Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kiat Ampuh Menepis Kontrak

Kontrak jual-beli gula antara importir gula e.d. & f. man dengan yani haryanto dibatalkan pengadilan indonesia. padahal dalam perjanjian disebutkan harus tunduk pada hukum inggris. pihak asing protes.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI, keputusan pengadilan Indonesia menjadi gunjingan di dunia perdagangan internasional. Penyebabnya, pengadilan memenangkan pengusaha Indonesia, Yani Haryanto, yang secara sepihak membatalkan kontrak jual beli dengan pihak asing -- importir gula Inggris, E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. (Man). Padahal, dalam kontrak tegas disebutkan bahwa perjanjian itu tunduk pada hukum Inggris dan harus diadili oleh lembaga arbitrase London. Sesuai dengan kontrak itu, lembaga arbitrase dan pengadilan di London menganggap kedua kontrak internasional itu sah, dan menghukum Haryanto membayar US$ 146,3 juta kepada Man. Sebab itu, melalui kuasa hukumnya, Winita E. Kusnandar. Man mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Pengadilan bukan hanya tak menghiraukan pilihan hukum choice of law dan masalah yurisdiksi, tapi malah memberikan keputusan yang kontroversial," kata Winita, yang sampai pekan ini masih menunggu keputusan MA untuk "meralat" putusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu. Pada Februari dan Maret 1982, Haryanto meneken dua kontrak pembelian 400.000 metrik ton gula pasir dari Man. Dalam kontrak disebutkan bahwa Man hanya bertanggung jawab atas pemuataan gula itu ke kapal, sedangkan Haryanto mengurus segala izin impor gula itu ke sini. Jika terjadi sengketa, mereka sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase London menurut hukum Inggris. Belakangan, Haryanto membatalkan kontrak tersebut dan batal membuka L/C untuk pembayaran harga gula tersebut. Menurut kuasa hukum Haryanto, Prof. Sudargo Gautama, dalam jual-beli itu, sebenarnya Haryanto bertindak sebagai "orang kepercayaan" Bulog. Nah, kata Sudargo, karena harga gula di pasaran internasional waktu itu turun, Bulog tak jadi membeli dari Man. Tentu saja, Man tak bisa menerima alasan pembatalan itu. Sebab, kata Winita E. Kusnandar, Man sudah telanjur menutup kontrak pemesanan gula pasir itu kepada pemasok gula di sana. Karena itu, Man menuntut ganti rugi dari Haryanto. Setelah perkara itu sampai ke pengadilan dan arbitrase di Inggris, pihak Haryanto diharuskan membayar ganti rugi US$ 146,3 juta kepada Man. Alih-alih, pada 7 Juli 1986, kedua pihak membuat persetujuan perdamaian. Isinya, Haryanto cukup membayar ganti rugi US$ 27 juta saja, dan bisa tiga kali dicicil selama tiga tahun. Untuk itu dibuatlah tiga buah akta pengakuan utang. Haryanto pun membayar cicilan pertama US$ 5 juta. Tapi cicilan berikutnya mandek. Bahkan pada Agustus 1988, Haryanto menarik perkara itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak tanggung-tanggung, ia menggelar empat gugatan terhadap Man. Dari soal pembatalan kedua kontrak itu, cara pemanggilan pengadilan Inggris terha- dap Haryanto, sampai tentang sita jaminan terhadap berbagai harta kekayaan Haryanto di luar negeri. Yang menarik adalah gugatan soal pembatalan kedua kontrak itu. Lewat pengacara kawakan, Prof. Sudargo Gautama, yang piawai dalam soal sengketa perdagangan internasional, Haryanto mendalilkan bahwa kontrak tersebut telah melanggar Keppres No. 43 tahun 1971 dan Keppres No. 39 tahun 1978, tentang monopoli impor gula oleh Bulog. Jadi, kata Sudargo di persidangan, kedua kontrak tadi -- impor gula oleh pihak swasta (Haryanto) -- bisa dikategorikan telah melanggar ketertiban umum. Artinya, kontrak itu tak sah karena tak memenuhi syarat sebab yang halal. Berdasarkan itu, Sudargo menuntut agar Man menghentikan usaha untuk memberlakukan perjanjian itu, juga segala upaya menagih ganti rugi dari Haryanto. Pengacara Man Winita E. Kusnandar, sebaliknya menganggap pengadilan di sini tak berwenang menangani perkara itu. "Jika terjadi sengketa, kedua pihak sudah sepakat memilih hukum Inggris. Ini kan kompetensi absolut," kata Winita. Kecuali itu, sambungnya, Haryanto juga sudah mencicil utang- nya itu, sebagaimana dituangkan dalam akta pengakuan utangnya. Nah, "Gross akta pengakuan utang ini berlaku seperti keputusan pengadilan, mestinya bisa langsung dieksekusi," tambahnya. Ternyata, pada 29 Juni 1989, pengadilan mengabulkan keempat gugatan Haryanto itu. Sebaliknya, sebuah gugatan Man di sini ditolak pengadilan yang sama. "Bagaimanapun, kita harus mengutamakan hukum yang berlaku di sini. Artinya, apakah kontrak yang dibuat di luar negeri itu bertentangan tidak dengan sistem hukum kita," kata ketua majelis hakim, yang membatalkan kedua kontrak itu, I Gde Sudharta. Menurut Sudharta -- yang kini menjadi hakim tinggi di Sumatera Utara -- pihak asing, yang akan meneken kontrak dagang dengan pengusaha Indonesia, seharusnya menyelidiki lebih dahulu peraturan perundangan yang berlaku di sini. Begitu pula pengusaha kita jika membuat perjanjian di luar negeri. "Kenyataannya, sebelumnya Man sudah tahu tentang peraturan Bulog itu. Berarti, dia kan terjerumus sendiri," ujar Sudharta. Keputusan itu, yang kemudian dikukuhkan pengadilan banding, keruan saja menimbulkan reaksi keras dari pihak asing. Salah satu kritik itu tertuang lewat artikel di East Asian Executive Reports edisi Maret 1990. Pengacara Winita juga memprotes putusan itu melalui memori kasasinya ke MA. "Ibaratnya orang sini membeli pistol di luar negeri. Kewajiban si penjual hanya mengirim pistol. Bahwa di sini pemilikan pistol dilarang, sehingga si pembeli ditangkap, itu urusannya sendiri. Si penjual tak bisa dilibatkan," kata Winita. Sementara itu, Prof. Sudargo Gautama menilai keputusan pengadilan Indonesia itu sudah tepat. "Dari dahulu pihak Man itu kan sudah tahu bahwa gula itu hanya boleh diimpor Bulog. Tapi mereka tetap memaksakan dilaksanakannya kontrak itu. Sekarang malah mereka mencari kambing hitam, dengan menarik Haryanto selaku pembeli perorangan (pribadi)," kata Sudargo. Apa boleh buat, para pengusaha asing, yang akan bekerja sama dengan pengusaha Indonesia, harus belajar dahulu semua undang-undang dan peraturan Indonesia walaupun semula peraturan itu dimaksudkan untuk warga negara Indonesia. Dan harap maklum, sebagian peraturan itu susah dlpahami, bahkan oleh orang Indonesia sendiri. Happy S., Wahyu Muryadi, Karni Ilyas (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus