MEREKA bernaung di bawah satu atap pernikahan, tetapi berbeda tempat tegak. Suatu hari suami ditugaskan dan harus pindah ke kota lain. Istrinya tak ikut, karena ia punya mata pekerjaan sendiri. Dalam cerita lain, istri yang bekerja dipromosikan untuk menduduki jabatan lebih tinggi, namun harus pindah kota. Kali ini, suaminya yang sulit meninggalkan pekerjaannya. Bila perkawinan dalam dua kisah di atas ingin dipertahankan, maka hidup pisah (commute marriage) terpaksa ditempuh. Konon, kehidupan perkawinan macam ini mulai menggejala di Indonesia. Pendapat itu dilontarkan Clare Benedicks Fischer -- pengamat masalah wanita dari Amerika Serikat -- yang disampaikannya di seminar Women's Studies: American and Indonesian Perspective di Universitas Gadjah Mada, Agustus lalu. Pandangannya itu berasal dari penelitian kecil. Cuma Fischer tak menyebut angka atau persentase, kecuali mencatat kenyataan itu sebagai gejala yang belum dilihatnya ketika ia berkunjung ke Indonesia pada 1973. Karena itu, tidak beralasan menyimpulkan commute marriage sebagai kecenderungan luas di Indonesia. Namun, yang menarik dari pendapat Clare Benedicks Fischer dan diskusi di Yogyakarta itu adalah munculnya sudut pandang baru dalam masalah wanita di Indonesia. Sebelumnya, diskusi tentang wanita lazim terfokus pada mereka yang bekerja di luar rumah. Topik yang dibahas di Yogyakarta itu bukan cuma menyangkut wanita yang bekerja, tapi lebih jauh lagi mengenai masalah karier kaum wanita. Bahwa karier bukan cuma dambaan pria, sedangkan wanita bekerja tidak pula sekadar mencari tambahan penghasilan. Dalam diskusi tadi terungkap: wanita yang menjalani commute marriage umumnya datang dari kalangan terpelajar. Mereka berkedudukan tinggi, dan memang sangat peduli pada kariernya. Tetapi bila dua karier sama-sama harus dikembangkan, maka sangat mungkin terjadi konflik dalam rumah tangga. Salah satu pangkalnya, pandangan umum yang menempatkan karier suami mesti diutamakan. Dalam situasi ekstrem -- dua karier di satu atap -- boleh jadi masing-masing merasa terancam. Sejauh ini jumlah wanita karier kita kian meningkat. Pada Sensus Ekonomi 1987, terlihat persentase wanita di kalangan eksekutif mencapai 10 persen. Ini yang tergolong telah mencapai puncak karier. Kelompok yang sedang menggapai posisi tersebut tentu saja lebih banyak. Namun, tokoh wanita kita seperti Dr. T.O. Ihromi tidak yakin akan adanya suasana konflik yang tajam dalam mempersoalkan karier istri. Dalam sebuah seminar di Jakarta, April lalu, ia mengutarakan bahwa wanita kita yang mementingkan karier maupun yang tidak masih cenderung mengutamakan suami dan anak-anak. Sikap yang luwes ini, katanya, membuat masalah karier wanita menjadi lebih mudah dibicarakan. Pendapat semacam itu tercermin pula pada jawaban 182 responden poll TEMPO tentang wanita karier. Dalam memberikan jawaban yang disertai uraian, seorang responden menulis, "Bila suami-istri menyadari apa arti tanggung jawab, dilema karier wanita tidak akan timbul. Dilema muncul karena wanita sering terbuai pada kariernya, sehingga anak-anak dan suami tidak lagi menerima kasih sayang." Para responden yang bersedia mengisi angket tadi semuanya tergolong wanita bekerja. Jumlah terbesar (75,8% ) berstatus karyawan, sementara mereka yang punya jabatan eksekutif ada 28 orang (15,4%). Separuh lebih (53,3%) adalah wanita terpelajar. Mereka adalah sarjana (S1), dan 10 orang berpendidikan lebih tinggi (S2/S3). Sebagian besar responden berada pada usia produktif, antara 21 dan 40 tahun. Bisa diasumsikan mereka sedang getol memburu karier. Jumlah mereka yang menikah (53,8%) hampir sebanding dengan jumlah mereka yang belum menikah (42,9%). Sedangkan yang berstatus janda ada enam orang. Sebagian besar di antara mereka yang menikah, atau pernah menikah (81 responden), menyatakan bahwa suami tak menghalangi karier mereka. Hanya 24 responden menyatakan karier mereka macet gara-gara suami. Namun, kelompok responden ini agaknya enggan mengakui kalau kemacetan tersebut karena mengalah. Hanya 13 responden yang menyatakan bahwa mereka mengalah karena mengutamakan karier suami. Jawaban lebih tegas muncul ketika motivasi "mengalah" itu ditanyakan. Sebagian besar dari mereka yang menikah (83 responden) menyatakan mau mengalah demi kepentingan anak-anak, meski perjalanan kariernya terganggu. Hanya 11 responden yang menjawab "tidak mundur", sekalipun dihadapkan pada persoalan anak-anak mereka. Mengalah memang soal "gengsi". Karena itu, bila pertanyaan dilemparkan langsung, sulit mendapat jawaban yang jelas. Kepada semua responden diajukan pertanyaan, "Bila suami dan istri sama-sama memburu karier dan terjadi benturan kepentingan, haruskah istri mengalah?" Pendapat yang setuju meliputi 41,8 persen. Namun, pendapat yang tak setuju jumlahnya sama. Sebagian responden (10,4%) memilih sikap "tidak tahu", dan 6 persen malah tidak mau menjawab sama sekali. Jawaban baru jelas ketika urusan keluarga dilibatkan. Sekalipun mau mengalah demi keluarga, separuh lebih responden (62,1%) ternyata menyatakan keluarga -- suami dan anak-anak -- sama sekali bukan halangan bagi mereka dalam meniti karier. Hanya 34,1% menyatakan keluarga bisa menjadi beban bagi wanita yang mau memburu karier. Ada kelompok pendapat yang menunjukkan mengapa keluarga tidak harus menjadi masalah dalam meniti karier. Separuh lebih resnonden (53,3%) menyatakan soal keluarga tak menjadi masalah sejauh urusan rumah tangga bukan cuma tanggung jawab istri. Tapi jumlah mereka yang memberikan pendapat semacam ini hampir sebanding dengan mereka yang masih setuju pada pandangan konvensional. Responden yang percaya rumah tangga adalah tanggung jawab istri meliputi 44,5%. Seperti disebut Ihromi tadi, karier bagi wanita kita bukanlah taruhan hidup mati. Masih banyak wanita yang pada akhirnya lebih mendambakan keluarga daripada karier. Sikap ini terlihat ketika mereka dikonfrontasikan dengan pernyataan keras tentang pengutamaan karier: "Wanita yang bercita-cita mencapai puncak karier sebaiknya tidak menikah". Sebagian besar responden (76,9 persen) menyatakan "tidak setuju". Hanya 16,5% setuju pada pernyataan mengutamakan karier wanita itu. Kesamaan pendapat responden dengan pendapat Ihromi juga terlihat pada upaya mencari penyelesaian dalam menghadapi benturan dua karier dalam keluarga. Terdapat delapan kelompok pendapat dalam menjawab pertanyaan terbuka tentang bagaimana mencari jalan keluar. Pendapat terbanyak (62,1%) percaya pada "saling pengertian". Saling pengertian ditafsirkan seorang responden dari Palembang sebagai: "Karier istri harus direncanakan sebelum menikah. Dibicarakan dulu oleh kedua belah pihak, termasuk konsekuensinya dalam pembinaan keluarga." Sementara itu, seorang responden dari Jakarta menekan pentingnya dialog. "Karier istri sering dimasalahkan dengan tegang. Kalau dihadapi dengan santai, persoalan ini tak akan menjadi masalah. Soal karier istri sebaiknya tidak dibesar-besarkan," katanya. Kepercayaan pada dialog itu bisa dikatakan merata di semua lapisan. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa 22 dari 28 wanita eksekutif yakin, "saling memahami peran masing-masing" membuat karier istri tak akan menjadi masalah besar. Sementara itu, 43,4% dari responden yang berstatus karyawan (jumlah terbanyak dari 8 kelompok pendapat) juga percaya bahwa jalan keluar bisa dicapai melalui musyawarah dari hati ke hati. Pada akhirnya, sebagian besar responden tak melihat karier istri sebagai masalah yang selalu mentok. Hanya 4,4 persen yang melihatnya sebagai dilema, 8,2% percaya dilema itu cuma bisa dipecahkan dengan jalan mengorbankan karier istri. Namun, selebihnya (dibagi dalam enam kelompok pendapat) mengemukakan pandangan optimistis. Kelompok terbanyak (48,4%) menyatakan kompromi tak berarti istrilah yang mengalah. Kelompok kedua terbanyak (12,6%) secara arif berpendapat masalah karier istri tidak langsung berhubungan dengan masalah keluarga seperti perceraian dan bentrokan suami-istri. Mestinya ada persoalan lain, dan karier istri sekadar menjadi picunya saja. Tabulasi silang menunjukkan bahwa kompromi itu berlaku di kalangan wanita karier maupun mereka yang berstatus karyawan. Separuh lebih wanita eksekutif (15 dari 28) menyatakan kompromi adalah jalan terbaik. Sementara itu, 35,2% dari 138 karyawan (kelompok terbanyak) menilai kompromi bahkan bisa mencegah terganggunya hubungan suami-istri. Menurut mereka, "Hidup pisah itu termasuk kompromi yang tidak selalu merugikan." Seorang responden dari Bandung menjelaskan seberapa jauh kompromi itu bisa diartikan. "Karier istri layak diperjuangkan, malah sampai hidup pisah sekalipun, bila prospeknya sangat baik atau luar biasa," tulis responden ini. "Tapi kalau cuma jadi kroco mumet, mendingan juga ngurus keluarga." Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini