Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Save KPK menuntut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri untuk membatalkan keputusan pemberhentian 75 pegawai KPK yang dikabarkan tak lolos uji wawasan kebangsaan. Koalisi mengatakan dari sekian banyak pegawai yang dikabarkan berhenti, kebanyakan merupakan punggawa-punggawa KPK dengan serangkaian rekam jejak menangani perkara besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi mengatakan Firli Bahuri seharusnya wajib mematuhi aturan hukum dan putusan MK yang telah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian tidak boleh merugikan pegawai itu sendiri. Selain itu, yang terpenting juga perihal kepastian status dan independensi Pegawai KPK dalam melaksanakan tugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hal ini kami nilai sebagai penyiasatan hukum dari Ketua KPK yang sejak awal memiliki kepentingan dan agenda pribadi untuk membuang para pegawai yang sedang menangani perkara besar yang melibatkan oknum-oknum yang sedang berkuasa," ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, yang membacakan pernyataan koalisi, Rabu, 5 Mei 2021.
Kurnia mengatakan hal ini menambah catatan suram lembaga antirasuah di bawah komando Firli. Setelah terkesan tidak mau meringkus Harun Masiku, KPK di bawah Firli juga dinilai menghilangkan nama politisi dalam surat dakwaan korupsi bansos, melindungi saksi perkara benih lobster, menerbitkan SP3 untuk BLBI, dan puluhan kontroversi lain.
"Berangkat dari hal tersebut, akhirnya kekhawatiran publik selama ini semakin terbukti, masuknya Firli Bahuri menjadi Pimpinan KPK memiliki agenda khusus untuk melemahkan lembaga antirasuah itu dari dalam," kata Kurnia.
Atas dasar itu, Koalisi pun menyatakan sejumlah sikap. Pertama, Dalam alih status KPK wajib hukumnya mempedomani putusan MK Nomor: Nomor 70/PUU-XVII/2019 pada [angka. 3.22] hal. 340. Putusan itu menegaskan bahwa dalam pengalihan status dari pegawai KPK ke ASN, tidak boleh merugikan hak pegawai dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan.
Selain itu, Koalisi juga menegaskan asesmen bukanlah instrumen untuk menyatakan dapat diangkat atau tidak sebagai aparatur sipil negara dan harus dibedakan antara diksi 'seleksi' dan 'asesmen'.
"Seleksi adalah pemilihan (untuk mendapatkan yang terbaik) atau penyaringan. Sedangkan asesmen adalah proses penilaian, pengumpulan informasi dan data secara komprehensif," kata Koalisi.
Koalisi juga menyatakan selain karena adanya putusan MK, muatan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 (PP 41/2020). Sebab, Pasal 4 PP 41/2020 sama sekali tidak menyebutkan tahapan 'seleksi' saat dilakukan peralihan kepegawaian.
Yang terakhir, Koalisi juga menuntut untuk menghentikan segala bentuk pembusukan KPK dengan menyingkirkan pegawai-pegawai yang tercatat dalam sejarah adalah figur yang memiliki integritas dan komitmen tinggi bagi pemberantasan korupsi. "Seharusnya hal-hal seperti ini diungkap dan diinvestigasi secara terbuka," kata Koalisi.