Banyak cara membaur. Sejumlah tokoh mengisahkan kiat dan perannya di tengah pribumi. HAJI LUKMAN TAUFIK, 58 tahun, wiraswasta di Lombok Timur: Pembauran dilakukannya lewat agama. Ia beragama Islam dan sudah haji lagi. Sebelum G30S-PKI dan terjadi kerusuhan anti-Cina, di situ ada 2.700 orang. Jumlah menyusut setelah rumah dan harta berharga mereka dibakar massa. Lukman, karena beragama Islam sejak 1962, selamat. "Saya juga aktif kok di organisasi Muhammadiyah," katanya. Salah satu anaknya kawin dengan penduduk setempat. Jadi, baginya pembauran bukan masalah yang pelik. Bapak delapan anak ini sekarang bisa dengan tenang mengelola beberapa usaha, mulai dari losmen sampai agen SDSB. Diakui Lukman, agar usaha yang satunya itu bisa diterima penduduk setempat, ia melakukan pendekatan dengan cara memberi bantuan kepada panti asuhan dan juga membantu pembangunan masjid. Apalagi, menurut Lukman, berjualan SDSB dianggapnya sama saja membantu program Pemerintah. Selain Haji Lukman, di Lombok Timur hanya ada 30 keluarga Cina. Mereka bekerja di berbagai bidang, dari pertanian sampai konstruksi besar. HENDRA ESMARA, 57 tahun, guru besar ekonomi pembangunan Universitas Andalas, Padang. Dia merasa urang awak asli. Logat Minangnya amat kental. Meski bola matanya tampak sipit, ia berang jika dianggap WNI, nonpri. Itu makanya ia meminta petugas kelurahan mencoret tanda khusus WNI pada KTP-nya. Bagi dia, perlakuan seperti itu sangat menyakitkan. "Identik dengan pagar rumah tinggi yang eksklusif," katanya pada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Tak heran, rumah yang dihuninya selama 21 tahun di Jalan Ujung Gurun, Padang, hanya berpagar besi setinggi setengah meter. Sore hari ia biasa terlihat mahota-hota ( ngomong-ngomong) dengan tetangganya yang bersarung. Bahkan, pada malam hari ia membiarkan orang berjualan pisang goreng persis di pinggir pagar itu. Kerap mengikuti seminar ekonomi di dalam dan luar negeri, Hendra juga suka hadir dalam rapat RT. Ia memang penasihat Ketua RT. Semua itu muncul dari masa silam Hendra. Sejak duduk di bangku SR, SMP, SMA, alumnus FE UI ini selalu di sekolah negeri, bersama pribumi. Ia masuk Islam ketika masih perjaka. Bukan karena ia ingin menikahi Ros Tanjung, gadis Padangpanjang asli yang kini jadi istrinya. Keinginan itu muncul dari hatinya. Ia, bersama enam anaknya, tak pernah absen meramaikan salat berjamaah di masjid, di seberang rumahnya. Ia merasa tertusuk hatinya bila ditanya soal kiatnya membaur. Seolah ia masih dianggap sebagai minyak yang tak pernah meresap dalam air. "Saya ini orang Padang, bukan minyak," katanya, beramsal. Menurut Hendra, perihal baur-membaur itu adalah soal nurani. "Tak mungkin diprogram, apalagi dianjur-anjurkan," kata Hendra, yang terlahir bernama Ong Tek Bie itu. NYONYA DORA SASONGKO KARTONO, S.H., 61 tahun, hakim agung pada Mahkamah Agung. Pembauran bagi kami bukan masalah," katanya. Sekalipun dilahirkan sebagai anak keturunan Cina, ia enteng membeberkan masa lalunya. "Selama ini saya tak pernah merasa dibeda-bedakan dengan orang Indonesia asli," ujarnya. Ibu empat anak itu lahir di Yogyakarta. Setamatnya kuliah di Fakultas Hukum UI 1957, ia meniti karier di Departemen Kehakiman. Ia pernah ditempatkan di kantor Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Magelang. Kemudian ia dipindahkan ke Surabaya. Karier Dora terus menanjak. Pada tahun 1982, ia sampai di puncak kariernya sebagai hakim agung. Dari 10 bersaudara, hanya Dora yang mau menjadi pegawai negeri. "Saudara-saudara saya lebih suka jadi pedagang," tuturnya. Ia mengaku tak tahu lagi riwayat asal-usulnya di negeri Cina. Ia dan juga keluarganya tak punya nama Cina. "Anak-anak saya juga tak punya nama Tionghoa," kata Dora, yang bersuamikan Sasongko Kartono, yang juga keturunan Cina. Namun, Dora mengaku dalam keluarganya memang jarang terjadi perkawinan antarsuku atau etnis. "Hanya kakak saya yang menikah dengan orang asli Indonesia. Kalau tidak salah, masih pakai raden mas," ujarnya. Sekalipun begitu, ia terkadang merasa jengkel juga kalau ada orang keturunan yang sudah WNI kok masih diutak-atik asal-usulnya. Soal itu ia pernah tanyakan kepada Dirjen Imigrasi. "Kalau sudah berstatus WNI, kan mestinya ia juga sudah pasti berkebangsaan Indonesia," katanya. K.R.T. HARDJONAGORO alias GO TIK SWAN, 59 tahun. Ahli keris dan batik di lingkungan Keraton Surakarta, pimpinan Museum Radyapustaka. Kaum Cina di Indonesia hampir selalu dekat dengan pusat kekuasaan. Sejak zaman kakeknya, keluarganya akrab dengan keraton. Sang kakek, selain punya seperangkat gamelan dan menyukai wayang, sehari-hari menjalankan tradisi Jawa dan Cina. Kebetulan ayah Go Tik Swan adalah pengusaha batik yang mempekerjakan buruh-buruh batik. Sambil menorehkan cantingnya di atas kain putih, para buruh pun melantunkan ura-ura atau menyanyikan gending Jawa seperti Dandanggulo atau Sinom. Go Tik Swan kecil, ketika itu, menjadi akrab dengan tembang dan budaya Jawa. Setelah SMA, ia masuk Fakultas Sastra UI. Ia kemudian mendalami budaya Jawa, terutama batik, keris (tosan aji), dan patung-patung purbakala. "Menjadi ahli budaya Jawa itu tenteram untuk diri saya dan lingkungan saya," tutur Mas Kanjeng Hardjonagoro. Rasa cintanya kepada budaya Jawa itu ditunjukkannya dengan mengoleksi patung keraton, lalu disusun di dalam museum keraton. Untuk penghargaan, ia diberi gelar bupati atau kanjeng raden tumenggung (KRT). Di rumahnya yang meriah oleh kicauan aneka burung, ia membuka galeri yang dilengkapi dengan besalen -- tempat pembuatan keris -- dan pabrik batik. Di luar rumah, ia memimpin Museum Radyapustaka. Sebagai seorang muslim, ia pernah berumroh ke Mekah 1984. "Islam memang agama sebagian besar pribumi. Tapi berbaur lewat agama tak bisa dipaksakan," ujar Mas Kanjeng Go. TEGUH KARYA, 58 tahun, sutradara. Ayahnya memberi nama Steve Liem. Namun, ia tak bisa melepaskan perasaannya sebagai orang Banten. Padahal, kalau diurut-urut, buyutnya adalah ahli perkayuan yang didatangkan Belanda dari Fu Kien, Cina. Sejak kecil, ia sudah diajari ayahnya untuk menghargai negeri ini. Di rumah keluarganya tak boleh menggunakan bahasa lu-gua, yang sebenarnya berasal dari Cina. Dia dididik untuk mencintai kebudayaan setempat. Kakeknya, Loa Tjoen Siang, kala itu sering menayub bila ada acara di kepatihan. "Menghargai dan menyayangi kebudayaan setempat adalah kuncinya," ujar Teguh. Sangat beruntung, selepas dari lingkungan keluarga, ia bersua dengan Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma. Orang-orang inilah, kata Teguh, yang telah membawa dirinya menjadi WNI yang benar. Munculnya masalah pri dan nonpri baginya terasa aneh karena selama ini ia belum pernah diperlakukan berbeda. Kecuali oleh temannya, Wahyu Sihombing, yang masih sering memanggilnya orang Cina. "Antara pri dan nonpri tak ada perbedaan, kecuali untuk menjadi presiden," ujar Teguh, yang menginginkan ada gedung kesenian di daerah Glodok. "Itu perlu, kalau Glodok tak mau seperti Hong Kong." DJOKO SUDJATMIKO, 47 tahun, lahir di Pati, Jawa Tengah. Anggota DPR dan Ketua Departemen Cendekiawan-Hubungan Luar Negeri DPP Golkar. Sejak generasi kakek-neneknya, tak lagi tinggal di daerah pecinan. "Nama Tionghoa saya Lie Giok Hauw. Tapi, karena menyebut Giok Hauw rasanya susah, sejak mahasiswa saya sering dipanggil Djoko. Saya sendiri ganti nama sejak ada peraturan resmi tentang pergantian nama," katanya. Keluarga Djoko tergolong aktif berorganisasi. Ia sendiri, ketika menjadi mahasiswa Elektro ITB, aktif di PMKRI. " Rekan-rekan saya sesama aktivis mahasiswa misalnya Sarwono Kusumaatmadja, Rahmat Witoelar ...." Terakhir ia menjadi Ketu PMKRI Bandung dan Ketua Presidium KAMI Bandung. Sejak kecil ia tak pernah merasakan bedanya sebagai nonpri. Namun, kemudian ia sadar adanya persoalan mengenai dirinya setelah peristiwa rasial 10 Mei 1963, dan ketika ia dicalonkan jadi Ketua Presidiun KAMI Bandung. "Saya tanya kepada masing-masing ketua, apakah pencalonan saya dapat mengakibatkan terhambatnya perjuangan," katanya. Mereka mencoba menganalisa masalah dan akhirnya mendukung saya. Pada tahun 1970, beberapa tokoh mahasiswa dibujuk dan sebagian memang menjadi anggota DPR. Sebagai politikus, seperti diungkapkan tokoh mahasiswa yang kemudian menjadi menteri, Siswono Yudohusodo (dalam buku Nonpri di Mata Pribumi) bahwa Djoko lebih tampil sebagai nasionalis ketimbang Cinanya. Soal pembauran, katanya, bukan masalah yang bisa diselesaikan dalam 10-20 tahun, tapi butuh beberapa generasi. "Yang penting ada konsep kebangsaan yang kuat," katanya. Namun, ia juga merasakan adanya kebijaksanaan yang diskriminatif. "Contoh sederhana. Saya jadi anggota DPR sejak 1971. Kalau mau bikin KTP, tetap saja harus menyodorkan K-1, katanya. Padahal, peraturan itu sebenarnya diperlukan untuk mengawasi orang asing. Memang, konsep kebangsaan tak berdasarkan etnis. Tapi bagi keturunan Cina akan tetap saja sulit. "Saya harus punya SBKRI dari pengadilan," katanya. Dan saya tak memberi nama Cina bagi anak-anak saya. Saya pikir itu akan membantu mereka berproses kelak ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini