Kartika kembali mengoyak-ngoyak gugatan Pertamina. Tapi Pertamina membuka kartu as bukti baru dari Bank Sumitomo tentang komisi itu. PEREBUTAN simpanan H. Achmad Thahir senilai Rp 153 milyar di Pengadilan Singapura, pekan lalu, semakin seru saja. Berbagai jurus simpanan Pertamina maupun lawannya, istri keempat Thahir, Kartika Thahir, mulai dicoba keampuhannya. Pertamina, misalnya, secara mengagetkan pada sidang Kamis pekan lalu mengeluarkan kartu as bukti terbaru yang diterima dari Bank Sumitomo pada hari itu. Kartu itu berupa bukti asli transfer komisi dari kontraktor Pertamina Siemens dan Klockner ke rekening Thahir. Sebelumnya, pada persidangan Senin sampai Kamis pekan lalu, Kartika kembali melontarkan jurus lamanya -- yang pernah ditariknya pada persidangan sebelum pokok perkara, Maret 1987. Melalui Pengacara Bernard Eder Q.C. (Queen's Council) pengacara yang diangkat ratu Inggris -- dan Shan Mugam (Singapura), Kartika menyatakan bahwa peraturan tentang komisi perusahaan (fiduciary relations dan constructive trust) tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Berbeda dengan hukum Inggris, juga Singapura, kata Eder, yang selalu berbicara sembari berdiri dan menggoyang-goyangkan badan -- kadang berkacak pinggang sambil menunjuk-nunjuk ke arah pengacara Pertamina, Sherrad -- lembaga komisi itu sudah diatur. Pernyataan Eder itu, di persidangan yang dihadiri 56 orang -- termasuk 12 wartawan Indonesia dan 3 wartawan lokal -- tak lain untuk mendalilkan bahwa gugatan Pertamina tak bisa menjamah kasus rekening bersama Thahir dan Kartika di Bank Sumitomo Singapura itu. Dengan kata lain, menurut Eder, Pertamina tak berhak mengklaim uang simpanan yang diduga berasal dari komisi almarhum Thahir dalam proyek Krakatau Steel itu. Keruan saja pihak Indonesia agak geram. "Kalau begini, kan persoalan jadi mentah lagi," ujar salah seorang pengacara Indonesia, Albert Hasibuan, yang menganggap "jurus basi" Kartika itu muncul lagi gara-gara ia sering ganti pengacara. Soalnya, pada persidangan Maret 1987, Kartika sudah mencabut dalil yang dilontarkannya pada Juli 1980 itu. Tim Pertamina tetap bertahan bahwa peraturan tentang komisi itu juga ada di hukum Indonesia. Apa pun namanya, uang yang diterima Thahir dari kontraktor Pertamina, menurut hukum Indonesia, tetap saja tidak sah. "Sebab, baik menurut hukum administrasi maupun pidana korupsi, apa saja yang diterima seorang pegawai negeri dalam hubungan jabatannya jelas harus dikembalikan ke negara," kata seorang anggota tim. Tak hanya itu, pengacara Indonesia, Michael Sherrad Q.C., juga menyerang "moral" Kartika. Betapa tak bermoralnya Kartika, katanya, karena tetap bersikukuh mengklaim rekening itu. Padahal, "Uang itu jelas hasil korupsi, yang harus dikembalikan ke negara, melalui Pertamina," kata Sherrad. Debat itu ditutup Eder dengan menyerahkan soal pilihan hukum tersebut -- tentang lembaga fiduciar dan trust -- kepada hakim yang mengadili sengketa itu, Lai Kew Chai. Namun, ternyata Eder mengeluarkan jurus baru lagi. Melalui sebuah amandemen (usulan), Eder mencoba merontokkan kualitas Pertamina selaku penggugat. "Kontrak yang terjadi adalah antara perusahaan Jerman dan Krakatau Steel, kenapa Pertamina yang menuntut?" kata Eder, yang berusia sekitar 30 tahun, yang selalu menyebut Sherrad, kurang lebih 50 tahun, dengan kata "my friend". Atas serangan itu Sherrad meminta hakim memberi waktu guna mempersiapkan tanggapan atas amandemen itu. Sebenarnya, menurut Albert Hasibuan, bukti-bukti hubungan hukum antara Krakatau Steel dan Pertamina sudah lama dipersiapkan pihaknya. Pada persidangan esoknya, Kamis pekan lalu, giliran Pertamina melancarkan jurus baru. Kepada hakim, Pertamina menyatakan bahwa pagi itu pihaknya memperoleh bukti baru dari Bank Sumitomo. Bukti itu berupa transfer komisi dari Siemens dan Klockner (perusahaan Jerman kontraktor Pertamina dalam proyek Krakatau Steel) untuk Thahir, lewat rekening di Bank Sumitomo. Selama ini, bukti yang dimiliki Pertamina hanyalah berupa kopi transfer dari berbagai kontraktor Pertamina ke rekening Thahir. Semua transfer itu terjadi berturut-turut setelah Pertamina membayar ke berbagai kontraktor tersebut. Dari hasil penghitungan tim pengusut, waktu itu, diduga transfer komisi dari Siemens hanya 5% sampai 6% dari nilai kontrak proyek Krakatau Steel, sedangkan dari Klockner dan Ferrosthal sekitar 13%. Ternyata, bukti baru itu menunjukkan transfer Siemens pun mencapai 10%. Jadi, "Dulu cuma diketahui bahwa ada berbagai transfer uang ke rekening itu, tapi kini ada bukti bahwa pengirimnya memang Siemens dan Klockner," kata Albert Hasibuan. Seperti juga Sherrad, Eder dan Shan Mugam pun meminta waktu kepada hakim untuk mempelajari bukti baru dari Bank Sumitomo itu. Maka, Hakim Lai Kew Chai, yang lebih banyak pasif mendengarkan kedua pihak -- pada persidangan Kamis itu -- menunda sidang sampai Senin pekan ini. Bagaimanapun, untuk sementara ini, tim Pertamina yang dipimpin Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani, yang pekan lalu kabarnya juga ada di Singapura, masih di atas angin. Sebab, kendati sudah diputuskan Hakim Sinnathuray, pada 1986, tak banyak yang menduga Sumitomo akan menyerahkan bukti itu pekan lalu. Tindakan Sumitomo itu, sekecil apa pun, mengorbankan reputasi bank tersebut -- bahkan bank-bank Singapura. Tampaknya, yang perlu dilakukan Pertamina pekan ini hanyalah membuktikan bahwa transfer Siemens dan Klockner itu benar-benar uang komisi. Dan itu juga tak begitu sulit. Sebab, tim Pertamina sudah menyiapkan beberapa orang saksi, pejabat Pertamina zaman Ibnu Sutowo, seperti bekas Direktur PT Patrajasa Martalegawa, Kepala Keuangan Urusan Luar Negeri Nur Usman, Kepala Telekomunikasi Rani Yunus, dan Dirut Krakatau Steel Maryuni. "Mereka tahu asal-muasal uang itu, dan bahkan ada yang juga kecipratan dan punya rekening di Bank Sumitomo," kata sumber TEMPO. Tapi, siapa tahu, Kartika punya jurus mematikan. Happy Sulistyadi dan Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini