Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA Senin pagi, 26 November lalu, Kusni Kasdut tidak kelihatan di ruang tahanan Kepolisian (Kowil 101) di Jalan Sikatan Surabaya, segera beredar desas-desus, hukuman matinya sudah dilaksanakan. Sejak lima hari sebelumnya memang sudah meluas berita bahwa permohonan grasinya ditolak Presiden. Sesungguhnya Kusni Kasdut masih sehat walafiat. Ia hanya sekedar dipindahkan dari tempat tahanan polisi ke penjara Kalisosok dekat Jembatan Merah. Itu berarti 38 hari Kusni ditahan polisi sejak ia tertangkap kembali dari buron penjara Lowokwaru di Malang pertengahan September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski selama dalam tahanan polisi tangannya selalu diborgol, menurut cerita petugas, Kusni Kasdut selalu menunjukkan kegembiraaannya. Tidak jarang kelihatan asyik ngobrol dengan penjaganya. Di Kalisosok keadaannya juga baik. Untuknya sengaja dibangun tempat khusus, sebuah bangunan kecil tersendiri dekat penjagaan, dengan pintu menghadap ke tembok. Untuk "rumah"nya itu penjara mengeluarkan biaya sekitar Rp 4 juta-tentu saja kelak digunakan terhukum lain yang sekaliber dengan Kusni. "Penjagaan di sini lebih ditingkatkan," ujar Direktur LP Kalisosok, Herry Marsudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi soal makan dan fasilitas lain, katanya, tidak ada bedanya dengan yang diterima narapidana lain. Hanya saja Dirjen Bina Tuna Warga (BTW) belum mengizinkan wartawan membezuk Kusni. "Bersabarlah, karena dia masih terkejut mendengar kabar grasinya ditolak,"kata Ibnu Sutanto SH, Dirjen BTW. Permintaan grasi Kusni Kasdut ditoIak dengan keputusan Presiden Suharto yang diteken 10 November lalu.
Dua hari kemudian Menteri Kehakiman menerima keputusan tersebut dan langsung memberi petunjuk kepada Dirjen BTW untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri Semarang -- tempat terhukum dijatuhi hukuman mati. Terhukum, selain harus menanggung hukuman mati karena membunuh seorang anggota polisi di Semarang, juga masih menyandang bentuk hukuman lain. Yaitu, hukuman seumur hidup untuk mempertanggungjawabkan pembunuhan atas Badjened di Jakarta (1954). Dan hukuman 10 tahun penjara bagi kejahatan perampokannya terhadap Museum Pusat beberapa waktu kemudian-ketika ia buron dari penjara.
Kapan Kusni Kasdut harus menjalani hukumannya? Belum diketahui lagi. Menurut Menteri Kehakiman, Moedjono SH, tidak ada peraturan yang menentukan kapan seseorang terhukum yang ditolak permohonan grasinya harus menjalani hukumannya (eksekusi). "Tapi," ujar Menteri, "keputusan demikian, seperti juga keputusan pengadilan, harus dilaksanakan dengan segera." Sedangkan pengalaman belum banyak. Sebab, jika hukuman bagi Kusni dilaksanakan, menurut Dr. Sahetapy, Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dia adalah orang kedua yang harus melaksanakan hukuman matinya dalam perkara kriminal. Yaitu setelah Usin bin Umar Batfari, yang berhadapan dengan regu tembak tahun lalu. Dan eksekusi terhadap Umar dilaksanakan dua bulan setelah permohonan grasinya ditolak.
Menurut peraturan (Penpres No. 2/1964), tentang pelaksanaan pidana mati, eksekusi dilakukan di wilayah pengadilan yang mengurus perkara pada tingkat pertama. Jadi, jika Menteri Kehakiman tidak menentukan lain, maka Kusni Kasdut kemungkinan harus ditembak mati di wilayah Pengadilan Negeri Semarang. Dan kabarnya pelaksanaannya tidak usah menunggu penyelesaian perkara yang baru dibuatnya: kabur dari bui dan perkara menguasai senjata api, sebuah pistol Vickers, secara tidak sah.
Tapi, adakah pidana mati masih layak menjadi hukuman terberat di sini? Sahetapy, yang memperoleh gelar doktor dalam ilmu hukum dengan tesisnya yang anti hukuman mati, mempersoalkan: "Apakah manfaat atau masih perlukah dipertahankan pidana mati . . .?"
Pasal yang mengancam bagi si pembunuh berencana (340 KUHP), dengan hukuman terberat mati, menurut Sahetapy sebenarnya sudah dicabut sejak 1870. Dipasang lagi di sini, katanya, "untuk kepentingan kolonial Belanda." Makam Pahlawan Apalagi bagi Kusni Kasdut, menurut Sahetapy, "ada faktor ekstern yang menyebabkan permohonan grasinya ditolak. " Misalnya, tentang apa dan siapa Kusni Kasdut oleh media massa telah dibesar-besarkan. Juga tentang larinya dari penjara, sampai tertangkapnya kembali tempo hari.
Dengan kata lain Sahetapy melihat ada sesuatu yang kurang adil bagi Kusni. Ujar ahli hukum itu, "Apa yang diderita Kusni antara lain juga akibat praktek peradilan yang lamban." Ia sudah dijatuhi hukuman mati sejak 1964. Hukuman menjadi pasti tiga tahun kemudian dengan putusan banding Pengadilan Tinggi.
Menurut Sahetapy, Kusni sendiri baru diberitahu putusan hukumannya 8 tahun kemudian. Jadi grasi baru dimohonkannya 1975. "Kalau grasi diputuskan ketika Kusni masih di penjara Cipinang," yaitu ketika puji-pujian bagi Kusni sebagai narapidana teladan, menurut Sahetapy, "tentulah bunyinya. " Ketua Jurusan Fakultas Hukum UGM Yogya, Bambang Purnomo SH, berbicara lain. Dengan kalimat panjang dinyatakannya "Di negara Pancasila dengan penafsiran yang utuh maupun penonjolan salah satu sila, hukuman mati bukanlah hal yang harus diobral." Tapi, lanjutnya, "harus dikenakan dalam keadaan darurat."
Menilai apa-apa yang dilakukan Kusni Kasdut, menurut Purnomo, keadaan darurat bolehlah diterapkan kepadanya. Tapi, jangan lupa juga memperhatikan jasajasa yang pernah diberikannya kepada negara di masa perjuangan. "Jangan panas setahun dihapus oleh hujan sehari," katanya. Jadi? "Walaupun kejahatannya harus dihukum setimpal, sebagai bekas pejuang, misalnya, Kusni dapat masuk ke makam pahlawan," saran Bambang Purnomo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo