Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

EKSKLUSIF: Cerita Eks Jaksa Eksekutor Mary Jane, Suasana Mencekam Jelang Eksekusi

Mantan jaksa eksekutor menceritakan detik-detik Mary Jane sudah siap menghadapi eksekusi mati pada April 2015 lalu

16 Desember 2024 | 13.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Keluarga Mary Jane saat berkunjung ke Nusakambangan pada April 2015. Jaksa Sri Anggraini yang memakai hijab. Foto: Kejati DIY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Suasana mencekam menyelimuti lapangan Limus Buntu, Pulau Nusakambangan, Selasa malam, 28 April 2015 jelang eksekusi sembilan terpidana mati. Merapalkan doa-doa sambil menggenggam rosario, Mary Jane Fiesta Veloso siap menjemput ajalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesaat setelah hari berganti, Rabu dini hari, 29 April 2015, desingan peluru dari regu tembak mengakhiri hidup delapan terpidana. Mary Jane, warga Filipina, terpidana mati kasus 2,6 kilogram heroin, satu-satunya yang batal dieksekusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Satu jam sebelum eksekusi, saya dipanggil komandan regu tembak berpangkat Kombes (Komisaris Besar). Saya diberitahu kalau terpidana atas nama ini (Mary Jane), dengan jaksa eksekutor ini, eksekusinya belum bisa dilaksanakan,” kata Sri Anggraini Astuti, jaksa eksekutor terpidana mati Mary Jane, menceritakan kembali momen tersebut pada Tempo, Kamis, 21 November 2024.

Sri menceritakan jika saat itu Mary Jane sudah pasrah. Ia sudah mengenakan pakaian putih. Kedua tangannya diborgol. Kakinya juga dirantai.  “Jadi kalau jalan itu lompat-lompat karena kaki dirantai,” kata dia.

Setelah ada pemberitahuan eksekusinya belum bisa dilaksanakan, jaksa dan Mary Jane tetap dimasukkan ke dalam ambulans. Mereka dikawal oleh tujuh polisi dari satuan Brigade Mobil (Brimob) dengan senjata Laras panjang.

Suasana makin mencekam, kata Sri, karena mereka dibawa ke tengah hutan. Meski tetap berada di dalam mobil, perasaan gelisah amat terasa.

Hutan itu, ucap Sri, berada di dekat lapangan tembak tempat eksekusi mati delapan terpidana mati. Ia masih bisa mendengar desingan peluru saat regu tembak mengakhiri hidup delapan terpidana. “Suara tembakan sangat terdengar, wis lah kita merasa sangat ngeri. Mary Jane selalu berdoa dan menggenggam kalung salib (rosario),” kata dia.

Saat diberitahu eksekusi belum bisa dilaksanakan, Sri Anggraini mulanya tak percaya. Sebab, semua persiapan sudah dilakukan. Ketika diberitahu komandan regu tembak, barulah ia percaya meskipun tanpa tahu sebabnya.

Saat berada di tengah hutan di dalam ambulans itu, baik jaksa, Mary Jane, sopir, dan anggota Brimob hanya diam. Tidak ada yang berani mengobrol. Suasana memang sangat mencekam hingga subuh.

Ambulans yang ditumpangi Sri dan Mary Jane baru bergerak bersamaan dengan mobil jenazah yang mengangkut jasad delapan terpidana mati untuk menyeberang ke Cilacap sekitar pukul 6.00 WIB. Mary jane langsung dibawa ke Lapas Wirogunan di Yogyakarta asal dia dipenjara. “Ngebut, sampai Lapas sebelum jam 10.00 pagi,” kata Sri Anggraeni.

“’Kalau Tuhan belum berkehendak saya mati, berarti masih banyak hal di diri saya yang harus diperbaiki’,” kata Mary Jane kepada Sri Anggraini saat itu.

Adapun delapan terpidana yang dieksekusi saat itu adalah Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Martin Andeson, Raheem Agbaje, Rodrigo Gularte, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze, dan Zainal Abidin. Dua orang adalah termasuk kelompok Bali Nine kasus narkoba juga.

 

Mary Jane Menghormati Jaksa

 

Sri Anggraini mengatakan, para terpidana biasanya sangat benci dengan jaksa. Namun, berbeda dengan Mary Jane yang ia rasa sangat menghormati dan baik kepadanya.

Sri menilai sikap Mary Jane didasari pada pemahaman jika ia hanya menjalankan tugasnya sebagai jaksa. Ia pun memperlakukan Mary Jane dengan baik dan menyayanginya.

Sebelum ada pemberitahuan pembatalan eksekusi, Mary Jane selalu minta didampingi oleh Sri Anggraini. Ia tidak membenci jaksa yang kini sudah purnatugas itu. “’Saya tahu, ibu yang akan mengeksekusi, harus sama ibu, saya tidak membenci ibu’,” kata Sri mengulang ucapan Mary Jane saat itu.

Dalam setiap obrolan Mary Jane justru menggunakan bahasa Jawa. Karena ia berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) berbaur dengan warga binaan (Narapidana) lain yang mayoritas berbahasa Jawa. 

Berangkat seminggu sebelum rencana eksekusi

 

Mary Jane dijemput oleh tim yang akan membawanya ke Nusakambangan pada 21 April 2015 dini hari sekitar pukul 1.00 WIB dari Lapas Wirogunan Yogyakarta.

Banyak kendaraan roda empat yang mengawalnya. Ada mobil tahanan Isuzu Elf, beberapa Toyota Kijang Innova, dan kendaraan lain. Tak hanya jaksa yang mengawal Mary Jane, tapi juga ada Polri dan TNI. “Mary Jane tidak dimasukkan ke mobil tahanan, tapi dibawa pakai mobil Barracuda,” kata pegawai Kejaksaan yang tak mau disebut namanya.

Rupanya, membawa terpidana mati itu dengan cara seperti itu. Total ada sembilan mobil yang mengawal terpidana. Tanpa berhenti untuk istirahat, rombongan langsung menuju ke Pelabuhan untuk menyeberang ke Pulau Nusakambangan sebelum subuh.

Selama satu pekan di Nusakambangan, Mary Jane dikunjungi oleh keluarga. Ada bapak, ibu, saudara dan dua anaknya. 

Menurut Sri Anggraini, keluarga boleh mengunjungi dan berinteraksi langsung dengan Mary Jane di waktu-waktu yang telah ditentukan. Di sana memang disediakan tempat untuk interaksi dengan keluarga.

Mary Jane juga didampingi oleh seorang Romo, yaitu Romo Bernhard Kieser untuk kegiatan kerohanian.

Mary Jane Veloso merupakan terpidana mati kasus penyelundupan 2,6 kilogram heroin yang ditangkap di Bandara Adisutjipto Yogyakarta pada April 2010. Perempuan yang belakangan diketahui sebagai korban perdagangan manusia itu divonis hukuman mati oleh Pengadilan Sleman pada Oktober 2010.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus