Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Timbunan bekas galian di comberan itu terlihat tak begitu padat. Tanah sisa galian masih berserakan di sana-sini. Di atas bekas galian tertancap bunga asoka dan pecah piring. Daun-daun bunga itu terlihat agak kering. Petugas taman sekolah menanam kembang itu dua pekan lalu.
Sebelumnya, selama bertahun-tahun, di dalam tanah itu—sedalam setengah meter—terkubur jasad Merry Grace alias Yosephine Keredok Payong dan dua bayi laki-lakinya. Merry adalah bekas suster yang sejak 2002 tiada kabarnya. Letak "kuburan" itu sekitar dua meter dari Ruang Kesiswaan Sekolah Menengah Kejuruan Santa Elisabeth, yang terletak di Desa Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. "Kami tak menyangka ada mayat di sini," kata Kepala Sekolah Santa Elisabeth, Suster Arnoldin Gadhin, Kamis pekan lalu kepada Tempo.
Ruang Kesiswaan itu dulu pernah ditempati Herman Jumat Massan, pastor dari Keuskupan Larantuka. Bangunan itu terpisah 20-an meter dari bangunan utama di kompleks yang sama. Dulu kompleks ini menjadi tempat para calon pastor menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) sebelum ditahbiskan. Herman bertugas sebagai pembantu pastor pembina dalam program itu. Kini kompleks tersebut berubah menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Santa Elisabeth.
Ahad, 27 Januari lalu, polisi menggali kuburan rahasia itu. Tiga jasad dikubur terpisah dengan jarak sekitar satu meter. Yang ditemukan pertama kali: rangka dua bayi. "Saya sampai histeris sewaktu kerangka anak pertama diangkat dari kubur," ujar Pater Piter Payong, juru bicara keluarga Merry, kepada Tempo.
Menjelang sore, di pojok taman, polisi menemukan jasad manusia dewasa yang bentuknya mirip mumi. Mayat itu terbungkus tikar, selimut, dan pakaian dalam. Dari barang yang melekat di tubuh jenazah, seperti cincin, rosario, dan kawat gigi, polisi serta keluarga Merry yakin itu jasad Merry, yang hilang sepuluh tahun silam.
Kabar penemuan mayat Merry pun segera menyebar. Seketika muncul desas-desus Merry meninggal karena dibunuh. Sewaktu jasad Merry disemayamkan di kantor polisi, pelayat berdatangan saban hari.
Jumlah pelayat makin melimpah ketika jasad Merry hendak dikirim ke Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, 4 Februari lalu. Ratusan orang menanti rombongan pembawa jenazah yang singgah di rumah saudara kandung Merry di Kota Larantuka, Flores Timur. Setelah rombongan menyeberangi Selat Gonzalu—yang memisahkan Adonara dan Pulau Flores—massa penyambut kian berjubel. Sekitar 500 sepeda motor dan mobil mengiringi jasad Merry sampai ke rumah keluarga di Desa Bajuntaa, Kecamatan Ile Boleng.
Di tengah suasana duka, ketegangan sempat melanda Desa Bajuntaa. Soalnya, di depan massa, seorang adik lelaki Merry sesumbar akan menuntut balas kematian kakak sulungnya. Pengurus gereja pun turun tangan menenangkan massa. "Kami tak mau terjadi tindakan anarkistis," kata Piter Payong, pastor yang memimpin upacara pemakaman Merry esok harinya.
Sedangkan di Sikka, bersamaan dengan pengantaran jenazah Merry, ada peristiwa yang luput dari pantauan orang. Polisi menjemput Herman, yang baru mendarat di Bandar Udara Frans Seda, Sikka. Herman saat itu bermaksud menuju Adonara. Menurut sumber Tempo, lewat berbagai cara, polisi memang meminta Herman "muncul" di Sikka.
Herman Jumat Massan, kini 45 tahun, berkenalan dengan Merry pada awal 1990-an. Waktu itu Merry belajar di susteran Hokeng, Flores Timur. Dia bergabung dengan tarekat suster Servae Spiritus Sanctus atau Misi Abdi Roh Kudus sejak Agustus 1985. Sama-sama berasal dari Pulau Adonara, keduanya segera akrab.
Hubungan Herman dan Merry makin lengket saat mereka sama-sama kuliah di Sekolah Teologi dan Filsafat Katolik Ledalero. Merry kuliah di sana sejak 1991 hingga 1995. "Di situlah cinta kami mulai bersemi," ujar Herman saat ditemui Tempo di kantor Kepolisian Resor Sikka, Rabu siang pekan lalu.
Setelah tamat sekolah teologi, Merry memilih keluar dari susteran. Dia bekerja sebagai relawan di Rumah Sakit Lela. Pada saat hampir bersamaan, Keuskupan Larantuka juga menugasi Herman ke pesisir selatan Flores itu. Dia menjadi pembantu pembina calon pastor di TOR Lela. Tempat yang berdekatan itu membuat Herman dan Merry makin sering bertemu.
Kepada teman-temannya, termasuk Arnoldin, adik angkatan Merry di susteran, baik Herman maupun Merry selalu mengaku mereka masih keluarga dekat. Kepada Tempo, Herman mengaku pertama kali berhubungan intim dengan Merry pada Mei 1998. "Di kamar saya," ucapnya.
Pada Desember 1998, Merry mengabari Herman bahwa dirinya hamil. Herman meminta Merry merahasiakan hal itu. Saban hari Merry mengikat perutnya dengan stagen ketat. Sebulan menjelang kelahiran, Merry diam-diam ikut tinggal di kamar Herman.
Suatu malam pada Juni 1999, Merry melahirkan bayi laki-laki. Si jabang bayi hanya sekali menjerit sebelum Herman membekap mulut dan hidungnya. "Tangan kiri saya di belakang kepala dia. Tangan kanan menutup mulut dan hidungnya," kata Herman.
Pada Januari 2001, Merry pindah kerja ke sebuah yayasan di Larantuka. Tapi hubungan asmara mereka tetap berjalan. Kali ini Herman yang sering mengunjungi pacarnya itu. "Kadang kami pulang bersama ke Adonara," ujar Herman.
Sepuluh bulan berselang, Merry kembali mengaku hamil lagi. Atas saran Herman, Merry keluar dari yayasan. Dia pun datang lagi ke Sikka untuk tinggal satu kamar dengan Herman. Pada 1 Maret 2002, bayi kedua Merry lahir. Tapi, dari sini, berkembang dua versi cerita.
Versi pertama, pengakuan Herman kepada polisi, dia menyatakan tak menyaksikan kelahiran bayi kedua Merry karena menghadiri acara di Seminari Retapiret, 30 kilometer dari lokasi TOR Lela. Sewaktu pulang esok harinya, Herman melihat bayi laki-laki yang dilahirkan Merry telah meninggal.
Sepekan di kamar Herman, Merry terus mengalami perdarahan. Herman mengatakan ia sempat mengajak Merry ke rumah sakit, tapi perempuan itu menolak. Akhirnya Herman membeli peralatan infus dan memasangnya di tangan Merry, tapi sia-sia. Pada 10 Maret 2002, menjelang tengah malam, Merry—saat itu 36 tahun—meninggal. Esok harinya Herman menggali lubang di depan kamarnya—yang kini jadi Ruang Kesiswaan—untuk mengubur jasad Merry.
Agar kematian Merry tak terbongkar, Herman mengirim surat kepada keluarga Merry di Adonara. Berpura-pura sebagai Merry, Herman meminta keluarga tak mencari-cari Merry, yang akan bekerja jauh di luar Flores.
Empat tahun kemudian, Herman pindah tugas ke Hokeng untuk mengurus usaha perkebunan milik Keuskupan Larantuka. Pada 2008, Keuskupan Larantuka bermaksud memindahkan dia ke Kalikasa, Lembata. Herman menolak. Sejak itu, dia mengaku mengundurkan diri sebagai pastor. Herman lantas merantau ke Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan bekerja di perusahaan kayu lapis.
Sebelum menahan Herman, polisi sudah mengantongi versi cerita berbeda soal kematian Merry dan anak keduanya. Alkisah, sewaktu bekerja di Hokeng, Herman mengenal perempuan lain—sebut saja Sonya. Perempuan ini dekat dengan Herman karena sama-sama berbisnis hasil perkebunan. Saking akrabnya, Herman sering curhat soal hubungannya dengan Merry kepada Sonya. Dia pun mengaku mencekik Merry dan anak keduanya hingga tewas. Untuk menunjukkan penyesalan, Herman mengajak Sonya berziarah ke kuburan Merry.
Pada 2010, Sonya menceritakan pengakuan Herman itu kepada Piter Payong, yang masih kerabat Merry. Untuk menguji kesaksian Sonya, keluarga Merry memasang iklan kehilangan orang di media. Dua tahun ditunggu, Merry tak kunjung kembali. Akhirnya, awal Januari lalu, keluarga melaporkan kasus Merry ke Polres Sikka.
Polisi masih menyelidiki penyebab kematian Merry dan bayi keduanya. Menurut Wakil Kepala Polres Sikka Nugroho, pihaknya tak begitu saja mempercayai keterangan Herman. Kendati demikian, mereka juga tak langsung percaya cerita versi Sonya. "Kami masih menunggu hasil uji forensik," kata Wakil Kepala Polres Nugroho.
Kasus "cinta terlarang" Herman-Merry yang berakhir tragis itu kini jadi buah bibir dan pemberitaan ramai di media setempat. Uskup Maumere, Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD, mengatakan kasus Herman dan Merry harus menjadi pelajaran bagi para pastor dan suster. Mereka diminta tak menganggap punya hak istimewa untuk menutup diri. "Jika ada kesalahan, sebaiknya disampaikan untuk dikoreksi," ucap Gerulfus kepada Tempo.
Jajang J. (Jakarta), Yohanes Seo (Maumere)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo