Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bersalah 40 Persen

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar terbukti membantu Wali Kota Tanjungbalai Muhammad Syahrial dalam perkara suap jual-beli jabatan. Polisi menolak laporan pidana.

18 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 18 Agustus 2021/TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Majelis Etik menganggap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar melanggar dua kode etik.

  • Hanya Lili Pintauli Siregar yang menerima berkas pemeriksaan Muhammad Syahrial.

  • Dewan Pengawas menolak melaporkan kasus pidana Lili ke polisi.

DI angkasa, Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Muhammad Syahrial menyapa Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar. Keduanya berada di pesawat Batik Air yang terbang dari Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sekitar Februari lalu. Pertemuan ini menjadi awal mula Lili terseret perkara kode etik di Dewan Pengawas KPK.

Masih di dalam kabin pesawat, Syahrial memperkenalkan diri sebagai teman kerja Ruri Prihatini Lubis, kerabat Lili. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Syahrial meminta nomor telepon Lili. Keduanya kemudian berfoto bersama.

Setelah memberi nomor telepon, Lili meminta Syahrial membayar uang jasa pengabdian Ruri yang pernah menjadi Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kualo di Tanjungbalai sebesar Rp 53,5 juta. “Iya, Bu. Kami lagi kumpulin duit. Nanti saya beri tahu Ibu Ruri,” ujar Syahrial, seperti tercantum dalam putusan Majelis Etik Dewan Pengawas KPK.

Pertemuan itu berbuntut panjang. Ternyata, penyidik KPK tengah membidik Syahrial dalam perkara jual-beli jabatan sejak November 2019. Sebagai komisioner KPK, Lili tentu mengetahui pengusutan perkara ini.

Ia menerima laporan penyelidikan perkara Syahrial soal suap jual-beli jabatan pada Juli 2020. Setelah membacanya, ia langsung mengirim pesan kepada Syahrial. “Ini ada namamu di mejaku. Bikin malu, Rp 200 juta masih kau ambil,” tulis Lili dalam pesan singkatnya.

Percakapan berlanjut pada Oktober 2020. Kala itu, Syahrial menerima kabar penyidik KPK akan mendatangi Kota Tanjungbalai. Lewat pesan pendek, ia meminta bantuan Lili. Mantan pengacara publik berusia 55 tahun itu membalas dengan mengirimkan nomor telepon seorang pengacara. “Ini nomor Arif Aceh, komunikasilah dengan dia,” Lili membalas.

Belakangan, percakapan ini menjerat Lili. Tiga pegawai senior KPK, Sujanarko, Novel Baswedan, dan Rizka Anungnata, melaporkan dugaan pelanggaran kode etik ini ke Dewan Pengawas pada 7 Juni lalu. “Majelis Etik turut meminta keterangan saya,” tutur Rizka kepada Tempo.

Dewan Pengawas menindaklanjuti laporan ini dengan membentuk Majelis Etik. Dalam pembacaan putusan pada Kamis, 26 Agustus lalu, Majelis Etik yang diketuai Tumpak Hatorangan Paggabean dan beranggotakan Harjono serta Albertina Ho membuat putusan bahwa Lili bersalah melanggar kode etik pemberantasan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengikuti sidang etik dengan agenda pembacaan putusan oleh Dewan Pengawas KPK disiarkan secara daring, di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 30 Agustus 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpak Panggabean menjelaskan Lili bersalah karena memakai jabatannya agar Syahrial menyelesaikan perkara tunggakan uang penghargaan jabatan saudaranya, Ruri Prihatini Lubis. Menurut Dewan Pengawas, perbuatan itu melanggar Pasal 4 ayat 2 Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.

Lili juga bersalah karena berkomunikasi dengan Syahrial, orang yang sedang beperkara di KPK, karena termasuk konflik kepentingan yang mengarah pada korupsi. Atas pelanggaran ini, Majelis Etik menjatuhkan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama setahun. “Itu merupakan pelanggaran etik yang dirumuskan dalam pakta integritas KPK,” ujar Tumpak.

Lili tak merespons permintaan wawancara yang dikirimkan ke kantor dan akun WhatsApp miliknya hingga Sabtu, 18 September lalu. Tempo juga mendatangi rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Namun ia tak berada di rumah. “Sejak jadi pimpinan KPK, rumah ini jarang ditempati. Hanya sesekali saja,” tutur tetangga Lili.

Lewat konferensi pers di KPK pada 30 April lalu, Lili membantah jika disebut berkomunikasi dengan Syahrial soal perkara suap jual-beli jabatan. “Saya tegas menyatakan tidak pernah berkomunikasi dengan tersangka MS (Muhammad Syahrial) terkait dengan perkara bersangkutan. Apalagi membantu dalam penanganan perkara yang sedang ditangani KPK,” ucapnya.

•••

MANTAN Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK, Sujanarko, mengatakan banyak mendengar kabar tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili Pintauli Siregar. Namun bukti paling telak hanya ada dalam kasus Wali Kota nonaktif Tanjungbalai Muhammad Syahrial. “Hanya itu yang materi pembuktiannya kuat,” katanya.

Kabar tentang pelanggaran kode etik kasus ini pun sebenarnya sudah beredar sejak beberapa bulan lalu. Bersama penyidik senior KPK, Novel Baswedan, Sujanarko menggandeng mantan Kepala Satuan Tugas Penyidik, Rizka Anungnata, untuk melapor ke Dewan Pengawas. Rizka pernah mengepalai tim penyidik kasus Syahrial. “Rizka paling mengetahui seluk-beluk kasus tersebut,” ujarnya.

Ditemui terpisah, Rizka menjelaskan dugaan keterlibatan Lili pertama kali terungkap dari kesaksian mantan Sekretaris Daerah Kota Tanjungbalai, Yusmada. Di hadapan penyidik, Yusmada mengaku bahwa Syahrial pernah berkomunikasi dengan Lili terkait dengan penanganan perkara di KPK. “Informasi tersebut kemudian diproses penyidik,” ucap Rizka.

Yusmada turut menjadi tersangka jual-beli jabatan ini. Panca, pengacaranya, tak merespons panggilan telepon dan permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke akun WhatsApp-nya hingga Sabtu, 18 September lalu.

Syahrial sendiri tengah menanti putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Medan. Ia didakwa menyuap mantan penyidik KPK, Ajun Komisaris Stepanus Robin Pattuju, agar tak dijerat dalam kasus jual-beli jabatan itu. Nilainya mencapai Rp 1,6 miliar. Robin sudah menjadi tersangka perkara suap ini.

Jaksa menuntut Syahrial tiga tahun penjara. Ia tak membantah peran Lili. “Saya sudah memberi kesaksian ke Dewan Pengawas KPK tentang Lili Pintauli Siregar. Saya sudah memberi kesaksian tentang jual-beli jabatan. Semoga sikap kooperatif saya menjadi pertimbangan mendapat keringanan hukuman majelis hakim,” ujarnya di persidangan.

Saat bersaksi dalam persidangan Syahrial, Robin turut menyebut nama Lili. Ia mengutip Syahrial yang bercerita pernah berkomunikasi dengan Lili Pintauli Siregar soal kasus jual-beli jabatan Pemerintah Kota Tanjungbalai. “Bantulah, Bu,” ujar Robin, menirukan ucapan Syahrial kala itu.

Menurut Rizka, penyelidikan dagang jabatan di Tanjungbalai sebenarnya sudah ditangani sejak 2019.  Saat itu, KPK mengendus rencana penyerahan uang Rp 200 juta kepada Syahrial. Uang itu diduga diserahkan Yusmada sebagai upeti agar dipromosikan menjadi sekretaris daerah.

Terdakwa Walikota Tanjung Balai periode 2016-2021 (non aktif), M. Syahrial, seusai menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 8 September 2021. TEMPO/Imam Sukamto

“Penanganan kasus itu semula didesain lewat operasi tangkap tangan,” kata Rizka. “Tapi, karena bocor, akhirnya penyelidikan terbuka.” Rizka enggan menyebut nama pembocor dalam rencana operasi tangkap tangan tersebut.

Penyidik mulai memeriksa Syahrial dan Yusmada pada September 2019. Ekspose perkara di depan pimpinan KPK memutuskan kasus jual-beli jabatan ini naik ke tingkat penyidikan pada bulan yang sama. “Ketika itu saya memberikan disposisi agar penyelesaian kasus itu dipercepat,” ujar Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang.

Saut menceritakan pimpinan KPK menyetujui kenaikan status kasus Tanjungbalai setelah tim Pengaduan Masyarakat menyampaikan analisis Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi. Saut menilai kasus itu bukan perkara sulit karena tim KPK sudah mengantongi dua alat bukti.

Ia tidak mengetahui mengapa perkara itu sempat tersendat di tangan pemimpin KPK penggantinya, komisioner periode 2019-2023. Presiden Joko Widodo melantik Lili Pintauli Siregar bersama empat pemimpin KPK lain pada 20 November 2019. “Pekerjaan rumah yang tertunggak biasanya diketahui pimpinan yang baru,” kata Saut.

•••

PERSIDANGAN Majelis Etik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan fakta baru dalam perkara pelanggaran kode etik Lili Pintauli Siregar. Sepanjang 2020, pimpinan dan sekretariat KPK tak pernah menerima bahkan membaca berkas perkara kasus jual-beli jabatan yang menjerat Muhammad Syahrial. Majelis menerima keterangan ini dari Ketua KPK Firli Bahuri, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dan Nawawi Pomolango.

Putusan Majelis Etik menuliskan penelusuran tim kesekretariatan KPK bahkan tak menemukan ada surat-menyurat untuk pimpinan KPK perihal kasus Syahrial. Rupanya hal ini terjadi karena berkas-berkas penyelidikan kasus Syahrial mendarat di meja kerja Lili pada Juli 2020.

Misteri ini tak pernah terungkap. Saat memberikan keterangan di sidang Majelis Etik, Lili Pintauli Siregar tak mau menjelaskan dari mana ia memperoleh berkas Syahrial tersebut.

Di hadapan Majelis Etik, Lili menyangkal jika dinilai telah melanggar kode etik. Ia merasa tak bersalah meminta Syahrial membayar uang penghargaan kerabatnya, Ruri Prihatini Lubis. Menurut Lili, permintaan bantuan kepada Syahrial bukan untuk kepentingan pribadi. Ia mengaku tak mendapat keuntungan apa pun dengan membantu menyelesaikan masalah Ruri.

Majelis Etik menolak alasan itu. Lili dianggap offside karena meminta Ruri menyurati Pemerintah Kota Tanjungbalai perihal penagihan uang dengan menembuskannya ke KPK. “Atas perbuatan terperiksa menyalahgunakan pengaruh sebagai insan KPK untuk kepentingan pribadi, menurut Majelis sudah terbukti,” demikian bunyi putusan tersebut.



Ruri tak merespons pertanyaan yang dikirim ke akun WhatsApp hingga Sabtu, 18 September lalu. Ia juga tak pernah mengangkat telepon. Ruri tak berada di rumahnya di kawasan Medan Johor, Medan, pada Jumat, 17 September lalu. Seorang remaja yang mengaku sebagai anak Ruri mengatakan ibunya sedang ke luar rumah.

Menurut tetangganya, Lina, Ruri menempati rumah itu sejak dua tahun lalu. “Sejak kami dengar Ibu Ruri diperiksa KPK, dia jarang keluar rumah. Pergi dan pulang kerja selalu diantar suaminya,” ujarnya.

Majelis Etik juga menilai Lili melakukan pelanggaran berat karena membantu Syahrial dalam menghadapi perkara di KPK. Ia terbukti telah memberi nomor telepon seorang pengacara bernama “Arif Aceh”. Majelis Etik berpendapat seharusnya Lili mengatakan kepada Syahrial bahwa ia tidak bisa membantunya karena perkara itu terkait dengan kasus jual-beli jabatan yang sedang disidik KPK.

Saat memberi keterangan, Syahrial mengklaim tak berhasil menghubungi Arif Aceh. Tempo berupaya menelusuri pengacara ini di Medan. Namun nama Arif Aceh tak dikenal di kalangan advokat di sana.

Majelis Etik tak berupaya memeriksa Arif Aceh. Menurut anggota Majelis Etik, Harjono, pemeriksaan hanya berfokus kepada Lili. “Dewan Pengawas, kan, tidak bisa memeriksa perbuatan orang di luar KPK,” katanya lewat akun WhatsApp.

Dewan Pengawas juga tidak memproses dugaan pelanggaran pidana Lili. Padahal Pasal 36 Undang-Undang KPK secara tegas melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak beperkara. Jika melanggar, pimpinan KPK terancam hukuman maksimal lima tahun penjara. “Tugas Majelis Etik hanya di perkara kode etik,” demikian bunyi putusan Majelis Etik.

Itu sebabnya trio pelapor kasus kode etik Lili kembali menyurati Dewan Pengawas agar melaporkan pelanggaran ini ke polisi. Namun, dalam surat balasannya, Dewan Pengawas kembali menegaskan mereka tak berwenang menangani kasus pidana Lili. Justru karena kasus pidana, Dewan Pengawas menganggap siapa pun bisa mengadukan Lili ke polisi.

Indonesia Corruption Watch berinisiatif melaporkan pelanggaran Lili ini ke polisi. Pengurus ICW mendatangi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI untuk melaporkan perkara ini pada Rabu, 8 September lalu.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan polisi menolak laporan mereka. Polisi menganggap ICW tak berkompeten lantaran tak mengalami kerugian secara langsung akibat perbuatan Lili. Polisi juga beralasan perkara Lili sudah tuntas di Dewan Pengawas, apalagi sudah ada putusan yang menghukum Lili Pintauli Siregar.

Kurnia menyitir perkara lama yang melibatkan mantan Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad. “Jika alasannya tak mengalami kerugian langsung, mengapa informasi dari sumber anonim di laman blog yang mempersoalkan pertemuan Abraham Samad dalam kasus Emir Moeis dulu bisa diproses petugas?” katanya.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono malah membantah adanya laporan ICW. Menurut dia, ICW hanya menyampaikan surat penanganan perkara kepada pejabat Badan Reserse Kriminal.

Surat laporan yang menyebutkan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar melanggar hukum pidana itu dikembalikan kepada KPK pada Rabu, 15 September lalu. Polisi mempersoalkan penerapan Undang-Undang KPK yang sudah ada dalam mekanisme sidang etik di Dewan Pengawas. “Yang dilaporkan Undang-Undang KPK,” tuturnya.

ROSSENO AJI NUGROHO, SAHAT SIMATUPANG (MEDAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus