Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Biar Lambat Anas Selamat

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EPISODE tentang Anas Urbaningrum dalam kasus suap proyek Hambalang di Sentul, Bogor, Jawa Barat, menunjukkan betapa kacaunya Komisi Pemberantasan Korupsi. Walau sudah menemukan dua bukti permulaan, pimpinan KPK malah bertengkar saat hendak memutuskan status tersangka Ketua Umum Partai Demokrat itu. Sebagian menyatakan Anas sudah menjadi tersangka, sebagian lagi menolak. Kejadian ini merupakan kemunduran besar dalam pengusutan skandal proyek Rp 2,5 triliun itu.

Atas dasar apa sebagian pimpinan KPK menunda-nunda penetapan status Anas sebagai tersangka? Apakah lantaran bukti suapnya kurang dari Rp 1 miliar, seperti yang disampaikan salah seorang wakil ketua komisi antikorupsi, Adnan Pandu Praja? Argumen ini jelas ngawur dan mudah disanggah karena Komisi sesungguhnya pernah menangani kasus suap yang nilainya di bawah Rp 1 miliar.

Mereka pernah menangkap Kartini Marpaung. Hakim itu menerima "uang terima kasih" Rp 150 juta dalam kasus korupsi pengadaan mobil dinas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Grobogan, Jawa Tengah, senilai Rp 1,9 miliar. Lembaga antirasuah itu juga mencokok Ibrahim, hakim pengadilan tata usaha negara, pada Maret 2010. Pak Hakim yang tak terhormat ini menerima sogokan Rp 300 juta dalam kasus sengketa tanah. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta lalu mengganjar Ibrahim dengan vonis enam tahun penjara.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah menyodorkan keterangan gamblang tentang kriteria Rp 1 miliar itu. Kriteria ini merupakan ambang kerugian negara yang timbul akibat perbuatan melanggar hukum pidana korupsi, seperti penggelembungan anggaran atau rekayasa proyekā€”bukan besaran suap. Jangankan suap, gratifikasi pun, meski cuma satu perak, 500 perak, atau setengah miliar, KPK tetap boleh menelisiknya.

Jejak suap perkara Anas ini sangatlah terang-benderang. Dia menerima hadiah mobil mewah Toyota Harrier saat menjabat Ketua Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat. Itu jelas haram hukumnya dan tak perlu ada perdebatan soal ini. KPK juga telah mengantongi bukti faktur pembelian mobil bernomor B-15-AUD itu atas nama Anas Urbaningrum. Faktur itu bertanggal 19 Oktober 2010, beberapa pekan setelah mantan Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam itu dilantik menjadi anggota DPR. Jika Anas masih juga ngotot menampik soal ini, mengapa dia memasukkan mobil seharga Rp 670 juta itu ke daftar harta kekayaan yang dilaporkannya pada 23 Februari 2010?

Mencari bukti keterlibatan Anas dalam perkara yang lebih besar boleh-boleh saja. Mencari jejak aliran duit puluhan miliar rupiah yang dihambur-hamburkan untuk membeli suara dukungan buat Anas selama Kongres Partai Demokrat pada 2010 juga tak salah. Namun hal ini tak boleh dijadikan alasan mengulur-ulur penyidikan. Syak wasangka pun muncul: jangan-jangan ada skenario perlambatan atau bahkan penjegalan dari lingkungan dalam KPK agar Anas selamat. Rumor yang ramai jadi bahan gunjingan publik inilah yang harus dijernihkan.

Cara mengungkapnya sederhana saja. Telusuri saja asal-muasal pembelian Toyota Harrier. Investigasi bisa dimulai dengan menelusuri sumber duit, follow the money, yakni PT Adhi Karya. Uang itu lalu mengalir ke Grup Permai, yang menjadi subkontraktor proyek Hambalang. Ujungnya, uang dibelikan mobil yang berlabuh di garasi rumah megah Anas. Politikus muda ini diduga menjual pengaruh agar perusahaan itu mulus menangani proyek pembangunan pusat olahraga di kawasan Sentul, Bogor, tersebut.

Sebagian pimpinan Komisi berkukuh menolak meningkatkan status Anas, lantaran berharap ada bukti yang lebih besar. Alasan ini terkesan mengada-ada, karena peningkatan status Anas dari penyelidikan ke penyidikan tak menghambat upaya penelusuran bukti yang lebih besar.

Sangat disayangkan bila KPK masih berkutat pada soal beredarnya salinan rancangan surat perintah penyidikan yang menyebut Anas tersangka. Kebocoran dokumen penting ini serahkan saja kepada pengawas internal agar ditelisik, lalu diteruskan ke sidang etik. Pendek kata, persoalan ini sejatinya bisa diselesaikan tanpa harus ribut-ribut, saling membantah, dan saling menyalahkan di media massa. Seperti kata pepatah: ambil ikannya tanpa membuat keruh airnya.

Kredibilitas Komisi tak boleh hancur hanya karena ada riak-riak kecil perbedaan pendapat. Jika kemelut ini dibiarkan terus meletik, kepercayaan publik bisa runtuh. Pamor lembaga yang baru berusia 10 tahun ini bisa semakin babak-belur. Khalayak akan sangat kecewa. Para koruptor akan bertempik sorak dan menari-nari kegirangan, merayakan kebodohan para komisioner yang seharusnya kompak ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus