Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Presiden Prabowo Subianto menghapuskan hukuman mati dalam revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurut lembaga reformasi hukum pidana itu, langkah tersebut sejalan dengan sikap Prabowo yang anti-pidana mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Prabowo berpandangan Indonesia sebaiknya tidak menerapkan hukuman mati terhadap koruptor, karena selalu ada kemungkinan kecil orang yang dihukum mati tidak bersalah. Pelaksana tugas Direktur Eksekutif ICJR Maidina Rahmawati mengatakan, pandangan Prabowo sejalan dengan ICJR yang menentang segala bentuk hukuman mati. “Untuk itu, ICJR menyerukan pandangan presiden ini harus diwujudkan pada seluruh kebijakan hukum di Indonesia,” kata Maidina dalam keterangan tertulis pada Rabu, 9 April 2025.
Ia meminta pandangan Prabowo itu dipraktikkan lewat revisi UU Narkotika yang kini sedang bergulir. Berdasarkan catatan ICJR, 89 persen tuntutan dan putusan pidana mati di Indonesia sepanjang 2023 berasal dari kebijakan narkotika. Selain itu, 69 persen terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi pidana mati juga berasal dari kebijakan narkotika.
ICJR menggarisbawahi, kebijakan perang terhadap narkotika justru meningkatkan angka pidana mati di Indonesia. Contohnya seperti di masa Presiden ketujuh Joko Widodo, ketika 18 orang terpidana kasus narkoba dieksekusi mati.
Selain itu, terjadi pula pembunuhan di luar proses hukum terkait dengan dugaan kasus narkotika. Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH) Masyarakat, sepanjang 2017, terdapat 183 kasus tembak di tempat terhadap terduga pelaku tindak pidana narkotika. Total korban sebanyak 215 orang, yakni 99 korban meninggal dunia dan 116 korban luka-luka.
Sebagai solusi, ICJR mengusulkan pemerintah melakukan dekriminalisasi bagi pengguna narkotika. “Presiden harus mendukung dekriminalisasi pengguna narkotika. Dudukkan kembali bahwa pengguna narkotika harus direspons dengan pendekatan kesehatan, bukan penegakan hukum yang punitif yang justru menjadi koruptif,” ujar Maidina.
Sebelumnya, Prabowo mengatakan Indonesia seharusnya tidak menerapkan hukuman mati terhadap koruptor. Menurut dia, meski ada 99 persen kemungkinan seorang terpidana bersalah, masih ada 1 persen kemungkinan ia tak bersalah. Misalnya jika sang terpidana ternyata dijebak oleh orang lain. “Kalau hukuman mati final. Kita nggak bisa hidupkan dia kembali,” kata Prabowo.
Ia juga menyatakan banyak eksekusi mati yang ditunda, dan presiden-presiden Indonesia sebelumnya tidak memerintahkan eksekusi terhadap mereka yang telah dihukum mati. Menurutnya, praktik tersebut perlu dilanjutkan. “Kita lakukan yurisprudensi pemimpin-pemimpin kita sebelumnya,” ujar dia.
Pandangan tersebut disampaikan Prabowo saat wawancara dengan tujuh jurnalis senior dan pemimpin redaksi media nasional di kediamannya di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Ahad, 6 April 2025.
Najwa Shihab, pendiri Narasi TV sekaligus jurnalis yang turut mewawancarai prabowo, telah mengizinkan Tempo mengutip wawancara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini