UNIVERSITAS kita mungkin punya cinta, mungkin punya pesta --
tapi apapunya buku? Mungkin tidak. Yang pasti punya percetakan.
Bulan kemarin, lima perguruan tinggi negeri yang telah memiliki
percetakan offset hadiah pemerintah Belanda, untuk pertama
kalinya telah mengadakan Rapat Kerja. ITB, Gama, Airlangga,
Hasanuddin dan IKIP Semarang yang telah mengadakan pertemuan itu
di Surabaya, selain berhasil merumuskan niat untuk antara lain
menerbitkan katalog bersama, menerbitkan newsletter, dan
menginginkan dirinya berfungsi sebagai University Publishing
House, juga sempat membentuk Sekretariat Kerja Sama Antar
Lembaga Penerbitan Universitas.
Wadah semacam BKS yang keanggotaannya terbuka bagi setiap
perguruan tinggi negeri itu (asal bertingkat universitas,
sekalipun belum memiliki percetakan) di samping untuk memenuhi
kebutuhan cetak mencetak universitas masing-masing, aktivitas
dan kemampuan produksinya terutama dicurahkan pada penerbitan
naskah-naskah ilmiah dan ilmiah populer.
Tujuan yang serupa juga jelas tergambar pada Yayasan Penerbit UI
milik Universitas Indonesia, yang telah memiliki alat cetak
sumbangan Ford Foundation sejak 1972 yang lalu. Disebutkan oleh
yayasan penerbit yang Ketua Badan Pengawasnya dipegang oleh
Prof. Mahar Mardjono (ex offcio) sebagai rektor sifat
kegiatannya: mendorong penelitian penulisan karya-karya ilmiah,
menerbitkan karya ilmiah serta menyalurkannya kepada masyarakat
dan mahasiswa, menterjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang
ditulis dalam bahasa asing sesuai dengan kebutuhannya. Yayasan
Penerbit UI, belum menjadi anggota BKS itu. Tapi dapatkah
lembaga penerbitan universitas itu hidup kokoh?
Meragukan
Pertanyaan yang juga timbul dalam pertemuan antara lima
University Presses itu, tentu saja berangkat dari kenyataan
adanya penerbit-penerbit swasta, yang selain lebih berpengalaman
juga bermodal besar.
Karena itu menurut J. Sirie, Direktur Pusat Grafika Indonesia
(PGI), penerbit-penerbit swasta itu bukan tandingan. Bahkan
karena mesti bersaing dengan mereka itu, "kecil kemungkinannya
University Press bisa menerbitkan naskah-naskah ilmiah yang
ditawarkan, sekalipun yang datangnya dari Ditjen Pendidikan
Tinggi", ucap Sirie. Dan Direktur PGI itu meragukan, apakah
buku-buku yang diterbitkan oleh Yayasan Penerbit UI selama ini,
benar-benar dibikin oleh percetakan sendiri.
Benar atau tidak, Yayasan Penerbit UI saat ini memang tidak
menggembirakan. "Sepi, jarang ada naskah buku yang masuk, dan
cukup lama kami menunggu order dari Departemen P & K, tapi belum
juga datang", ucap Drs. Sasanasurya, Direktur Yayasan Penerbit
UI.
Order dari luar universitas memang ada. Misalnya dari Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Keuangan. Tapi dalam
jumlah yang kecil. Sama jumlahnya dengan order yang datang dari
kalangan universitas sendiri. Katanya, Fakultas Ilmu-llmu Sosial
yang pernah menawarkan untuk mencetak enam buku, sampai sekarang
tak ada kabarnya lagi.
Nampaknya dari kalangan universitas sendiri ada keengganan untuk
mencetak buku-bukunya lewat Yayasan Penerbit UI. Lembaga
Penerbit FEUI misalnya (satu-satunya fakultas di lingkungan UI
yang memiliki lembaga penerbitan) yang sudah ada sejak tahun
1964, selama ini baru satu kali saja mencetak bukunya di Yayasan
Penerbit UI. Selebihnya dilakukan di NV Masa Baru, Bandung.
Alasannya? "Selain untuk mempertahankan hubungan lama dengan
percetakan di Bandung itu, percetakan milik Yayasan Penerbit UI
di samping kapasitasnya terbatas, harganya pun kurang menarik",
ucap Basuki Sawarsono, Direktur Lembaga Penerbit FEUI.
Dipikir 2 x
Nah, apakah Yayasan Penerbit UI yang sudah memiliki percetakan
sendiri itu bisa menguntungkan? "Hasil jerih payah kami ini
hanya pas-pasan untuk menutupi ongkos pemeliharaan mesin dan
gedung saja", ucap Sasanasurya, "Ford Foundation sudah
menghentikan bantuannya sejak 1975 kemarin, dari universitas
sulit diharapkan bantuannya, apa boleh buat, kami hidup hanya
untuk membuktikan bahwa kami tidak mati dan masih bekerja
walaupun seadanya".
Jadi, bergunakah lembaga penerbitan universitas memiliki
percetakan sendiri? Melihat contoh UI, nampaknya nafsu untuk
punya alat percetakan sendiri mesti dipikir dua kali. Bantuan
Ford Foundation berupa dua mesin Linotype Electron seharga US S
200 ribu, yang diterima UI itu, sempat nganggur selama dua tahun
dan hampir jadi besi tua. Karena alat cetak itu tidak lengkap.
IPB pernah juga mendapat bantuan serupa dari Kentucky Team, tapi
karena tanpa bantuan lain berupa bimbingan misalnya, mesin cetak
itu kabarnya hingga sekarang belum jalan.
Belum pasti benar, apakah nasib kelima University Press yang
memiliki Type-Writer Typographi lengkap dengan kamera
reproduksi, film dan mesin cetak Offset Rotaprint kecil seharga
Rp 25 juta sejak tahun 1971 itu akan lebih baik dari pada UI
atau IPB. Tapi yang jelas bantuan yang tidak tanggung-tanggung
dari pemerintah Belanda dan PGI misalnya dengan kesempatan
pendidikan mengenai teknis penerbitan, masing-masing satu orang
dari lima universitas itu selama enam bulan di Negeri Belanda,
agaknya bisa membuat alat cetak itu tidak mubajir.
Lewat tenaga didikan Belanda dan beberapa gemblengan PGI di
Jakarta, kelima University Press itu merangkak mulai dengan
cetak mencetak diktat, formulir dan kebutuhan universitas
lainnya. Menurut J. Sirie, setelah lima tahun ini, sudah banyak
yang berkembang.
Gama misalnya sudah berhasil membeli satu lagi mesin Sona
Offset, dan sudah berhasil mencetak 113 judul buku. Airlangga
dan Hasanuddin, selain sudah membeli unit percetakan yang lebih
nesar, mereka juga memiliki gedung baru. ITB, walaupun tetap
dengan gedung dan mesin lama, University Pressnya sangat
efektif, karena dipakai untuk menerbitkan karya-karya ilmiah dan
riset yang laku dipasarkan di kampusnya sendiri. IKIP Semarang
memang yang agak seret perkembangannya. Tapi, menurut Sirie
lagi, itu karena selain fakultasnya sedikit, mahasiswanya pun
cuma 2500 orang.
Tidak jelas, apakah penambahan mesin cetak atau gedung baru itu
akibat keuntungan yang diperoleh University Press masing-masing.
Atau karena ada bantuan dari universitasnya. Yang jelas dari P &
K memang ada niat untuk membantu. "Saya tawarkan kepada
University Press untuk mencetak naskah-naskah ilmiah, yang 20%
dari buku-buku itu nanti akan dibeli P & K untuk dibagi-bagikan
kepada universitas-universitas yang memerlukan", ucap Drs.
Syahrial Wahab, Kepala Proyek Pengadaan/penterjemahan buku P &
K.
Selain sudah ada enam judul yang diterbitkan UI, satu judul
sedang dikerjakan Gama, saat ini, menurut Syahrial, sedang
ditawarkan 16 judul buku ilmiah kepada University Press, Balai
Pustaka dan Ikapi. "University Press harus belajar bisnis yang
sungguh-sungguh, sebab mereka harus berhadapan dengan Balai
Pustaka dan Ikapi", ucap Syahrial lagi, "tapi bila penawaran
harga sama, saya akan memberi prioritas kepada Univesity Press".
Itu, kalau harga sama. Kalau tidak? Yayasan Penerbit UI rasanya
bisa dijadikan pelajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini