SYUKURAN berlangsung, Jumat malam, awal Juni lalu, di rumah petak yang terletak di ujung jalan permukiman anggota TNI AU di kawasan Bandar Udara Polonia, Medan. Puluhan laki-laki berpeci memanjatkan doa. Inilah puncak kegembiraan para penduduk Karang Sari dan Tegal Rejo, Kelurahan Polonia Medan setelah mereka menang di Pengadilan Negeri Medan menggugat otorita Pangkalan TNI AU (PAU). Sejak kemenangan 8 Mei lalu itu, truk-truk pengangkut bahan bangunan bebas keluar masuk di kelurahan tersebut. Tak ada lagi larangan membangun apa saja, asal mendapat izin mendirikan bangunan (IMB) dari Pemda Kota Madya Medan. Padahal, selama delapan tahun belakangan ini, seperti dikatakan salah seorang pemilik rumah petak tadi, Pardi Kelewang, 71 tahun, penduduk di sekitar Bandar Udara Polonia itu, yang umumnya hidup pas-pasan, bagaikan "sesak napas". Mereka dilarang membangun di atas tanah garapannya bila tidak mendapat izin dari PAU, yang harus dibayar Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu. Sebab itu, banyak Penduduk yang mencuri-curi bila hendak membangun atau memperbaiki rumahnya. Tapi itu tadi, bila ketahuan, petugas PAU akan datang merobohkan bangunan tersebut. Petugas juga bertindak terhadap penduduk yang nekat menyelundupkan bahan bangunan. Selain itu, Komandan Pelabuhan Udara PAU Medan dengan alasan "dipinjam" mengganti surat-surat tanah penduduk dengan pening. "Surat tanah itu kemudian tidak kembali lagi," kata Pengacara Darwan Perangin-angin, kuasa 87 kepala keluarga Kelurahan Polonia itu. Menurut Darwan, tindakan PAU melawan undang-undang. "PAU tak berwenang mengeluarkan izin membangun karena itu wewenang pemda." kata Darwan. Pengadilan akhirnya menyatakan PAU melanggar hukum karena instansi tersebut melarang penduduk membangun di atas lahannya sendiri. "Tak ada wewenang PAU bertindak seperti itu," kata ketua majelis hakim. Sinta Tambunan. Menurut Sinta, tanah sengketa itu berstatus tanah negara dan telah digarap penduduk sejak 1942. Penduduk yang menggarap tanah itu mempunyai SK Lurah ataupun SK Camat. "Karena itu, hak penduduk harus dihargai," kata Sinta. Menurut kuasa PAU, Kapten B. Tambunan, tanah seluas 602.6 ha -- di antaranya Kelurahan Polonia -- termasuk di dalam areal master plan PAU Polonia. Sesuai dengan surat Kastaf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang, pada 1950, semula luas tanah itu 1379 hektare yang disebut wilayah militer. Surat tersebut pada 1957 dikuatkan SK Menteri Pertahanan, Ir. Djuanda. Pada 1958, Komandan PAU Medan dan Komandan Militer Kota Medan mengeluarkan SK bersama yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang berada di wilayah militer itu harus tunduk kepada PAU. Tapi pada 1982, Mendagri mengeluarkan Surat Keputusan (SK) mencabut hak penguasaan tanah tersebut dari tangan PAU dan menetapkan tanah tersebut menjadi tanah negara. Pada SK itu Mendagri hanya memberi PAU hak pakai, dengan syarat PAU mengajukan permohonan dan tanah itu diukur lebih dahulu dengan biaya PAU. Artinya, PAU berhak membebaskan tanah itu, "Risikonya ganti rugi," kata Sinta. PAU Medan, menurut B. Tambunan, sudah mengukur tanah yang dibutuhkan seluas 602,6 hektare tadi. Di atas lahan itu terdapat tiga ribu lebih rumah penduduk. Tapi untuk membayar ganti rugi, PAU tak punya biaya. Karena itu, "Untuk menghin- darkan biaya lebih besar, kami melarang penduduk membangun," kata Tambunan. Keputusan hakim itu tentu saja, memuaskan penduduk kendati mengecewakan PAU. "Kini saya rela mati karena hukum sudah tegak di Polonia," kata Pardi Kelewang, kakek 17 cucu itu. Monaris Simangunsong & Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini