Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soepomo mengungkapkan kesalahan penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi timah yang dilakukan oleh ahli lingkungan Bambang Hero Saharjo yang juga Guru Besar IPB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudarsono mengatakan metode penghitungan kerugian kasus timah yang digunakan Bambang Hero Saharjo salah total karena menggunakan sampel yang sedikit, penggunakan alat penghitungan yang tidak representatif hingga tidak menggunakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bagi saya hasil perhitungan yang disampaikan itu sangat meyakinkan salahnya. Saya yakin sekali ada kesalahan soal cara menghitungnya. Ini sudah ngawur," ujar Sudarsono kepada wartawan usai diskusi panel terkait dampak penghitungan kerugian negara terhadap perekonomian Bangka Belitung yang digelar di universitas Pertiba Pangkalpinang, Sabtu, 21 Desember 2024.
Sudarsono menuturkan hasil perhitungan kerugian negara dari lingkungan harus menggunakan metode yang tepat dan harus dikaji oleh beberapa ahli sebelum disepakati nilai kerugian yang sebenarnya.
"Ini cuma satu orang dan bukan ahli pula. Saya mengatakan dia bukan ahli karena tidak mengerti konsep yang harus digunakan. Anehnya hasil yang salah itu langsung dipakai. Seharusnya tidak seperti itu," ujar dia.
Menurut Sudarsono, hasil perhitungan kerugian negara yang salah itu seharusnya dilakukan koreksi supaya jangan sampai ada dugaan melakukan kejahatan intelektual.
"Ketika kita tahu ini salah harus dikoreksi. Kalau tidak ada niat mengkoreksi, ini sudah kejahatan. Dia (Bambang Hero) pasti tahu salahnya dimana karena orang pun sudah ngomong dimana-mana. Tetapi dia tidak ada niat untuk mengkoreksi. Kalau dia tidak mau, berarti dia melakukan kejahatan intelektual," ujar dia.
Kalau pun hasil perhitungan kerugian negara Bambang Hero dianggap benar, kata Sudarsono, maka yang bertanggung jawab atas lingkungan di lokasi tambang yang masuk dalam wilayah izin adalah negara.
"Negara sudah memperhitungkan dampak dari pemberian izin tambang. Memangnya tambang lain yang tidak punya kasus tidak ada kerusakan lingkungan? Coba saja hitung. Tetapi kalau cara menghitungnya seperti Bambang Hero, pasti ratusan triliun juga angkanya," ujar dia.
Sudarsono menyarankan masyarakat bisa menggugat hasil perhitungan tersebut dan meminta keahlian yang dimiliki oleh Bambang Hero untuk diuji oleh pakar-pakar dibidangnya.
"Masyarakat bisa menggugat. Soal kalah menang itu belakangan. Bisa dituntut juga pengakuan ahli tetapi bukan ahli. Masyarakat juga bisa menuntut keahlian diuji oleh pakar lain. Itu harus dilakukan supaya orang ini tidak sembarangan mengeluarkan pendapat," ujar dia.
Ketua Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Eka Mulia Putra mengatakan penegakan hukum dengan angka kerugian ratusan triliun tersebut sangat berdampak pada kegiatan bisnis pertimahan yang berujung pada anjloknya perkonomian di Bangka Belitung.
"Kita harus minta pertanggung jawaban kepada orang yang membuat statemen termasuk lembaga penegak hukum yaitu kejaksaan. Apakah ini bisa dijadikan sebuah rumusan untuk melakukan tindakan yang menyebabkan ekonomi Bangka Belitung terpuruk," ujar dia.
Menurut Eka Mulia, rasa keadilan dan penegakan hukum sangat berbahaya apabila pernyataan Bambang Hero yang tidak mewakili lembaga apa pun dijadikan dasar oleh Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPKP) menetapkan hasil kerugian negara.
"BPKP bukan lembaga yang diberikan hak oleh negara untuk memberikan statemen kerugian negara. Jika dipakai ini sangat berbahaya karena lembaga yang diberikan hak melakukan perhitungan kerugian negara adalah BPK," ujar dia.
Eka menambahkan proses penegakan hukum juga membuat eksportir timah yang tergabung dengan AETI menurun dimana dari 24 perusahaan termasuk smelter yang bermasalah dengan hukum sekarang tinggal 14 perusahaan.
"Memang kita akui smelter timah banyak yang tidak aktif sekarang bukan hanya terkait masalah hukum saja. Tetapi regulasi yang ditetapkan pemerintah saat ini juga sulit dimana wilayah pertambangan harus Clear And Clean (CNC) hingga asal usul barang di RKAB" ujar dia.
Penghitungan kerugian lingkungan di kasus korupsi timah dilakukan oleh Ahli Lingkungan Hidup Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor atau IPB University Bambang Hero Saharjo. Ia menyebut jumlah kerugian tersebut diperoleh setelah memverifikasi di lapangan dan pengamatan menggunakan citra satelit sejak 2015 sampai 2022.
Kejaksaan Agung menyatakan, kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah tahun 2015-2022 mencapai Rp 300 triliun. Penghitungan itu berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara dari BPKP, diperoleh hasil kerugian yakni sebesar Rp300 triliun," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, Rabu, 29 Mei 2024.
Kerugian Rp 300 triliun itu terdiri atas:
- Kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta sebesar Rp 2,285 triliun
- Kerugian atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah Tbk sebesar Rp 26,649 triliun
- Kerugian lingkungan sebesar Rp271,1 triliun.
Mengenai kerugian lingkungan yang dimaksud, kata Ketut, merupakan akibat dari pengambilan bijih timah yang dilakukan para smelter/swasta yang bekerja sama dengan pegawai atau pejabat PT Timah Tbk di wilayah IUP PT Timah Tbk secara ilegal sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
"Yang menimbulkan kewajiban bagi PT Timah Tbk selaku pemegang IUP untuk memulihkan kerusakan yang terjadi," ujar Ketut seperti dikutip dari laman Kejaksaan Agung.