jelas, karena Sabtu itu hari libur. Dan Gunawan dinyatakan tidak
sedang kerja lembur. Petugas keamanan ingat: mobil yang dipakai
Gunawan itu Toyota Corolla warna hijau apel, tipe ke-20,
bernomor polisi B 2537 AA. Tidak begitu lama karyawan ini
meninggalkan kantor. Tidak ada kecurigaan apapun. Namun bagi
Tommy, karyawan bagian impor yang sedang lembur, adanya sebuah
mobil tipe ke-20 berderet bersama mobil-mobil tipe ke-30 --
walaupun warnanya sama: hijau apel -- sangat mencurigakan.
Pengusutan singkat yang tidak terlampau sulit segera ketahuan:
TAM kehilangan sebuah mobil yang sudah siap dilempar ke agen.
Sementara itu Gunawan muncul kembali di pabrik TAM bersama
Sylvia yang mengendarai Mini Cooper. Gunawan langsung diperiksa
oleh petugas keamanan di sebuah ruangan. Isterinya dicegat oleh
petugas lain di pintu keluar. Komandan Regu Jaga, Djoko Sumanto
yang bertugas bersama rekannya Paiman, Rahardjo dan Sunaryo
bercerita: Sylvia melawan ketika distop dengan baik di pintu.
Ketika petugas menyapa dengan sopan, "selamat siang....", Sylvia
menurut mereka malah tancap gas hendak kabur. Petugas yang sudah
menerima perintah agar menahan Sylvia segera bertindak. Sumanto
menggebrak bagian belakang Mini Cooper dengan keras. Sylvia
kaget. Sepuluh meter kemudian ia menghentikan mobilnya. Ia
marah-marah. Katanya, begitu menurut petugas, tak seorangpun
berhak menahannya. Tanpa banyak bicara petugas-petugas itupun
berusaha meringkus Sylvia. Jatuh-bangun nyonya ini untuk
melepaskan diri dari tangan yang ingin menyeretnya dengan paksa.
"Sambil memukuli dan menendangi kami", seperti cerita sang
petugas, "Sylvia berteriak: apa kamu ini budak-budak Jepang?
Nanti saya telepon Kejaksaan Agung...nanti saya mau surati
negara saya...nanti kamu semua akan saya masukkan koran...".
Selesai mengurus Sylvia -- sementara Gunawan diperiksa --
petugas menemukan pelat nomor polisi B 2537 AA di dalam Mini
Cooper. Mestinya nomor itu menempel di mobil Corolla milik
Gunawan. Pengusutan segera saja dilanjutkan ke rumah Gunawan di
Jalan Tegalan. Hasilnya: mobil milik TAM yang hilang itu memang
nongkrong di dekat sana dan sudan bernomir polisi B 984.
Menurut penelitian, nomor itu seharusnya tertera pada sebuah
mobil lain, merek Chevrolet tahun 1956 atas nama sebuah CV di
Jalan Tegalan itu juga. Untuk sementara fihak TM mempunyai
sangkaan: Gunawan sengaja mengeluarkan mobil milik perusahaan
dengan cara menempelkan pelat nomor mobilnya sendiri, untuk
mengelabui petugas. Inilah yang dilaporkan kepada polisi.
Sylvia, kepada TEMPO, punya cerita sendiri. Tanpa tahu sebabnya,
katanya, ia diuber petugas TAM sehabis mengantar suaminya. Kaca
mobil digedor hingga pecah sembari diteriaki'maling' segala.
Ketika ia menolak diajak turun dari mobil, ia diseret dengan
paksa. Katanya juga, ia menerima beberapa kali pukulan dan
tendangan di pantatnya. Ia merasa dirinya diseret di antara
jalan berbatu dan berlumpur -- jatuh bangun tidak keruan.
"Padahal saya ketika itu sedang sakit", keluhnya. Ketika ia
menolak diseret dan hendak dimasukkan ke sebuah gudang, katanya,
seorang petugas memencet biji matanya hingga memecahkan kontak
lensa dan melukai matanya. Untuk yang disebutnya sebagai
"penganiayaan" ini. Sylvia bertekad untuk memperkarakan melalui
bantuan hukum dari LBH. Gunawan sendiri, seperti ceritanya
kepada TEMPO, "hanya ingin pinjam mobil itu sementara saja, cuma
sampai jam tiga sore saja". Itupun, katanya lagi, bukan untuk
keperluan dirinya sendiri. Tapi "akan saya pinjamkan kepada
teman akrab saya". Sedianya mobilnya sendiri yang akan
dipinjamkannya. Tapi karena mobilnya harus masuk servis,
sementara hari itu hari Sabtu, maka Gunawan mengambil
kebijaksanaan: pinjam mobil pabrik -- yang baru sama sekali
tanpa izin. Dia tampak menyesal: "Niat mau menolong teman, malah
saya yang jadi kena perkara begini". Apapun pembelaan Gunawan
tampaknya fihak TAM ingin agar perkara itu berjalan terus
menurut hukum. Biarlah pengadilan nanti yang menentukan: adakah
Gunawan ini bisa disebut sebagai pencuri atau hanya sekedar
pinjam tanpa izin saja.
Adnan Buyung Nasution SH, pengacara yang dimintai pembelaannya
oleh Sylvia, berdiri di samping nyonya ini untuk mengurus empat
masalah: "penganiayaan, penghinaan, perampasan kemerdekaan dan
penahanan barang milik Sylvia -- mobil, buku dan kaca mata",
kata Buyung. Penabanan petugas TAM atas Sylvia -- dari jam 13.00
sampai jam 18.00 -- juga dikecam Buyung sebagai tindakan
sewenang-wenang. "Petugas perusahaan itu tak punya kekuasaan
polisionil, bukan?" Bukankah kemudian fihak TAM menyerahkan
urusan ini ke polisi? Eh, "tapi setelah berapa jam?" kata
pengacara ini. Dan perkara harus berjalan terus, agar tidak
timbul kesan "perusahaan yang kuat secara finansiil dan cukup
fasilitas itu lantas seolah-olah memiliki wilayah kedaulatan
sendiri", katanya. Pokoknya, ia tidak ingin ada kekuasaan yang
bisa disebut "negara dalam negara".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini