Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Laporan Kekayaan Janggal Jadi Bukti Awal

Pejabat di Kementerian Keuangan tersandung persoalan LHKPN. Kekayaan yang dilaporkan diduga tidak sesuai dengan kenyataan.

14 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rahmady Effendi Hutahaean dilaporkan ke KPK atas dugaan membuat LHKPN secara tidak jujur.

  • Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.

  • Keterbatasan undang-undang seharusnya jangan dijadikan alasan untuk tidak menindaklanjuti temuan LHKPN janggal.

KEMENTERIAN Keuangan mencopot Rahmady Effendi Hutahaean dari posisi Kepala Bea dan Cukai Purwakarta. Pencopotan itu dilakukan setelah Rahmady dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan membuat laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) secara tidak jujur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan Rahmady dibebastugaskan mulai 9 Mei 2024. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga telah memeriksa Rahmady. “Ditemukan indikasi terjadinya benturan kepentingan yang juga turut melibatkan keluarga yang bersangkutan,” kata Nirwala, Minggu, 12 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun pelapor adalah seorang pengacara bernama Andreas. Sebelum melapor ke KPK, Andreas sudah dua kali melaporkan Rahmady ke Kementerian Keuangan, yaitu pada 28 Maret dan 22 April 2024. Laporan itu didasarkan atas persoalan bisnis antara kliennya, Wijanto Tritasana, dan Rahmady. 

Wijanto dan Rahmady menjalin kerja sama di bidang jasa ekspor serta impor sejak 2017. Wijanto disebut meminjam uang kepada Rahmady sebesar Rp 7 miliar untuk membangun PT Mitra Cipta Agro. Belakangan, kerja sama itu retak. Rahmady bersama istrinya dituding mendepak Wijanto dari perusahaan melalui rapat umum pemegang saham (RUPS). “Setelah timbul masalah, klien kami dikeluarkan dari perusahaan,” kata Andreas. “Saat itulah klien kami baru tahu ternyata REH pejabat Bea dan Cukai.”  

Andreas menyebutkan, selama periode 2017-2022, Rahmady telah mendapat keuntungan dari hasil kerja sama. Diperkirakan Rahmady telah mengumpulkan aset yang nilainya mencapai Rp 60 miliar. Namun aset ini tidak dicatatkan dalam LHKPN yang disetorkan Rahmady ke KPK pada 2022. Dalam laporan itu, Rahmady hanya mencantumkan nilai kekayaan sebesar Rp 6,39 miliar.

Berdasarkan LHKPN yang diterima KPK, pada 2017, Rahmady tercatat memiliki harta kekayaan Rp 3,25 miliar. Setahun kemudian jumlahnya naik menjadi Rp 3,94 miliar. Kemudian pada 2019 sebesar Rp 4,15 miliar, pada 2020 sebesar Rp 4,83 miliar, dan pada 2021 sebesar Rp 5,65 miliar.

Rahmady Effendi membantah tudingan Andreas. Dia menyatakan tidak terlibat dalam urusan PT Mitra Cipta Agro. Sebab, perusahaan itu dikelola oleh istrinya yang bekerja sama dengan Wijanto. Rahmady balik menuduh Andreas telah memutarbalikkan fakta. Tujuannya untuk melindungi Wijanto yang diduga menggelapkan uang PT Mitra Cipta Agro sebesar Rp 60 miliar. “Saya sudah pensiun kalau punya harga segitu,” ujarnya saat dihubungi, Jumat, 10 Mei lalu.

Rahmady bukanlah satu-satunya pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan yang tersandung persoalan LHKPN. Sebelumnya ada Rafael Alun Trisambodo, eks Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan; dan Andhi Pramono, eks Kepala Bea dan Cukai Makassar.

Rafael Alun Trisambodo setelah memenuhi panggilan tim Direktorat PP Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara KPK di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 1 Maret 2023. TEMPO/Imam Sukamto

Harta kekayaan Rafael menjadi sorotan setelah putranya tersandung kasus pidana. Sedangkan Andhi menarik perhatian KPK karena kerap mempertontonkan kekayaannya di media sosial. Dalam persidangan, mereka terbukti menerima suap dan gratifikasi.  

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, secara keseluruhan, lebih dari 300 ribu penyelenggara negara telah menyetorkan LHKPN. Komisi antirasuah pasti akan menelusuri setiap LHKPN yang janggal. Namun penelusuran ini membutuhkan waktu tidak sebentar.  

Bila ditemukan LHKPN yang janggal, kata Alexander, KPK tentu akan meminta klarifikasi dari pejabat yang bersangkutan. Adapun informasi tentang LHKPN dapat diakses oleh masyarakat melalui Elhkpn.kpk.go.id. “Sebetulnya teman-teman wartawan lebih banyak mengetahui,” kata Alexander di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin, 13 Mei 2024.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menjelaskan, pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam Pasal 2 disebutkan penyelenggara negara meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara dan pejabat pada lembaga tinggi negara. Selain itu, terdapat menteri, gubernur, hakim, serta pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun, kata Zaenur, dalam undang-undang tersebut tidak diatur perihal sanksi bagi mereka yang melanggar. Bentuk sanksi hanya disebut secara umum, yaitu bersifat administratif, pidana, dan perdata. “Kalau ada orang lapor laporan LHKPN-nya tidak benar juga tidak ada sanksi yang jelas dan tegas,” ucapnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kata Zaenur, komisi antirasuah memang memiliki wewenang memeriksa LHKPN penyelenggara negara. Adapun penyelenggara negara dalam ketentuan ini adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi serta tugasnya berhubungan dengan penyelenggaraan negara.

Selanjutnya, tata cara penyerahan LHKPN diatur melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.

Terdakwa mantan Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea-Cukai tipe Madya Pabean 8 Makassar, Andhi Pramono, mengikuti sidang perdana pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 22 November 2023. TEMPO/Imam Sukamto


Zaenur berpendapat, LHKPN belum sepenuhnya mencerminkan harta kekayaan yang dimiliki penyelenggara negara. Sebab, tidak ada data pembanding yang bisa digunakan untuk menguji data dalam LHKPN. Persoalan ini muncul karena data informasi kependudukan tidak terintegrasi. Dengan demikian, penyelenggara negara bisa menyamarkan asetnya atas nama orang lain. “Itu menyulitkan bagi KPK untuk melacak kebenaran LHKPN,” katanya.

Ketua Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Orin Gusta Andini mengatakan tujuan awal LHKPN adalah membuat alat kontrol agar penyelenggara negara tidak koruptif. Namun akuntabilitas dan validitas data dalam LHKPN belum bisa dipertanggungjawabkan. “Sehingga tujuan itu tidak tercapai,” katanya.

Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha berpendapat, keterbatasan undang-undang seharusnya jangan dijadikan alasan untuk tidak menindaklanjuti temuan LHKPN janggal. Temuan itu bisa dijadikan data awal untuk menelusuri dugaan adanya tindak pidana. “Fungsi ini semestinya dipahami KPK secara baik,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

ILONA ESTHERINA | ADIL AL HASAN | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA 

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus