Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Disabilitas (KND) menyebut Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) telah memberikan akomodasi yang layak bagi IWAS alias Agus, penyandang disabilitas yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana kekerasan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner KND Jonna Aman Damanik mengatakan, pemberian akomodasi untuk Agus adalah hasil koordinasi antara Komite Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Polda NTB, dan pihak-pihak yang terlibat. “Polda NTB telah memenuhi prinsip-prinsip akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas,” kata Jonna dalam keterangan tertulis, Rabu, 11 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Jonna, kepolisian telah menjalankan kebijakan yang sesuai dengan amanat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Beberapa langkah yang sudah dilakukan untuk memastikan bahwa hak Agus terpenuhi meliputi penilaian personal terhadap pelaku, dan penerapan tahanan rumah berdasarkan rekomendasi KDD NTB. “Serta penyediaan pendamping hukum bagi pelaku selama proses hukum berlangsung,” ujar Jonna.
Pemberian akomodasi untuk pelaku kekerasan seksual, kata Jonna, bukan berarti mengesampingkan hak-hak korban. Hal tersebut adalah bagian dari pemenuhan prinsip keadilan inklusif dalam sistem peradilan. Jonna pun memastikan bahwa semua pihak, baik korban maupun pelaku, diperlakukan sesuai dengan hak-haknya.
Adapun tersangka Agus diduga telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual dengan modus manipulasi melalui komunikasi verbal yang mampu mempengaruhi sikap dan psikologi korban. Agus dianggap memanfaatkan kondisi korban yang rentan, sehingga korban dapat dikuasai dan mengikuti kemauannya. Hingga kini, korban yang telah diidentifikasi mencapai 15 orang. Menurut KDD NTB, tiga di antaranya merupakan anak di bawah umur.
Sementara itu, tersangka Agus masih menjalani proses hukum sebagai tahanan rumah. Kebijakan ini diambil oleh penyidik kepolisian dengan mempertimbangkan kondisi tersangka yang merupakan penyandang disabilitas fisik. Apalagi fasilitas rumah tahanan di Polda NTB yang belum memadai untuk menangani tersangka dengan disabilitas.