Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menuntut Kapolri menghentikan tindakan represi, kekerasan, dan penggunaan senjata dalam mengawal aksi massa #Daruratdemokrasi. Aksi tersebut dinilai sebagai tindakan yang melanggar pidana dan hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Masuk kategori pelanggaran HAM berat,” kata perwakilan KIKA, Syukron Salam dalam konferensi pers, Selasa 27 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syukron yang juga akademikus Universitas Negeri Semarang meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan anggotanya agar membebaskan seluruh massa aksi yang ditangkap. Sedangkan aparat kepolisian yang melakukan kekerasan dijatuhi sanksi, ditindak tegas dan diproses Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam).
Kapolri juga diminta segera menarik surat imbauan oleh Kapolrestabes Semarang ke sekolah menengah yang pelajarnya terlibat aksi demonstrasi. “Surat ini merupakan bukti Polri berpolitik. Menjadi alat pemerintah dan bertindak di luar wewenangnya. UUD 1945 mengatur Polri sebagai alat negara, bukan alat pemerintah,” kata Syukron.
Perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik kepada mahasiswa seperti dalam aksi darurat demokrasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas kebebasan akademik.
KIKA juga meminta Komisi Nasional HAM, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman dan Komnas Perempuan turun memantau dan melakukan penyelidikan pro yustisia atas dugaan pelanggaran HAM berat.
Sekolah dan perguruan tinggi, menurut dia, tidak selayaknya memberikan ancaman, pemidanaan ataupun pendisiplinan atas aspirasi peserta didik. Ancaman itu bagian pelanggaran hak warga negara dan kebebasan akademik.
“Masyarakat dan massa aksi untuk tetap teguh bergerak dan bersatu dalam berbagai bentuk dengan terus melakukan konsolidasi,” ujarnya.
Kondisi ini, katanya, menunjukan situasi kebebasan akademik yang kembali mendapatkan serangan baik fisik dan psikis, seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Makassar, Samarinda, dan Semarang. Aparat menggunakan gas air mata, kekerasan fisik termasuk dengan menggunakan alat, menangkap peserta aksi, serta diduga melakukan sweeping hingga ke area pusat perbelanjaan.
Tindakan brutal yang dilakukan aparat tersebut memberikan efek trauma, bahkan menciptakan cedera permanen. Di Jakarta, sebanyak 39 korban yang mendapat serangan dan ditahan. Di Kota Bandung, dua korban luka parah, hingga berpotensi kehilangan bola mata imbas kekerasan polisi.
Sedangkan di Semarang 22 pelajar peserta aksi massa ditangkap dan tak boleh didampingi penasihat hukum. “Penggunaan kekuatan berlebih, kekerasan, penangkapan sewenang-wenang dalam menangani aksi demonstrasi berisiko melanggar HAM,” ujarnya.
Dewan Pengarah KIKA Herlambang P. Wiratraman menuturkan jika kekerasan yang didilakukan polisi tidak boleh didiamkan. DPR dan polisi barus bertindak dan memastikan kekerasan tidak terulang, Kekerasan, katanya, akan melahirkan ketidakpercayaa publik. “Sementara Indonesia mendaku sebagai negara hukum dan demokratis,” katanya.
Kebebasan berekspresi di ruang publik, katanya, dijaminan hukum dan konstitusi. Kekerasan tersebut menyakitkan, merendahkan akal sehat.
Pilihan editor: Beda Haluan dengan KIM di Pilkada Garut, PSI Daftarkan Helmi Budiman - Yudi Nugraha ke KPUD