Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Coba-coba, Lalu Ketagihan

Tak hanya dari diskotek, sebagian artis justru mendapatkan narkoba langsung dari pengedar.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Coba-coba, Lalu Ketagihan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Suatu saat tubuh Bimbim tiba-tiba terasa sakit sekali, lalu menggigil kedinginan. Dia tengah sakaw alias ketagihan putaw. Karena tidak bisa menahan derita, personel grup musik Slank ini buru-buru mengangkat telepon rumahnya untuk memesan putaw.

Tidak lama berselang, bandar barang haram itu pun datang dengan mengendarai sepeda motor. Mendengar deru sepeda motor, Bunda Ivet segera melongok dari dalam rumahnya di Jalan Potlot, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Dia tahu betul kebiasaan anaknya, Bimbim, yang sering memanggil pengedar obat terlarang itu. Setelah yakin yang datang adalah pemasok putaw, Sang Ibu langsung berteriak,” Polisi...! Bandar datang.”

Belum sempat masuk rumah, pengedar putaw itu langsung balik kanan, lalu tancap gas. Dia meloloskan diri sambil melempar sebuah bungkusan ke sungai. Polisi yang selalu bersiaga di dekat rumah Bimbim menemukan bungkusan itu berisi 30 gram heroin.

Peristiwa itu terjadi pada awal Januari lima tahun silam, ketika Bimbim sedang menjalani penyembuhan dari kecanduan narkoba (narkotik dan obat berbahaya). ”Saat itu saya sedang diobati tapi saya nggak tahan, makanya telepon pengedar,” ujarnya. Bimbim menjalani pengobatan bersama dua personel Slank lainnya, Kaka dan Ivan, yang juga kecanduan narkoba.

Saat itulah Bimbim dan kawan-kawannya dikurung di rumahnya di Jalan Potlot yang juga menjadi markas Slank. Mereka juga harus minum obat dari Teguh Wijaya, seorang ahli obat Cina, selama 10 hari. Selama pengobatan ketiganya tidak boleh memegang telepon seluler, uang, ataupun kartu kredit.

Bunda Ivet berusaha menyembuhkan mereka ketika ia menjadi manajer grup musik itu pada 1999. Mula-mula ia curiga karena tubuh para personel Slank tampak kurus kering dan produktivitasnya menurun. Ternyata dugaannya benar, mereka telah kecanduan narkoba.

Tiga personel grup musik rock itu sudah mengenal narkoba sejak 1993. Ketika sedang mengadakan pertunjukan di Bali, tiba-tiba seorang pemandu wisata datang menawari putaw. ”Saat itu saya tak tahu putaw itu apa,” kata Kaka, yang bernama lengkap Akhadi Wira Satriaji. Begitu heroin diisap, perutnya terasa mual. Dia pun muntah. Tapi itu tak berlangsung lama, setelahnya ia malah ketagihan.

Di Jakarta, rupanya tak sulit memperoleh heroin. Kaka tinggal angkat telepon, lalu sang pengedar narkoba yang tinggal di sekitar rumahnya itu langsung membawakan pesanan. Setiap harinya, Kaka menghabiskan satu gram heroin seharga Rp 350 ribu. Kebiasaan ini berlangsung selama tujuh tahun.

Kini semua sudah berlalu. Melalui perjuangan keras, akhirnya mereka bisa bebas dari narkoba. ”Alhamdulillah, sekarang mereka sudah sembuh,” kata Bunda Ivet.

Bukan berarti narkoba sudah benar-benar menjauhi kehidupan para artis. Diduga banyak dari mereka yang masih akrab dengan barang haram seperti putaw dan ekstasi sampai sekarang. Dugaan ini mencuat lagi pada akhir Juli lalu, setelah Polda Metro Jaya merazia tempat hiburan Dragon Fly, di gedung BIP, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Dalam operasi itu, para pengunjung—antara lain artis Vicky Burky dan Ria Irawan—diperiksa urinenya. Mereka juga sempat digelandang ke kantor polisi.

Siang harinya, Kepala Kepolisian Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Polisi Firman Gani, sempat menyebut status Ria Irawan sebagai tersangka kasus pemakaian ekstasi. Namun akhirnya Ria dilepas karena kurang bukti. Pengacara Ria Irawan, Arnaldo J.R. Soares, pun menyangkal dugaan itu. ”Nggak ada bukti mengindikasikan bahwa dia sedang memakai,” katanya.

Kenapa artis gampang tergoda ekstasi? Ini karena pergaulan mereka sehari-hari. Biasanya para artis mengenal ekstasi dari rekan-rekannya sendiri. Itulah yang diungkapkan oleh Connie Constantia, penyanyi yang sempat ngetop pada tahun 1990-an. Dulu dia juga dikenal sebagai pemakai ekstasi, tapi sekarang mengaku sudah tidak lagi. ”Saya harus keluar, karena bisa mencelakakan,” katanya. Tekad itu muncul setelah ia melihat orang-orang yang mengkonsumsi pil setan itu, satu per satu organ tubuhnya rusak.

Connie pun sempat merasakan pengaruh jelek ekstasi. ”Kulit muka saya jadi kering. Saya juga jadi lupa segalanya,” katanya. Semula ia tidak tahu bahwa pil ekstasi termasuk jenis narkoba. ”Cuma dibilang buat doping,” katanya. Memang, badannya terasa lebih segar dan bisa bernyanyi dengan kuat. Tapi hanya sesaat, setelah itu tenaganya terkuras.

Ketika badannya jadi lemah, ia kembali menelan ekstasi. Sampai-sampai hampir setiap hari Connie selalu menelan satu butir pil seharga Rp 250 ribu. Hari-hari kelam ini dilakoninya selama setahun. Saat butuh, ia dan teman-temannya memesan sekaligus 50 butir kepada si bandar. Jika akhir pekan tiba, Connie berkumpul di rumah temannya, lalu menggunakannya beramai-ramai. Semua itu terjadi sepuluh tahun lalu. Kini, penyanyi yang telah menelurkan album lagu Kamus Cinta Sang Primadona itu benar-benar sudah kapok.

Penyanyi Hedi Yunus juga termasuk pemakai ekstasi yang sudah insyaf. Vokalis grup band Kahitna ini sempat mengkonsumsi ekstasi sekitar tahun 1995. Perkenalannya dengan pil terlarang itu bukan keinginannya, melainkan karena dicekokin oleh sahabat-sahabat dekatnya. ”Katanya, ini buat persahabatan,” tutur Hedi.

Setelah itu, ia jadi ketagihan. Setiap hari Hedi selalu pergi ke diskotek untuk mengkonsumsi ekstasi. Barang-barang itu bisa dengan mudah didapatnya dari teman-temannya di sana. Kalaupun harus beli, ia tinggal memesannya ke bandar di diskotik itu. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 35 ribu hingga Rp 75 ribu.

Selama satu setengah tahun ia memakainya, lalu berhenti sendiri. Tiga bulan kemudian, Hedi malah terjerat shabu-shabu, jenis narkoba yang lebih berbahaya. ”Saat itu saya sendiri yang memang mau nyoba,” katanya. Karena ketagihan, dia sering sekali memesan ke sahabatnya di luar artis, yang juga bandar narkoba. Sekali pesan lima gram shabu-shabu, yang dihabiskannya dalam waktu satu minggu.

Setelah tiga tahun jadi pecandu shabu-shabu, suatu hari Hedi berniat berhenti. Niatnya makin kuat ketika seorang sahabatnya mengabarkan bahwa Hedi sudah masuk dalam daftar orang yang dicari polisi. Akhirnya ia rela melalui hari-hari yang berat tanpa narkoba. Untuk mengatasi rasa ketagihan, Hedi mendekatkan diri pada Tuhan. Dibantu seorang ustad, ia mendalami ilmu agama. ”Segala jalan saya lakukan. Kalau nggak lari ke agama, nggak mungkin saya bisa berhenti total,” katanya.

Beruntung Hedi tidak sampai ditangkap polisi seperti yang dialami pelawak Doyok. Lima tahun lalu, lelaki bernama asli Sudarmaji ini harus ditahan karena menyimpan shabu-shabu. Polisi menciduk Doyok di rumahnya di daerah Karawaci, Tangerang. Ia tertangkap tangan memiliki setengah gram shabu-shabu. Akibatnya, pelawak berbadan kurus ini harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda, Tangerang, selama 11 bulan.

Masuk penjara membuat Doyok ogah mengkonsumsi narkoba lagi. ”Saya kapok,” katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Dia merasa telah mengorbankan keluarga dan kariernya. Selama di penjara, Doyok selalu merenungi nasibnya. ”Saat itu saya berpikir, apa yang kurang kuat pada diri saya. Agamanya atau pergaulan saya yang gegabah,” ujarnya.

Dia mengaku pertama kali mengenal narkoba dari temannya di luar lingkungan artis. Awalnya, Doyok hanya coba-coba, lalu keasyikan. ”Lha, kok enak buat kerja, stamina jadi naik,” katanya. Sejak itu, ia terus mengkonsumsinya.

Satu gram shabu-shabu seharga Rp 500 ribu selalu dibelinya untuk persediaan dua minggu. Jika butuh barang itu, ia tinggal menelepon pengedarnya, yang kemudian mengantarkannya ke tempat yang sudah disepakati.

Shabu-shabu itu untuk dipakai sendiri. Doyok biasa menghirupnya di kamar pribadi. Tak kurang dari enam bulan dia menjalani kebiasaan ini. Keluarganya tak ada yang tahu, sampai akhirnya ia ditangkap.

Setelah keluar dari penjara, Doyok berusaha menjauh dari lingkungan yang bisa menjerumuskannya ke lubang yang sama. Kini dia mengaku sudah tidak mengkonsumsi lagi barang haram itu. ”Saya sudah berhenti total,” katanya.

Lis Yuliawati, Eni Saeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus