Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Percetakan, Bung, Tak Ada Gunanya

Universitas airlangga, gajah mada, hasanuddin, itb, ikip semarang mendapat mesin offset, tapi kurang mendapat pesanan mencetak. universitas indonesia mendapat mesin cetak dari ford foundation. (pdk)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNIVERSITAS kita mungkin punya cinta, mungkin punya pesta -- tapi apapunya buku? Mungkin tidak. Yang pasti punya percetakan. Bulan kemarin, lima perguruan tinggi negeri yang telah memiliki percetakan offset hadiah pemerintah Belanda, untuk pertama kalinya telah mengadakan Rapat Kerja. ITB, Gama, Airlangga, Hasanuddin dan IKIP Semarang yang telah mengadakan pertemuan itu di Surabaya, selain berhasil merumuskan niat untuk antara lain menerbitkan katalog bersama, menerbitkan newsletter, dan menginginkan dirinya berfungsi sebagai University Publishing House, juga sempat membentuk Sekretariat Kerja Sama Antar Lembaga Penerbitan Universitas. Wadah semacam BKS yang keanggotaannya terbuka bagi setiap perguruan tinggi negeri itu (asal bertingkat universitas, sekalipun belum memiliki percetakan) di samping untuk memenuhi kebutuhan cetak mencetak universitas masing-masing, aktivitas dan kemampuan produksinya terutama dicurahkan pada penerbitan naskah-naskah ilmiah dan ilmiah populer. Tujuan yang serupa juga jelas tergambar pada Yayasan Penerbit UI milik Universitas Indonesia, yang telah memiliki alat cetak sumbangan Ford Foundation sejak 1972 yang lalu. Disebutkan oleh yayasan penerbit yang Ketua Badan Pengawasnya dipegang oleh Prof. Mahar Mardjono (ex offcio) sebagai rektor sifat kegiatannya: mendorong penelitian penulisan karya-karya ilmiah, menerbitkan karya ilmiah serta menyalurkannya kepada masyarakat dan mahasiswa, menterjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang ditulis dalam bahasa asing sesuai dengan kebutuhannya. Yayasan Penerbit UI, belum menjadi anggota BKS itu. Tapi dapatkah lembaga penerbitan universitas itu hidup kokoh? Meragukan Pertanyaan yang juga timbul dalam pertemuan antara lima University Presses itu, tentu saja berangkat dari kenyataan adanya penerbit-penerbit swasta, yang selain lebih berpengalaman juga bermodal besar. Karena itu menurut J. Sirie, Direktur Pusat Grafika Indonesia (PGI), penerbit-penerbit swasta itu bukan tandingan. Bahkan karena mesti bersaing dengan mereka itu, "kecil kemungkinannya University Press bisa menerbitkan naskah-naskah ilmiah yang ditawarkan, sekalipun yang datangnya dari Ditjen Pendidikan Tinggi", ucap Sirie. Dan Direktur PGI itu meragukan, apakah buku-buku yang diterbitkan oleh Yayasan Penerbit UI selama ini, benar-benar dibikin oleh percetakan sendiri. Benar atau tidak, Yayasan Penerbit UI saat ini memang tidak menggembirakan. "Sepi, jarang ada naskah buku yang masuk, dan cukup lama kami menunggu order dari Departemen P & K, tapi belum juga datang", ucap Drs. Sasanasurya, Direktur Yayasan Penerbit UI. Order dari luar universitas memang ada. Misalnya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Keuangan. Tapi dalam jumlah yang kecil. Sama jumlahnya dengan order yang datang dari kalangan universitas sendiri. Katanya, Fakultas Ilmu-llmu Sosial yang pernah menawarkan untuk mencetak enam buku, sampai sekarang tak ada kabarnya lagi. Nampaknya dari kalangan universitas sendiri ada keengganan untuk mencetak buku-bukunya lewat Yayasan Penerbit UI. Lembaga Penerbit FEUI misalnya (satu-satunya fakultas di lingkungan UI yang memiliki lembaga penerbitan) yang sudah ada sejak tahun 1964, selama ini baru satu kali saja mencetak bukunya di Yayasan Penerbit UI. Selebihnya dilakukan di NV Masa Baru, Bandung. Alasannya? "Selain untuk mempertahankan hubungan lama dengan percetakan di Bandung itu, percetakan milik Yayasan Penerbit UI di samping kapasitasnya terbatas, harganya pun kurang menarik", ucap Basuki Sawarsono, Direktur Lembaga Penerbit FEUI. Dipikir 2 x Nah, apakah Yayasan Penerbit UI yang sudah memiliki percetakan sendiri itu bisa menguntungkan? "Hasil jerih payah kami ini hanya pas-pasan untuk menutupi ongkos pemeliharaan mesin dan gedung saja", ucap Sasanasurya, "Ford Foundation sudah menghentikan bantuannya sejak 1975 kemarin, dari universitas sulit diharapkan bantuannya, apa boleh buat, kami hidup hanya untuk membuktikan bahwa kami tidak mati dan masih bekerja walaupun seadanya". Jadi, bergunakah lembaga penerbitan universitas memiliki percetakan sendiri? Melihat contoh UI, nampaknya nafsu untuk punya alat percetakan sendiri mesti dipikir dua kali. Bantuan Ford Foundation berupa dua mesin Linotype Electron seharga US S 200 ribu, yang diterima UI itu, sempat nganggur selama dua tahun dan hampir jadi besi tua. Karena alat cetak itu tidak lengkap. IPB pernah juga mendapat bantuan serupa dari Kentucky Team, tapi karena tanpa bantuan lain berupa bimbingan misalnya, mesin cetak itu kabarnya hingga sekarang belum jalan. Belum pasti benar, apakah nasib kelima University Press yang memiliki Type-Writer Typographi lengkap dengan kamera reproduksi, film dan mesin cetak Offset Rotaprint kecil seharga Rp 25 juta sejak tahun 1971 itu akan lebih baik dari pada UI atau IPB. Tapi yang jelas bantuan yang tidak tanggung-tanggung dari pemerintah Belanda dan PGI misalnya dengan kesempatan pendidikan mengenai teknis penerbitan, masing-masing satu orang dari lima universitas itu selama enam bulan di Negeri Belanda, agaknya bisa membuat alat cetak itu tidak mubajir. Lewat tenaga didikan Belanda dan beberapa gemblengan PGI di Jakarta, kelima University Press itu merangkak mulai dengan cetak mencetak diktat, formulir dan kebutuhan universitas lainnya. Menurut J. Sirie, setelah lima tahun ini, sudah banyak yang berkembang. Gama misalnya sudah berhasil membeli satu lagi mesin Sona Offset, dan sudah berhasil mencetak 113 judul buku. Airlangga dan Hasanuddin, selain sudah membeli unit percetakan yang lebih nesar, mereka juga memiliki gedung baru. ITB, walaupun tetap dengan gedung dan mesin lama, University Pressnya sangat efektif, karena dipakai untuk menerbitkan karya-karya ilmiah dan riset yang laku dipasarkan di kampusnya sendiri. IKIP Semarang memang yang agak seret perkembangannya. Tapi, menurut Sirie lagi, itu karena selain fakultasnya sedikit, mahasiswanya pun cuma 2500 orang. Tidak jelas, apakah penambahan mesin cetak atau gedung baru itu akibat keuntungan yang diperoleh University Press masing-masing. Atau karena ada bantuan dari universitasnya. Yang jelas dari P & K memang ada niat untuk membantu. "Saya tawarkan kepada University Press untuk mencetak naskah-naskah ilmiah, yang 20% dari buku-buku itu nanti akan dibeli P & K untuk dibagi-bagikan kepada universitas-universitas yang memerlukan", ucap Drs. Syahrial Wahab, Kepala Proyek Pengadaan/penterjemahan buku P & K. Selain sudah ada enam judul yang diterbitkan UI, satu judul sedang dikerjakan Gama, saat ini, menurut Syahrial, sedang ditawarkan 16 judul buku ilmiah kepada University Press, Balai Pustaka dan Ikapi. "University Press harus belajar bisnis yang sungguh-sungguh, sebab mereka harus berhadapan dengan Balai Pustaka dan Ikapi", ucap Syahrial lagi, "tapi bila penawaran harga sama, saya akan memberi prioritas kepada Univesity Press". Itu, kalau harga sama. Kalau tidak? Yayasan Penerbit UI rasanya bisa dijadikan pelajaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus