Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ketakutan remaja dan tantangannya

Remaja punya sejumlah kekhawatiran. di antaranya, mereka takut tidak bisa membahagiakan orang tuanya. padahal, banyak orang tua yang cenderung memaksakan kehendaknya.

1 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI tantangan hidup remaja lebih berat ketimbang orang tua mereka ketika remaja. Ini dikemukakan ahli pendidikan Arief Rachman dalam seminar memperingati Hari Ibu bertema "Keluarga: Ruang Kemandirian dan Kehangatan" di Jakarta, dua pekan silam. Contohnya, di sisi pendidikan, begitu banyak yang membutuhkan, tapi pintu masuknya terbatas. Keterbatasan itulah yang melahirkan kompetisi. Padahal, untuk keluar sebagai pemenang, tak cuma otak encer yang diperlukan, juga mental tangguh. Tapi seberapa banyak remaja yang mampu atau punya kesempatan jadi pemenang? Tahun silam Arief mengadakan observasi. Kepala Sekolah SMA Negeri 81 (sekolah laboratorium IKIP) Jakarta ini menyebarkan angket ke siswa kelas I dan II SMA (sekitar 200 anak) di sekolahnya. Dalam angket, siswa diminta menyebut lima kekhawatiran dan harapannya. Pengisi angket berasal dari beragam kelas sosial anak pembantu rumah tangga sampai anak pejabat, dan rumah tinggal mereka tersebar di lima wilayah Jakarta. Hasilnya: dalam kekhawatiran meski berbeda urutan prioritas ternyata siswa putra dan putri mempunyai perasaan yang sama. Yakni, mereka takut ditolak di perguruan tinggi dan takut tidak bisa membuat bangga orang tuanya. Selain itu, siswa lelaki khawatir kalau menjadi sampah masyarakat, apalagi sampai punya banyak musuh, atau terlibat dalam perang. "Hidup ini bisa celaka," kata Joko, 17 tahun, siswa SMA I Jakarta Pusat. Sebaliknya, remaja putri menempatkan kategori ini terakhir. Mereka takut terkucil karena kalah beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam era bapak-ibu bekerja ini, anak-anak juga mengkhawatirkan keharmonisan hubungan anak-orang tua. Mereka takut kehilangan kasih sayang, orang tuanya cekcok, atau bercerai. Mereka juga khawatir tak bisa membahagiakan orang tuanya. Peristiwa kejahatan seksual, yang belakangan banyak dialami wanita, melahirkan ketakutan tersendiri pula bagi siswi putri. Takut dibunuh, takut diperkosa, apalagi sampai dipotong-potong. Mereka pun khawatir menjadi lesbian, punya anak di luar nikah, kehilangan pacar, dan terseret arus pergaulan rusak. Sedangkan siswa putra tidak mengkhawatirkan soal itu. Ia cuma takut kehilangan pacar, takut mati sebelum menikah, dan takut tidak beristri. Lantas, bagaimana bisa menciptakan mental tangguh untuk menghadapi kompetisi hidup jika kekhawatiran menjerat benaknya? "Dan penyakit takut itu banyak muncul di kota-kota besar," kata Arief. Tidak bisa tidak, orang tua mesti mengiringi anaknya menghadapi perubahan tadi. Namun, baik orang tua maupun anak membutuhkan waktu untuk saling menyesuaikan dengan kondisi yang baru ini. "Misalnya, dengan kehidupan yang sekarang ini makin meng-kota," ujar Irid Rachman Agoes. Selain itu, menurut pendiri Pusat Kajian Antar- Budaya di Jakarta ini, pendidikan dan kehidupan ekonomi ikut mempengaruhi peran lelaki dan perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat di segala lapisan. Juga adanya pengaruh informasi dan pergeseran nilai. Dalam soal tontonan televisi saja, contohnya, persepsi orang tua dan anak bisa berbeda. Dulu, ketika orang tua itu remaja, mana ada adegan mesra di televisi. Kini, adegan itu jadi tontonan sehari-hari. Pergeseran nilai dari tradisional ke modern memang rumit dan membingungkan. Karena tidak ada sekolah bagi orang tua untuk menghadapi situasi seperti ini, mereka harus cukup punya wawasan untuk menerangkannya. "Agar apa yang dilihat anak di TV, misalnya, dan nilai-nilai budaya yang diajarkan orang tua tak bertabrakan," kata ahli komunikasi Mien Rachman Uno, yang juga kakak Arief dan Irid. Remaja memerlukan jalan keluar untuk mengatasi kekhawatiran itu. Dan ini, menurut Mien, bisa dimulai dengan menciptakan komunikasi yang baik di rumah. Tampaknya sepele, tapi nyatanya banyak orang tua yang tidak bisa berbicara dengan baik. Misalnya, ada orang tua yang melarang anaknya pacaran dengan mengatakan, "Pacaran melulu, nanti hamil baru tahu rasa." Kalimat itu bisa keliru dipahami, sehingga anak takut pacaran karena bisa hamil. Pernyataan Mien, yang juga berbicara dalam seminar itu, klop dengan pengalaman Sita, 18 tahun. Pelajar SMA di Jakarta Selatan itu mengeluh sulit berkomunikasi dengan orang tuanya karena selalu memaksakan kehendaknya. "Saya tak suka biologi, tapi Mami ingin saya jadi dokter, supaya sama seperti sepupu saya. Ya, nggak bisa dong. Tapi saya takut mau membantah," katanya. Orang tua memang kerap memaksakan kehendaknya. Dengan begitu, ia cuma menciptakan objek penurut. Bukan subjek yang kreatif. Padahal, meski cara belajar secara aktif (CBSA) sudah dipraktekkan di sekolah-sekolah, budaya mencetak murid penurut belum juga hilang. "Bayangkan, bagaimana anak tak mau suntuk. Di sekolah dididik jadi penurut, di rumah, orang tua memaksakan kehendak," kata Arief. Tapi tak semua remaja punya kekhawatiran. Ikuti apa kata Asmadita dan Rudi, 16 tahun, pelajar SMA Budiluhur di Jakarta Timur. Mereka tak pernah peduli dengan kekhawatiran. Menurut Asmadita, ibunya ingin dia jadi pengusaha seperti ayahnya. Ia menolak disuruh sekolah bisnis. "Boro-boro sekolah bisnis, nilai pelajaran ekonomi saya selalu jeblok. Ibu saya nggak setuju saya sekolah musik, tapi saya cuek saja. Ini kan hidup saya sendiri. Saya bebas dong menentukan sikap," ujar Asmadita.Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum